Riset BLAJ

Nilai-Nilai Keislaman pada Rumah Adat Masyarakat Cikondang

Sel, 21 Desember 2021 | 08:45 WIB

Nilai-Nilai Keislaman pada Rumah Adat Masyarakat Cikondang

Rumah ada Cikondang Bandung (Foto: kemendikbud.go.id)

Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) dalam penelitian tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Masyarakat Kampung Adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, menemukan beberapa hal. Di Desa Lamajang terdapat rumah adat Cikondang yang kira-kira sejak awal abad XIIV atau sekitar tahun 1700 Masehi yang sering disebut sebagai uyut Pameget dan uyut Istri. Rumah ini adalah tempat Syeh Muhammad Tunggal yang diutus oleh Syekh Syarif Hidayatullah Cirebon.

 

Menurtu peneliti, misi dari Syeh Muhammad Tunggal atau uyut pameget dan uyut istri bukan hanya sekedar membuka perkampungan baru, atau hanya sekedar bersembunyi dari keramaian, namun mengemban tugas dan misi dari kerajaan Islam Cirebon untuk menyebarkan ajaran dan mengembangkan peradaban Islam. Dengan demikian, terbukti bahwa kampung Cikondang merupakan cikal bakal pusat penyebaran agama Islam yang ada di Bandung Selatan, khususnya di Pangalengan, umumnya wilayah Pasundan. 
    

Kemudian, di kampung adat Cikondang, selain memiliki peninggalan rumah adat, terdapat juga sawah adat dan hutan larangan. Rumah adat selain sebagai tempat tinggal uyut, secara arsitektur rumah adat memiliki makna dari setiap yang ada di rumah.

 

Rumah adat terbagi  pada bangunan besar dengan ukuran panjang 12 x 8 meter. Angka 12 artinya mengacu pada 12 bulan dalam 1 tahun. Sedangkan delapan artinya menurutkan kepada tahun yang 8 tahun dalam satu windu. 

 

Rumah adat itu memiliki lima buah jendela yang jendelanya semua berada di ruangan rumah. Lima jendela, artinya sebagai umat Islam harus melaksanakan shalat yang wajib ditegakkan lima waktu. Pada setiap jendela terdapat sembilan sarigsig/ jeruji/ventilasi. Jumlah sembilan ini mengandung arti bahwa ajaran Islam yang dibawa dan disebarkan di tempat ini yaitu ajaran Islam Walisongo.

 

Rumah adat juga memiliki bangbarung dengan tujuh potong bambu. Hal ini menunjukkan banyaknya hari dalam sepekan yaitu tujuh hari. Di rumah adat Cikondang hanya memiliki satu pintu, yang artinya bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah swt. 

 

Rumah adat terdiri dari tepas atau ruang depan berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu; tengah imah berfungsi sebagai areal untuk menerima tamu dan dipergunakan juga sebagai tempat melakukan upacara adat.

 

"Berikutnya ada dapur, berfungsi sebagai tempat untuk memasak. Peralatan dapur juga disimpan di area ini. Ada kamar tidur, berfungsi sebagai tempat tidur kuncen, dan ada Goah. Ini merupakan ruang kamar tanpa jendela berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang keperluan sesaji. Goah berdampingan dengan kamar tidur kuncen untuk memudahkan kuncen melakukan tugasnya dalam membuat segala keperluan sesaji.

 

Di rumah adat  juga memiliki beberapa larangan sebagai wewengkon untuk menjaga rasa hormat terhadap tempat yang dahulunya bahwa tempat tersebut merupakan tempat pertemuan orang-orang penting dari waliyullah. Larangan sebagai wewengkon untuk menjaga rasa hormat, yaitu dibatasinya waktu berkunjung hanya dilakukan tiga hari dalam seminggu yakni hari Senin, Rabu, dan Kamis.

 

Larangan juga termasuk orang yang bukan Islam dan bagi perempuan yang sedang berhalangan menstruasi tidak diperbolehkan menginjak rumah adat.


"Kalau akan masuk ke rumah adat tidak boleh menginjak bangbarung, tidak boleh menggunakan listrik, dan tidak boleh menggunakan perabotan yang terbuat dari porslen/kaca. Larangan terakhir ini, semata-mata untuk memberikan pembelajaran tentang kesederhanaan dan menjauhkan dari kehidupan glamor," ungkap peneliti.


Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori