Daerah

Pendidikan Desa Berdaya di Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah Salatiga

Ahad, 12 November 2023 | 08:00 WIB

Pendidikan Desa Berdaya di Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah Salatiga

Salah satu kegiatan di Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah (KBQT), Kelurahan Kalibening, Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah (Foto: dok KBQT)

Salatiga, NU Online
Pada tahun 1999, terbentuk Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) di Kelurahan Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah. SPPQT adalah sebuah serikat bagi paguyuban-paguyuban petani yang ada di sana. Organisasi ini diketuai oleh Ahmad Bahruddin. Ia adalah warga Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu juga dulu juga aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Nama Qaryah Thayyibah sendiri berarti desa berdaya, sebuah nama yang diusulkan oleh Raymond Toruan.


SPPQT ini, kata Zia seorang pendamping belajar di Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah (KBQT), bertujuan untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat desa secara mandiri berbasis potensi lokal, sehingga menjadi desa yang berdaya. Konsep 'Desa Berdaya' ini selaras dengan cita-cita Presiden Soekarno: berdaulat (politik), berdikari (ekonomi), dan berkepribadian (kebudayaan).


"Pada 2003, untuk melengkapi tiga indikator bagi desa berdaya tersebut, dibentuklah suatu komunitas belajar bagi anak-anak desa ini bernama Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT). Selain sebagai pelengkap indikator tersebut, komunitas belajar ini diharapkan berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air," ujar Zia kepada NU Online pada Senin (16/10/2023).


Latar belakang didirikannya KBQT Qoryah Thayyibah, kata Zia, dulu ketika anak sulung Bahruddin hendak masuk jenjang SMP, tepatnya di salah satu sekolah favorit dan ternama di Salatiga, ia terusik oleh kondisi sekitarnya. "Ia melihat banyak tetangga-tetangga petaninya yang keberatan menyekolahkan anak-anak mereka sebab kendala biaya, baik itu biaya pendaftaran, uang masuk, SPP bulanan, hingga ongkos seragam dan buku-buku," ujarnya


"Maka ia pun bermusyawarah bersama para warga untuk menemukan solusi, yakni mendirikan sekolah alternatif sendiri. Ajakannya ini disambut baik oleh 12 orang dari 30 kepala keluarga yang saat itu berkumpul, mereka bersedia menyekolahkan anak-anaknya di SMP alternatif eksperimen ini. Bahruddin juga memasukkan putranya ke sekolah percobaan ini," imbuhnya.


Zia menambahkan, saat itu, sekolah ini bergabung dengan SMPN 10 Salatiga program SMP Terbuka. Karena keinginan penerapan konsep pendidikan yang lebih memerdekakan, satu setengah tahun kemudian atau pada awal 2005, mengajukan ke Dinas Pendidikan Salatiga agar tergabung dengan Pendidikan Luar Sekolah, program Pendidikan Kesetaraan. Pengajuan ini  disetujui ketika memasuki tahun k empat, sekaligus mendirikan lembaga payungnya, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Qaryah Thayyibah, hingga sekarang.


Lokasi yang digunakan sebagai kelas pada saat itu adalah rumah Bahruddin sendiri. Ada sembilan orang pendamping yang berperan sebagai teman belajar siswa. Meski dengan modal seadanya, proses belajar di sekolah ini bisa berlangsung dengan baik dan efektif. Gaya belajarnya juga dialogis dan menyenangkan dipraktikkan di sekolah ini dengan baik. Di sana juga tersedia internet (unlimited access) dengan wireless network dari donatur Roy Budhianto (direktur ISP Indonet waktu itu) yang tertarik ide Bahruddin. Pada praktiknya, meski jam belajar formal sudah usai, anak-anak betah berlama-lama berada di sekolah bahkan hingga sore hari.


"Sebagai bukti, saat ini siswa-siswi KBQT mulai mencuat di lingkungan pendidikan Salatiga, bahkan nasional. Segudang prestasi berhasil disabet, baik akademik maupun non-akademik, kurikuler maupun non-kurikuler, meliputi bidang musik, teater, sastra, dan sebagainya. Para orang tua pun bangga terhadap sekolah ini, mereka bisa memperoleh banyak hal yang belum tentu bisa diperoleh di sekolah-sekolah berlogika dagang," tegas Zia.

 

"Seiring waktu, KBQT terus berkembang melalui dinamika gaya belajar dan perubahan kurikulum yang diterapkan. Hingga saat ini, KBQT masih konsisten mempraktekkan pendidikan pemerdekaan yang berwawasan kemandirian belajar dan apresiasi potensi," ungkapnya.

 

Praktik pembelajaran merdeka semacam ini terbukti efektif. Puluhan buku karya sastra anak sudah dipajang di University of Berkeley US. Salah satunya, buku berjudul Taman Mimpi di Gubuk Pelangi yang secara khusus diluncurkan oleh Menteri Pendidikan Muhadjir Effendi. Tak hanya literasi, anak-anak juga berkarya dalam bidang teknologi robotika.


Zia menyatakan perbedaan KBQT Qoryah Thayyibah dengan sekolah pada umumnya terkait implementasi kurikulum merdeka, di sana sudah diimplementasikan sejak 20 tahun lalu. Murid sebagai pusat pembelajaran, sedangkan guru menjadi fasilitator. "Di sini tidak ada mata pelajaran, murid dipersilahkan untuk memilih pelajaran sendiri yang ingin dikuasai sesuai bakat," imbuhnya.

 

Ia menyebut terkait kurikulum disusun oleh siswa sendiri. Setiap anak diberi keleluasaan untuk belajar sesuai minat dan bakatnya. Misalkan saja terkait target yang ingin mereka kuasai dalam satu minggu, satu bulan bahkan satu tahun. "Yang terpenting ada bukti atau karya atas hasil belajar yang mereka lakukan," ujar Zia.

 

Terkait ijazah, kata Zia di KBQT Qoryah Thayyibah ada ijazah kesetaraan yakni paket B dan C bagi siswa yang membutuhkan.

 

4 Prinsip
Sebagai suatu komunitas belajar, KBQT memiliki pandangan sendiri sebagai pijakan atau landasan dalam praktik pembelajaran. Ada empat prinsip sebagai poros gerak yang dipraktekkan dan ditawarkan KBQT;


Pertama, semangat pembebasan dan perbaikan. Hal ini mensyaratkan perilaku kritis, dinamis dan kreatif, tak sekedar dogmatis dan statis. Kedua, asas keberpihakan terhadap siapapun yang berhak memperoleh pendidikan, terutama warga miskin dan tak mampu.

 

Ketiga, kegembiraan sebagai dasar metodologi dalam proses belajar. Hal ini mensyaratkan peran guru sebagai fasilitator dan sikap murid yang dibimbing agar partisipatif. Keempat, prinsip kebersamaan kolaboratif dan partisipasi semua pihak dalam merancang sistem, yakni pendamping (guru), pengelola sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar. Hal ini sangat penting agar terciptanya sistem sekolah yang membumi dan melek lingkungan.

 

Zia memyebut, di KBQT Qoryah Thayyibah, murid didampingi untuk memahami materi, bukan menghapal bulat-bulat. Materi belajar pun harus sesuai dengan kebutuhan, kontekstual dan mempergunakan lingkungan dan pengalaman sehari-hari sebagai media belajar. "Kondisi kelas pun diupayakan sedemokratis mungkin, sanksi yang diberikan merupakan kesepakatan murid sendiri, begitu pula halnya dengan apresiasi terhadap murid yang berprestasi," jelas Zia

 

"Selain itu, pengukuran capaian murid tidak hanya melalui nilai nominal, tetapi lebih kepada apresiasi terhadap karya, inovasi kreatif, dan sikapnya," imbuhnya

 

Siswa-siswa di KBQT Qoryah Thayyibah dibekali berpikir kritis, dialektis dan peka terhadap sosial. Siswa-siswa terbiasa untuk bermusyawarah sekalipun dalam menyusun agenda belajar. Kemudian setiap hari Kamis ada diskusi ide atau gagasan. Setiap anak diberikan kebebasan untuk berpendapat terkait permasalahan sosial. Selanjutnya apabila dalam forum tersebut solusi telah disepakati, maka minggu depannya siswa melakukan aksi kongkrit untuk menindaklanjuti ide tersebut.

 

"Kemudian ada pelajaran riset di lingkungan sekitar. Baik di lingkungan Kalibening, Salatiga atau di lingkungan siawa berasal. Ini berfungsi untuk merumuskan masalah di sana, kemudian dicarikan solusi. "Kesemuanya itu dibiasakan secara riil, bukan hanya jargon semata," jelasnya


"Jadi anak-anak SMP dan SMA di sini dibiasakan untuk berpikir kritis, dialektis, berdiskusi dan berpikir kontekstual. Sehingga mereka terbiasa menoleransi perbedaan, bukan hanya perbedaan suku dan agama, tapi juga perbedaan gagasan, pemikiran, dan pilihan dalam mendalami subyek belajar," ungkap Zia


"Dulu ketika terjadi pengambil-alihan tanah bengkok milik desa yang berubah menjadi kelurahan oleh pemerintah kota Salatiga, anak-anak KBQT turut serta melakukan kajian advokatif. Mereka melakukan kajian dengan antara lain wawancara mendalam dengan para petani penggarap dan menuliskan laporan," ujar Zia

 

Hasil kajian tersebut, Zia melanjutkan dimuat di majalah Veco, sebuah NGO internasional yang berkantor di Denpasar Bali. Juga menjadi salah satu unsur pertimbangan dalam pengambilan kebijakan oleh Lembaga Pembaruan Agraria Nasional (LPAN) yang dipimpin langsung presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Hingga akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan surat edaran mengenai land reform bagi tanah bengkok eks-desa yang berubah menjadi kelurahan, bahwa tanah bengkok tersebut dapat menjadi obyek land reform, yang mana subyek land reform-nya adalah para petani miskin, petani penggarap


Sarana penunjang yang menjadi prioritas adalah akses teknologi informasi, yakni jaringan internet yang menjadi perpustakaan besar bagi murid. Di samping itu juga pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai ruang dan media belajar, semisal sawah atau lahan pertanian, industri rumahan, tambak, warung, perkebunan, dan banyak lokasi lainnya. Juga penting adanya tokoh penggerak desa sebagai mediator antara pihak-pihak yang terkait dengan sekolah..


"Tidak ada busana seragam di KBQT yang dipasakan oleh sekolah, sebagaimana tidak ada jadwal serentak sebagaimana di sekolah-sekolah lain. Dalam sehari, satu kelas bisa hanya bertemu dua sampai tiga jam saja. Kesempatan itu digunakan untuk presentasi tentang materi yang sudah dipelajari secara mandiri, mendiskusikannya, serta merencanakan karya kreatif," ujar Zia.


"Selepas shalat Dzuhur, siswa-siswi muslim berkumpul di serambi masjid untuk tadarus dan saling menasihati (berbagi), kegiatan ini disebut ‘Tawashi’. Sebulan sekali di KBQT ada Gelar Karya, yakni momen di mana siswa-siswi KBQT menampilkan karya-karya mereka, baik individual maupun berkelompok," imbuhnya


​​​​​​​Kata Zia melanjutkan, latar belakang siswa KBQT Qoryah Thayyibah bermacam-macam. Mulai latar belakang sosial, ekonomi, agama dan daerah yang berbeda-beda. Bahkan, setengah lebih siswa KBQT berasal dari luar daerah, ada muslim dan non muslim, ada yang dari keluarga mampu dan tidak mampu. "Terkait biaya pendidikan, di sini berlevel-level sesuai kemampuan ekonomi siswa. "Ada yang level A, dengan biaya gratis. Level B untuk sedang. Dan level C, bagi siswa yang kemampuan ekonominya tinggi," ujar Zia.