Daerah

Perbedaan Waktu Idul Fitri 1444 H Jadi Khasanah Kekayaan Ilmu dalam Islam

Kam, 13 April 2023 | 22:00 WIB

Perbedaan Waktu Idul Fitri 1444 H Jadi Khasanah Kekayaan Ilmu dalam Islam

Bimbingan Teknis Hisab dan Rukyat di Bandarlampung, Kamis (13/4/2023). (Foto: NU Online/M Faizin)

Bandarlampung, NU Online
Berdasarkan data hisab, pada hari Kamis, 29 Ramadhan 1444H bertepatan 20 April 2023 M, posisi hilal saat matahari terbenam di seluruh wilayah Indonesia berada di atas ufuk dengan ketinggian antara 0° 45' (0 derajat 45 menit) sampai 2° 21,6' (2 derajat 21,6 menit). Sudut elongasi antara 1° 28,2' (1 derajat 28,2 menit) sampai dengan 3° 5,4' (3 derajat 5,4 menit).


Dari data ini, sangat dimungkinkan bahwa hilal tidak bisa terlihat saat kegiatan pengamatan/rukyatul hilal yang kemudian dilanjutkan dengan Sidang Isbat awal Syawal 1444 H oleh Kementerian Agama. Dengan tidak terlihatnya hilal tersebut maka bulan Ramadhan 1444 H digenapkan menjadi 30 hari (istikmal). Perbedaan hasil antara metode hisab dan rukyat ini pun akan menjadikan perbedaan pelaksanaan Idul Fitri pada 1444 H.


"Kemungkinan nanti akan ada perbedaan waktu pelaksanaan puasanya. Ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari,” ungkap Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kakanwil Kemenag) Provinsi Lampung Puji Raharjo, saat acara Bimbingan Teknis Hisab dan Rukyat di Bandarlampung, Kamis (13/4/2023).

 

Ia mengajak semua pihak untuk tidak mengeksploitasi perbedaan yang terjadi ini. Perbedaan dalam menentukan awal bulan dalam Islam merupakan kekayaan dari khasanah keilmuan. Keilmuan falak seperti rukyat dan hisab menurutnya sudah menjadi pembahasan para ulama terdahulu sampai sekarang dengan berbagai perbedaan pandangan yang ada.


Perbedaan ini menurutnya terjadi karena adanya perbedaan pemahaman terhadap teks atau nash yang ada, baik itu dari Al-Qur’an dan Sunnah. Bagi yang menggunakan metode hisab (perhitungan), selama sudah ada hilal (wujudul hilal) maka tanggal 1 sudah masuk. Namun, bagi yang menggunakan metode rukyat, keberadaan bulan tersebut harus dipastikan dengan aktivitas rukyat atau melihat hilal langsung dengan mata atau bantuan alat.


Menurutnya perlu edukasi kepada masyarakat bahwa perbedaan metode hisab dan rukyat merupakan kekayaan yang dimiliki umat Islam. Perbedaan ini tidak boleh dijadikan modal untuk saling menyalahkan dan saling mengolok-olok yang mengarah kepada perpecahan. "Perbedaan ini adalah sebuah keniscayaan," katanya.

 

Terutama di era digital ketika setiap orang bisa mengatakan apa saja dan bisa diketahui oleh orang di mana saja, perbedaan dalam pandangan ini sering dijadikan bahan ‘gorengan’ demi mendapatkan keuntungan bagi diri atau kelompoknya.

 

Toleransi dalam perbedaan 1 Syawal 1444 H ini menurutnya memiliki kaitan dengan sikap moderasi dalam beragama. Karena problem dalam moderasi beragama adalah berkembangnya klaim atau penilaian subjektif kebenaran atas nama agama. Mereka menilai pemahaman dirinyalah yang paling benar dan yang lain salah.


"Moderasi beragama adalah mencerdaskan kehidupan beragama. Jadi moderasi beragama mencerdaskan masayarakat dengan mengetahui bahwa perbedaan lebaran sebabnya adalah perbedaan pandangan tentang rukyatul hilal," jelasnya.


"Yang satu berpandangan bahwa harus melihat dengan mata telanjang, yang satu sudah ada (wujudul hilal)," jelasnya.

 

Sementara di tempat terpisah Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung KH Hambali mengimbau masyarakat untuk saling menghormati dan tidak saling menyalahkan serta merasa paling benar sendiri. Semua keputusan memiliki dasar masing-masing yang perlu dihormati dalam upaya toleransi dan saling menghormati.


"Jika ada yang beda, tak perlu dipermasalahkan. Semua memiliki cara masing-masing," ulangnya.

 

Selain terkait dengan kapan dimulainya 1 Syawal 1444 H, ia juga mengimbau masyarakat untuk tetap fokus memaksimalkan ibadah Ramadhan. Bukan hanya kuantitas ibadah saja yang ditingkatkan, namun kualitasnya juga harus diutamakan. Kepedulian sosial juga perlu diperkuat di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih pascapandemi Covid-19.

 

Ketika jelang dan saatnya Lebaran, ia mengingatkan umat Islam untuk melaksanakan kewajiban zakat untuk membersihkan diri dan harta yang dimiliki sekaligus untuk membantu mereka yang membutuhkan. Hal ini penting agar kebahagiaan lebaran bisa benar-benar dinikmati oleh semua orang Islam.


"Kepada para panitia hari besar Islam dan juga takmir masjid juga untuk benar-benar selektif dalam memilih para khatib yang akan dipercaya menyampaikan khutbah. Pastikan khatibnya menyampaikan hal-hal tentang kebaikan, kedamaian, dan ilmu yang menyejukkan masyarakat," harapnya.

 

Jangan sampai momentum Lebaran yang menjadi momentum bahagia dan saling memaafkan dinodai dengan materi khutbah yang memprovokasi dan sebagai ajang menyebarkan kebencian pada orang lain.

 

"Semoga kita senantiasa diberi kesehatan dan keselamatan sehingga diberi umur panjang untuk bisa berlebaran dengan penuh keberkahan," pungkasnya.

 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan