Daerah

Suara-Suara Konservatif Masih Mendominasi Ranah Digital

Rab, 29 Maret 2023 | 14:00 WIB

Suara-Suara Konservatif Masih Mendominasi Ranah Digital

Pemred Islami.co Hengky Ferdiansyah dalam acara Rumah KitaB, di Bekasi, Selasa (28/3/2023). (Foto: NU Online/Syifa)

Bekasi, NU Online
Pemimpin redaksi Islami.co, Hengky Ferdiansyah, menyampaikan bahwa perempuan jadi salah satu agen aktif di ranah digital maupun faktual. Sayangnya, acapkali suara yang digaungkan di ranah digital masih didominasi oleh suara-suara konservatif.


“Ini menjadi catatan sebab suara-suara perempuan di ranah digital banyak dipenuhi dengan narasi konservatif,” kata Hengky dalam acara konsultasi publik bersama Rumah KitaB tentang Wacana Keagamaan Mendukung Perempuan Bekerja, di Bekasi, Selasa (28/2/2023).


Hal itu, menurut dia, tampak dari website-website atau unggahan konten media sosial yang banyak dipenuhi narasi konservatif ketimbang narasi yang lebih moderat.


“Narasi perempuan konservatif lebih dominan ketimbang kelompok progresif tertinggal,” ujarnya.


Namun, Hengky juga melihat ada ketimpangan posisi perempuan di ranah digital. Para pendakwah lelaki di media sosial sejauh ini masih lebih unggul dari pendakwah perempuan.


Ketimpangan ini, lanjut dia, juga berlaku pada ruang faktual, di mana perempuan lebih banyak diam dan kurang percaya diri menyampaikan pendapatnya.


Jika perempuan menjadi agen aktif di ranah digital dengan banyak memproduksi narasi agama, maka ruang-ruang kosong di dunia maya akan terisi. Ini dalam rangka menyeimbangkan peran dakwah yang selama ini didominasi lelaki.


“Faktanya, mereka cenderung lebih berdiam diri di ruang nyata,” ujarnya menyayangkan.


Ketimpangan
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta program dakwah keagamaan di televisi terdapat ketimpangan dalam memposisikan peran gender secara adil.


Hampir 90 persen penceramah di televisi adalah lelaki. Sementara perempuan hanya 10 persen. Hal itu karena pengelola program kesulitan mencari penceramah perempuan. Namun, temuan lainnya malah menyebutkan bahwa mayoritas pemirsa program keagamaan di televisi adalah perempuan.


Namun, kabar baiknya, tambah Hengky, para pendakwah perempuan yang dinilai sebagai minoritas ini cukup progresif dalam menyuarakan figur perempuan di ranah produktif.


“Contoh, beberapa ulama perempuan sibuk menyuarakan hak-hak perempuan untuk berkiprah di ruang produktif meskipun tetap dibubuh narasi antisipatif. Misalnya boleh bekerja/berkarier, tapi dengan izin suami,” paparnya.


Hal ini, sambung dia, menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama para ulama dan pendakwah supaya berpikir lebih solutif dan sistemik dalam menghadapi ketimpangan tersebut.


“Jadi, kalau disimpulkan narasi-narasinya sama, boleh, dengan ketentuan. Namun tidak dapat diubah karena berpegang pada norma-norma yang sudah menancap kuat di masyarakat,” tuturnya.


“Maka, penting untuk berkolaborasi dengan berbagai media, untuk komparasi,” imbuh Hengky.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori