Opini

Berkenang dengan Para Pendahulu tentang Perbedaan

Sel, 30 Juni 2020 | 16:30 WIB

Berkenang dengan Para Pendahulu tentang Perbedaan

Para leluhur kita sejak berabad-abad lalu telah mencetuskan bahwa walaupun berbeda-beda, tetapi kita tetap satu (bhinneka tunggal ika).

Kitab Suci Al-Qur'an menggunakan bentuk tafa'ala dalam redaksi lita'arafuu yang bermakna saling mengenal. Fungsinya lil musyaarakati baina itsnaini fa aktsara (kerja sama dua orang atau lebih).


Tidak cukup interaksi kita itu hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal kita. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau kita meminta orang lain memahami kita, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan al-Qur'an: saling mengenal.


Para leluhur kita sejak berabad-abad lalu telah mencetuskan bahwa walaupun berbeda-beda, tetapi kita tetap satu (bhinneka tunggal ika). Semboyan tersebut bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang ditulis pada abad ke-14 pada era Kerajaan Majapahit.


Perbedaan sudut pandang dalam menafsirkan nash, yaitu Al-Qur’an dan Hadits kerap menimbulkan perdebatan khilafiyah di antara golongan umat Islam. Perbedaan ini juga sangat terkait dengan rujukan Imam Mazhab empat, terutama dalam tataran fiqih dan ubudiyah.


Perdebatan khilafiyah di antara para ulama Indonesia telah terjadi sejak zaman penjajahan. Satu sisi memang ironis berdebat masalah khilafiyah di tengah bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Namun, di sisi lain ada positifnya juga karena dinamika ini dapat menjadikan para ulama dan tokoh agama mudah berkumpul, minimal menemukan problem-problem rakyat Indonesia disamping berdebat masalah khilafiyah.


KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan salah satu ulama yang teguh berpegang pada madzhab. Dalam hubungannya dengan gerakan pembaharuan, Kiai Wahab seringkali tidak bisa menghindar dari serangan-serangan kelompok modernis, baik yang ada di Syarikat Islam (SI) maupun dari KH Mas Mansur yang lebih cenderung ke kelompok modernis anti-madzhab. Kecenderungan inilah yang membuat Kiai Wahab dan Mas Mansur berpisah pada tahun 1922 setelah sebelumnya bersama-sama mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan.

 
Selain harus berjuang menghadapi kolonialisme, Kiai Wahab berupaya memperkuat prinsip bermazhab sehingga dirinya juga mempersiapkan generasi-generasi muda yang tangguh ketika mereka harus dihadapkan dengan kelompok modernis anti-mazhab. Dalam prosesnya, Kiai mendirikan Kursus Masail Diniyah yang khusus mencetak generasi muda berakhlak mulia, cinta tanah air, dan teguh dalam mempertahankan keyakinan bermazhab.


Kiai Wahab telah membangun pertahanan cukup ampuh dalam menghadapi propaganda kaum modernis anti-mazhab. Sebanyak 65 ulama muda yang dikursus memang disiapkan betul untuk menghadapi kelompok pembaharu. Sehingga dalam perkembangannya, ketika muncul perbedaan seputar masalah khilafiyah di beberapa daerah, tidak perlu lagi meminta kedatangan Kiai Wahab tetapi cukup dihadapi oleh ulama-ulama muda tersebut.


Faksi mazhab dan anti-mazhab agaknya terus membuat Kiai Wahab gelisah sehingga mengutarakan maksud untuk mendirikan organisasi Perkumpulan Ulama kepada tokoh sentral se-Jawa dan Madura, KH Muhammad Hasyim Asy’ari, guru sekaligus saudara sepupu Kiai Wahab. Namun Kiai Hasyim melihat bahwa berbagai masalah yang sering menjadi bahan perdebatan antara kelompok tradisionalis (mazhab) dan modernis (anti-mazhab) selama ini belum sampai menyentuh akidah atau prinsip agama.


Di sinilah Kiai Hasyim Asy’ari melihat bahwa perkumpulan para tokoh ulama dalam forum perdebatan masalah khilafiyah dapat membuat kaum penjajah gentar sehingga dapat mempercepat proses bangkitnya nasionalisme bangsa yang sedang terjajah. Untuk maksud ini, Kiai Hasyim memandang perdebatan soal khilafiyah tidak perlu dihentikan (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 35).


Namun demikian, berkobarnya api perdebatan antara ulama bermazhab dan tokoh modernis anti-mazhab patut disayangkan. Terlebih ketika perdebatan yang melibatkan Kiai Wahab berhadapan dengan Soorkati dari Al-Irsyad dan Achmad Dachlan dari Muhammadiyah pada tahun 1921 yang berlangsung cukup sengit dan penuh dengan fanatisme.


Meskipun peristiwa tersebut pada hakikatnya melemahkan, tetapi dengan hadirnya beberapa ulama terkemuka seperti: KH Wahab Chasbullah, Achmad Dachlan, Ahmad Soorkati, Mas Mansur, Agus Salim, Sangadi, Wondoamiseno, dan tokoh lainnya di setiap forum perdebatan justru memunculkan percikan-percikan api kebenaran Islam dari Muslim yang pada akhirnya menjadi palu godam ampuh untuk dipukulkan kepada penjajah.


Artinya, perdebatan soal khilafiyah pada masa itu masih mengandung manfaat, terutama dapat menumbuhkan sikap dan semangat cinta tanah air bangsa Indonesia yang sedang dibelenggu penjajah. Di sini nampak perbedaan adalah Rahmat. Para pendahulu tidak melulu melihat perbedaan sebagai pertentangan, tetapi bisa menjadi triger perjuangan kemerdekaan.


Forum tersebut tentu membuat kaum penjajah linglung dan merasa terganggu konsentrasinya sebab para ulama pesantrenlah yang getol menyemayamkan sikap cinta tanah air sehingga membuat mereka harus memusatkan perhatian pada forum-forum perdebatan itu.


Dari peristiwa sejarah berharga itu, bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran bahwa di setiap perbedaan yang menyeruak dari setiap kelompok ada tujuan utama yang harus dicapai.


Sebab itu, setiap forum pertemuan, diskusi bahkan perdebatan sekalipun harus mempunyai tujuan dan manfaat bagi orang banyak. Di titik inilah KH Hasyim Asy’ari selalu dapat melihat secara jernih setiap persoalan yang ada sehingga tidak begitu saja melarang forum-forum perdebatan khilafiyah Kiai Wahab dengan kaum anti-mazhab saat itu.


 

Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online