Fragmen

Imbas Penaklukan Konstantinopel, Bangsa Eropa Menjajah Nusantara

Sel, 30 Mei 2023 | 11:00 WIB

Imbas Penaklukan Konstantinopel, Bangsa Eropa Menjajah Nusantara

Ilustrasi peta kuno Kota Konstantinopel (sekarang Istanbul). (Foto: Matthäus Seutter via Wikimedia Commons)

Tepat 570 tahun yang lalu, 29 Mei 1453, Konstantinopel (kini Istanbul) takluk oleh pasukan Kerajaan Ottoman. Serangan habis-habisan dengan meriam yang menjadi alat perang paling canggih saat itu mampu merobohkan kegagahan tembok Konstantinopel.


Tak pelak, hal tersebut menjadi strategi jitu Mehmet al-Fatih dalam memuluskan ribuan pasukan Ottoman menyerbu masuk wilayah yang lama diidamkan mereka. Para tentara itu telah dimotivasi dengan imbalan wilayah terbaik dan penghargaan yang layak jika berhasil merangsek masuk dan surga menanti jika pun gugur. Tak lupa, mereka juga ditakut-takuti kematian yang sepadan jika bersembunyi di balik tenda. Hal tersebut sebagaimana diuraikan Roger Crowly dalam 1453: Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim (2005).


Penyerangan itu dimulai pada 6 April 1453. Mehmet betul-betul ambisius dalam menjalankan misi itu. Lebih dari 100 ribu pasukan dikerahkan demi mencapai cita menggapai Konstantinopel. Bukan saja persoalan agama, faktor ekonomi juga menonjol dalam konflik peperangan ini.


Sebab, letak geografis Konstantinopel sangatlah strategis. Wilayah tersebut, sebagaimana disebut Jonathan Harris dalam The End of Byantium (2010), merupakan pusat perdagangan internasional. Wilayah ini menjadi jembatan antara Eropa dan Asia. Karenanya, penguasa di sini memegang kendali dan peraturan dalam lalu lintas perdagangan dan transaksi barang-barang dari satu bagian dunia dapat ditukar dengan barang-barang dari bagian lain. 


Berbagai macam komoditas, disebutkan Harris (2010) melintasi wilayah ini, mulai dari sereal, ikan, dan bulu dari pantai Laut Hitam dan Krimea; anggur dan keju dari Kreta yang dikuasai Venesia; kapas, belerang, linen, buah ara, kismis, sabun, kulit, lemak, timah, besi, dan timah hanyalah beberapa dari sekian banyak komoditas yang diperdagangkan di Konstantinopel. 


Selain itu, ada pula sutra, rempah-rempah, dan kargo eksotis lainnya yang datang melalui laut dari Mesir atau dari Asia yang menjadi barang-barang yang paling menguntungkan. Barang-barang tersebut dibawa melalui darat dan dimuat ke kapal di Trebizond sekitar 550 mil ke timur. Tak pelak, Konstantinopel juga menjelma sebagai pusat distribusi pakaian sutra yang diproduksi di Italia, yang diperdagangkan di sana sebelum dikirim ke Kreta atau Alexandria (Harris, 2010).


Vejas Gabriel Liulevicius, Guru Besar Sejarah The University of Tennessee, Knoxville, menyampaikan bahwa takluknya Konstantinopel ini memberikan dampak yang signifikan terhadap jalur perdagangan dengan timur. Semula, perdagangan ke Barat itu melalui Kekaisaran Byzantium, tetapi sejak ibu kotanya jatuh, wilayah tersebut berada di tangan Turki Ottoman.

 

Karenanya, menjadi sulit bagi orang-orang Eropa dalam menjalankan roda perdagangannya jika hendak melalui jalur tersebut. Selat Bosphorus menjadi sulit untuk dilalui karena pemegang kuasanya yang berbeda. Pun jalur sutra daratan dari wilayah Ottoman bagian Asia hingga mencapai India dan kepulauan timurnya tak lagi terjangkau cepat.


Meskipun rute-rute itu tidak sepenuhnya ditutup mengingat perdagangan terus berlanjut, akan tetapi keinginan orang Eropa untuk mengepung Turki Ottoman dan menemukan rute alternatif untuk perdagangan mereka. Hal demikian ini membawa mereka pada pelayaran ke dunia baru, dunia ketiga, dan mempertemukan mereka dengan titik asal berbagai barang dagangan yang selama ini diperoleh dari titik perdagangan terdekatnya. Bangsa Barat itu terus berlayar sampai Columbus mencapai dunia baru yang baginya di Amerika. Lalu Vasco da Gama berhasil mendarat di India. Perjalanan itu dilalui dengan melintasi Samudra Atlantik dan Hindia.


Menurut Liulevicius, dorongan untuk mengepung Turki ini tidak saja karena persoalan ekonomi semata, tetapi juga bermuatan agama, yang mengingatkan pada Perang Salib. Meskipun titik perseteruan tak dapat digoyahkan lagi, bangsa Eropa tak tinggal diam menerima nasibnya, tetapi justru berupaya untuk menemukan jalan baru dari kebuntuan itu sebagai dari doktrinasi agama dan politiknya. Bagi mereka, hilangnya Roma telah menciptakan celah dalam peta mental dunia. Namun, hal tersebut justru menjadi titik baliknya.


Bangsa Eropa di Bumi Nusantara

Bernard HM Vlekke mencatat dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2016) bahwa Vasco da Gama sudah sampai di pantai India pada musim semi 1498. Kemudian misinya itu dilanjutkan oleh Alfonso de Albuquerque yang meneruskan perjalanannya hingga mencapai Malaka pada tahun 1511. Portugis terus mendesak sampai ke Maluku di tahun yang sama.


Hal ini tidak lain guna mendapatkan rempah-rempah langsung dari titik asalnya mengingat jalur perdagangan melalui jalur sutra sulit dilewati karena penguasaan Ottoman pasca-penaklukan Konstantinopel. Bangsa Eropa menjelajahi jalur maritim lain selain Konstantinopel hingga sampailah ke Nusantara dan melakukan aktivitas kolonialisme.

 

Dikutip dari Vlekke (2016), setiap kilo pala yang diambil Portugis dari pedagang Muslim menjadi satu pukulan telak bagi Ottoman, khususnya di daerah-daerah perdagangan di Suriah dan Mesir.


Sementara itu, Spanyol juga tiba di Brunei pada 1521 dengan kapal Victoria yang dipimpin Magellan. Di situ, mereka tak lama karena ada pecah perang Melayu dan Spanyol. Saat itu, Brunei telah memeluk Islam dan berupaya memperluas penyebaran agama itu ke wilayah utaranya, yakni di Kepulauan Sulu sampai ke Mindanao. Tak pelak, kapal Victoria pun bergeser ke timur dan bertemu Portugis di Maluku. Dari sini, Portugis mulai memasang benteng di wilayah Kerajaan Ternate.


Setelah itu, mulailah bangsa Eropa berdatangan ke Bumi Nusantara. Bukan saja Spanyol dan Portugis, tetapi dalam perkembangannya datang pula bangsa Inggris dan Belanda. Bahkan, bangsa terakhir itu lebih dari tiga abad menduduki wilayah yang mereka sebut sebagai Hindia Timur itu. Karenanya, Konstantinopel takluk berdampak secara langsung pada Nusantara sampai tunduk.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad