Fragmen

Moderasi Berpolitik KH Wahab Chasbullah

Jum, 21 Februari 2020 | 12:00 WIB

Moderasi Berpolitik KH Wahab Chasbullah

KH Abdul Wahab Chasbullah. (Foto: NU Online)

Dalam menghadapi situasi politik kebangsaan yang tidak menentu, KH Abdul Wahab Chasbullah kerap mengambil jalan tengah untuk kemaslahatan secara luas. Hal ini disebut politik jalan Kiai Wahab ketika para ulama tidak sepakat untuk melibatkan diri dalam pemerintahan disebabkan pandangan pemerintah tidak sesuai dengan jalan pikiran para ulama.

Namun, Kiai Wahab selalu bisa meyakinkan para ulama agar tetap membuka diri dalam berkontribusi di pemerintahan. Sederhana bagi Kiai Wahab karena justru jika para ulama di luar pagar pemerintahan, mudharat yang ditimbulkan malah lebih besar.

Hal itu berbeda dengan sikap KH Bisri Syansuri yang dikenal sebagai ulama fiqih yang lugas dan tegas sehingga banyak berbenturan dengan Kiai Wahab Chasbullah yang lebih luwes dan moderat.

Suatu ketika Bung Karno membubarkan Konstituante dan DPR kemudian membentuk DPR Gotong Royong, Kiai Bisri menganggap langkah Bung Karno itu ghosob (penjarahan) terhadap hak rakyat. Karena itu, Kiai Bisri menolak NU bergabung di DPR GR maupun dalam pemerintahan Soekarno. (baca Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah NU, 2017)

Pandangan Kiai Bisri tersebut berbanding terbalik dengan pemikiran Kiai Wahab. Kiai Wahab berpandangan, untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, NU harus terlibat di DPR GR maupun di kabinet. Kata Kiai Wahab, yang penting masuk dulu dan berjuang dari dalam. Jika tidak cocok, keluar dari rezim bukan persoalan rumit. Akhirnya, NU masuk dalam DPR GR dan kabinet.

Moderasi berpolitik juga ditunjukan Kiai Wahab saat para ulama menolak hasil Persetujuan Renville. Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 antara Indonesia dan pihak Belanda di atas Kapal Renville Amerika Serikat. Salah satu isinya ialah, pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat atau RIS.

Poin-poin dalam Perjanjian Renville dinilai lebih buruk ketimbang Perjanjian Linggarjati yang dilakukan sebelumnya, 11 November 1946 di Jawa Barat. Hasil perundingan Renville ditentang oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang tergabung dalam “Benteng Republik Indonesia”, terutama oleh golongan Islam. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013)

Singkatnya, hasil perundingan Renville ini menjadi sebab jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin. Kabinet ini hanya berumur 6 bulan dan digantikan oleh Kabinet Hatta (Presidentil) yang dilantik oleh Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948.

Pada Kabinet Hatta, Bung Hatta selaku pembentuk kabinet ingin merangkul berbagai golongan, termasuk golongan Islam yang getol menolak Perjanjian Renville. Kabinet Hatta yang salah satu program kabinetnya ialah melaksanakan hasil Perundingan Renville, menyebabkan umat Islam yang tergabung dalam Partai Masyumi menolak untuk bergabung. Namun demikian, Masyumi sebagai partai besar tetap mengadakan rapat untuk menentukan sikap persetujuan duduk tidaknya DPP Masyumi dalam Kabinet yang sedang disusun Bung Hatta.

Malam pertama, rapat dipenuhi perdebatan yang cukup sengit sehingga belum bisa mengambil keputusan. Lalu, Sidang DPP Masyumi tersebut dilanjutkan di malam kedua. Di hari kedua sidang tersebut, Kiai Wahab mengusulkan untuk menerima tawaran Bung Hatta.

“Saya usulkan agar kita menerima tawaran Bung Hatta,” ujar Kiai Wahab dengan suara cukup lantang. “Tapi orang-orang kita yang duduk dalam kabinet itu atas nama pribadi sebagai warga negara yang loyal kepada negara. Jadi yang duduk di kabinet itu bukan Masyumi sebagai partai yang tegas-tegas menentang Persetujuan Renville dan Persetujuan Linggarjati!”

Pemikiran Kiai Wahab tersebut mendapat sambutan positif dari pengurus Masyumi. Sebab menurutnya, meskipun secara organisasi menolak Perundingan Renville, tetapi sebagai warga negara tentu tidak bijak ketika negara memanggil untuk melaksanakan tugas kenegaraan namun menolaknya.

Tetapi, usulan Kiai Wahab mendapat respon sebaliknya dari Kiai Raden Hajid. “Loh, alasannya apa kita duduk dalam kabinet yang akan melaksanakan Renville padhal sejak semula kita menolak Renville? Apa ini tidak melakukan perbuatan munkar?” kata Kiai Raden Hajid tidak kalah lantangnya.

“Kita tidak hendak melaksanakan perkara munkar, bahkan sebaliknya, kita hendak melenyapkan munkar,” tutur Kiai Wahab merespon reaksi Kiai Raden Hajid. Bagi Kiai Wahab, dulu Nabi Muhammad berupaya mengubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dengan perbuatan.

Dengan duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama untuk melaksanakan misi tersebut. Kiai Wahab justru menilai, ketika hanya duduk di luar kabinet, ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa. “Mungkin, bahkan dituduh sebagai pengacau,” tegas Kiai Wahab. Akhirnya, Kiai Raden Hajid bisa menerima usulan dan pendapat Kiai Wahab.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi