Fragmen

Muslimat NU Indramayu Tahun 1939

Sen, 30 Maret 2020 | 19:00 WIB

Sebelum resmi memilik badan otonom khusus perempuan pada tahun 1946, bibit-bibit aktivitas kaum ibu sudah berjalan pada masa pertumbuhan NU. Paling tidak sejak tahun 1938, ditandai momentum pidatonya NU bagian istri dari Bandung atas nama Nyai Djuaesih. Momentum itu berlangsung pada muktamar NU ke-13 di Menes, Pandeglang, Banten.  

Di Jawa Barat, selain Bandung, gerakan perempuan NU juga berlangsung di Indramayu. Hal itu ditunjukkan melalui laporan Berita Nahdlatoel Oelama edisi No 2 tahun ke-9, 1 November 1939, hal 13/027. Majalah NU yang dipimpin KH Mahfudz Shiddiq itu menurunkan laporan berjudul Plaatsekijk Reglement Nahdlatoel Oelama Bahagian Moeslimat Tjabang Indramajoe. Laporan itu terpenggal di dua edisi majalah, yakni no 2 tahun ke-9 edisi 1 November 1939, hal 13/027 dan no 3 tahun ke-9 edisi 4 Desember 1939, hal 5/033.  

Di dalam laporan tersebut sebetulnya hanya memuat AD/ART Muslimat NU Indramayu dengan menyertakan berbagai pasal serta penjelasannya. Sayang sekali laporan itu, tidak mencantumkan aktivitas Muslimat di kabupaten tersebut. Juga belum ditemukan di edisi-edisi lain. Begitu pula pada majalah NU yang lebih tua misalnya di Swara Nahdlatoel Oelama maupun di Oetoesan Nahdlatoel Oelama.  

Kemudian pada bagian akhir, sambungan laporan tersebut tercantum “Indramajoe 3 Mei 1939” yang menyebutkan bahwa Ketua Muslimat NU Indramayu bernama Siti Hasanah, sementara sekretarisnya adalah Solicha.  Juga ada keterangan bahwa AD/ART tersebut telah dibaca oleh pengurus syuriyah dan tanfidziyah Indramayu serta dibenarkan oleh HBNO (PBNU) bagian syuriyah dan tanfidziyah di Surabaya. 

Lain dari itu, aktivitas Muslimat NU Indramayu hanya terekam di dalam sebuah muktamar, yakni sang ketua, Siti Hasanah dan sekretarisnya Solicha, tercatat sebagai peserta yang datang bersama rombongan lain dari Indramayu.

Kehadirannya bisa ditemukan pada muktamar NU ke-15 di Surabaya pada tahun 1941, sebuah muktamar terakhir pada masa penjajahan Belanda. Namun lagi-lagi belum ditemukan laporan tentang aktivitasnya labih jauh. Keduanya hanya tercatat di absensi, tapi tak diketahui aktivitasnya. 

Meski demikian, laporan tersebut telah menunjukkan eksistensinya yang terbilang langka dibanding gerakan perempuan NU di tempat lain. 

Pada muktamar ke-15 itu pula, hadir Ketua Muslimat NU dari Cirebon. Kebetulan namanya sama dengan ketua Muslimat NU Indramayu, sama-sama Hasanah yang diawali Siti. 

Muslimat NU dan Muktamar ke-15
Pada Muktamar NU yang ke-15 NU di Surabaya, telah diusahakan pembentukan badan tersendiri bagi para perempuan NU, yang telah lengkap aturan organisasi dan para pengurusnya, tetapi belum terdapat pengakuan resmi.

Hanya saja di dalam laporan muktamar NU, HBNO atau sekarang PBNU merasa gembira dengan perkembangan pergerakan perempuan di NU. Bahkan laporan tersebut mengatakan bahwa mulai saat itu, perempuan NU tak kalah dengan perkumpulan mana pun. 

Kedatangan Jepang dan suasana perang membuat aktivitas organisasi NU lumpuh, termasuk badan-badan yang berada dibawah NU. Muktamar ke-15 menjadi muktamar terakhir di masa Hindia Belanda sebab muktamar selanjutnya, Indonesia sudah merdeka.  

Pada muktamar ke16 di Purwokerto tahun 1946, Muslimat menjadi bagian resmi NU dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) yang memiliki struktur kepengurusan sendiri, yang menangani berbagai masalah perempuan yang mereka hadapi. Karena itu, hari lahir Muslimat NU dicatat pada 29 Maret 1946 atau 26 Rabiul Akhir 1465. Pengurus Muslimat pertama Penasehat : Ny Fatmah Surabaya Ketua : Ny Chadijah Pasuruan Penulis : Ny Mudrikah Penulis II : Ny Muhajja Bendahara : Ny Kasminten Pasuruan Pembantu : Ny Fatehah Pembantu : Ny Musyarrafah Surabaya Pembantu : Ny Alfijah 

 
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad