Fragmen

NU dan Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955

Ahad, 28 April 2019 | 23:00 WIB

NU dan Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955

Ilustrasi NU dan Pemilu Pertama di Indonesia Tahun 1955.

Sepuluh tahun merdeka dari genggaman penjajahan, Indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu) untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Pemilu tersebut menggunakan sistem multipartai, yaitu diikuti 172 peserta partai politik. Nahdlatul Ulama sebagai salah satu peserta dari ratusan partai politik tersebut. Dan hasilnya sangat memuaskan.
 
NU yang semula berdiri sebagai jam'iyah diniyah akhirnya memilih menjadi partai politik. Sebelum itu, meminjam analisa Martin van Bruinessen (NU tradisi, relasi-relasi kuasa, pencarian wacana baru, LKiS Jogja, 2009), untuk memahami orientasi politik NU secara lebih jelas dan secara global, hendaknya terlebih dahulu kita membaca bagaimana NU berjalan dalam sebuah periodisasi. Paling tidak sampai sebelum pemilu 1955.
 
Pada 1926-1942, tentu saja pada masa Indonesia masih dalam cengkeraman kolonial Belanda. Pada masa-masa inilah NU abstain dari dunia politik. Semua gerakan NU waktu itu, murni untuk mengembangkan, melestarikan, dan mempertahankan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah, melalui pengajian-pengajian umum, pengajaran agama, dan juga diskusi-diskusi di beberapa pesantren. Pada masa ini pula para pemimpin NU menggagas berdirinya MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) sebagai wadah perkumpulan seluruh organisasi umat Islam.
Periode kedua 1942-1945, yakni pada masa pendudukan Jepang. Pada masa inilah NU sudah mulai terlibat dalam dunia politik. Para pemimpin NU banyak dilibatkan oleh Jepang dalam mengurus Shumubu, kantor urusan agama (cikal bakal berdirinya Departemen Agama). Beberapa pemuda NU juga aktif di barisan Hizbullah dan Sabilillah, sayap militer organisasi Islam, yang murni mencita-citakan adanya kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Sayap militer ini berbeda dengan PETA yang dirancang untuk membantu Jepang dalam perang pasifik. Bahkan para tokoh-tokoh NU adalah komandan dan pimpinan tertinggi dalam Hizbullah dan Sabilillah.
 
Periode ketiga 1945-1949, yakni masa perang kemerdekaan. Pada masa ini NU terlibat secara aktif dan radikal dalam politik. Melawan tentara sekutu dengan sayap militernya yang sudah lama terbentuk. para santri dan pemuda NU bergabung dengan Hizbullah dan Sabilillah, memakai jimat dan senjata apa adanya untuk melawan Belanda. Pada masa ini pula NU mengeluarkan “Resolusi Jihad” sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang akan mencengkeram Indonesia. NU juga mengkritik keputusan pemerintah yang menandatangani perjanjian Linggarjati dan Renville dengan Belanda (yang sangat merugikan Indonesia). Sikap ini jauh berbeda dengan sikapnya saat Indonesia masih dalam penjajahan Belanda dimana NU sama sekali tidak menyentuh persoalan politik.
 
Kemudian NU bergabung dengan organisasi-organisasi Islam lainnya membentuk Masyumi. Namun NU banyak mengalami kekecewaan di dalam Masyumi yang akhirnya membentuk partai sendiri. Pilihan yang sulit untuk menjadi partai sebab harus berpisah dengan partai yang didirikan dan dibesarkan NU sendiri.
 
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984. 
 
Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan. 
 
Sebagian pengamat sering menyalahartikan perpisahan itu. Mereka menilai NU merusak persatuan umat Islam. Itu merupakan penilaian yang salah. Gen NU dalah gen berjamaah, bersatu. Karena itulah, selepas keluar, NU membentuk Liga Muslim Indonesia bersama PSII, Perti dan Darud Dakwah wal Irsyad Makassar.
 
Bersatu dengan seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.
 
“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.
 
Kehendak NU bersatu dengan elemen umat Islam telah dibuktikan sebelumnya dengan membidani Majelis Islam A'la Indonesa (MIAI) pada masa penjajahan Belanda 1937. Dengan duduk bersama perwakilan elemen umat Islam, NU berharap perdebatan furuiyah yang marak terjadi pada tahun-tahun itu terhenti. NU menilai, perdebatan semacam itu hanya merugikan umat Islam sendiri, terutama kaum awam. 
 
Dari MIAI ini, pada zaman penjajahan jepang, kemudian menjelma jadi Masyumi. NU tetap berada di dalamnya.
 
Bersama Perti, sebuah organisasi yang didirikan di Sumatera Barat pada 1930, jauh sebelumnya, di tahun 1940-an, NU memiliki hubungan erat, paling tidak di antara tokohnya. Hal itu tiada lain karena sesama berhaluan Ahlussunah wal Jamaah. 
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984. 
 
Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan. 
 
Sebagian pengamat sering menyalahartikan perpisahan itu. Mereka menilai NU merusak persatuan umat Islam. Itu merupakan penilaian yang salah. Gen NU dalah gen berjamaah, bersatu. Karena itulah, selepas keluar, NU membentuk Liga Muslim Indonesia bersama PSII, Perti dan Darud Dakwah wal Irsyad Makassar.
 
Bersatu dengan seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.
 
“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.
 
Kehendak NU bersatu dengan elemen umat Islam telah dibuktikan sebelumnya dengan membidani Majelis Islam A'la Indonesa (MIAI) pada masa penjajahan Belanda 1937. Dengan duduk bersama perwakilan elemen umat Islam, NU berharap perdebatan furuiyah yang marak terjadi pada tahun-tahun itu terhenti. NU menilai, perdebatan semacam itu hanya merugikan umat Islam sendiri, terutama kaum awam. 
 
Dari MIAI ini, pada zaman penjajahan jepang, kemudian menjelma jadi Masyumi. NU tetap berada di dalamnya.
 
Bersama Perti, sebuah organisasi yang didirikan di Sumatera Barat pada 1930, jauh sebelumnya, di tahun 1940-an, NU memiliki hubungan erat, paling tidak di antara tokohnya. Hal itu tiada lain karena sesama berhaluan Ahlussunah wal Jamaah. 
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984. 
 
Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan. 
 
Sebagian pengamat sering menyalahartikan perpisahan itu. Mereka menilai NU merusak persatuan umat Islam. Itu merupakan penilaian yang salah. Gen NU dalah gen berjamaah, bersatu. Karena itulah, selepas keluar, NU membentuk Liga Muslim Indonesia bersama PSII, Perti dan Darud Dakwah wal Irsyad Makassar.
 
Bersatu dengan seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.
 
“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.
 
Kehendak NU bersatu dengan elemen umat Islam telah dibuktikan sebelumnya dengan membidani Majelis Islam A'la Indonesa (MIAI) pada masa penjajahan Belanda 1937. Dengan duduk bersama perwakilan elemen umat Islam, NU berharap perdebatan furuiyah yang marak terjadi pada tahun-tahun itu terhenti. NU menilai, perdebatan semacam itu hanya merugikan umat Islam sendiri, terutama kaum awam. 
 
Dari MIAI ini, pada zaman penjajahan jepang, kemudian menjelma jadi Masyumi. NU tetap berada di dalamnya.
 
Bersama Perti, sebuah organisasi yang didirikan di Sumatera Barat pada 1930, jauh sebelumnya, di tahun 1940-an, NU memiliki hubungan erat, paling tidak di antara tokohnya. Hal itu tiada lain karena sesama berhaluan Ahlussunah wal Jamaah. 
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984. 
 
Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan. 
 
Sebagian pengamat sering menyalahartikan perpisahan itu. Mereka menilai NU merusak persatuan umat Islam. Itu merupakan penilaian yang salah. Gen NU adalah gen berjamaah, bersatu. Karena itulah, selepas keluar, NU membentuk Liga Muslim Indonesia bersama PSII, Perti dan Darud Dakwah wal Irsyad Makassar.
 
Bersatu dengan seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.
 
“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.
 
Kehendak NU bersatu dengan elemen umat Islam telah dibuktikan sebelumnya dengan membidani Majelis Islam A'la Indonesa (MIAI) pada masa penjajahan Belanda 1937. Dengan duduk bersama perwakilan elemen umat Islam, NU berharap perdebatan furuiyah yang marak terjadi pada tahun-tahun itu terhenti. NU menilai, perdebatan semacam itu hanya merugikan umat Islam sendiri, terutama kaum awam. 
 
Dari MIAI ini, pada zaman penjajahan jepang, kemudian menjelma jadi Masyumi. NU tetap berada di dalamnya.
 
Bersama Perti, sebuah organisasi yang didirikan di Sumatera Barat pada 1930, jauh sebelumnya, di tahun 1940-an, NU memiliki hubungan erat, paling tidak di antara tokohnya. Hal itu tiada lain karena sesama berhaluan Ahlussunah wal Jamaah. 
Kembali lagi pada pemilu 1955, NU memperoleh hasil yang memuaskan. NU berada di urutan ketiga. Urutan pertama adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) mendapatkan suara 8.434.653 (22,32 persen) dengan perolehan 57 kursi. Kedua Partai Masyumi mendapatkan suara 7.903.886 (20,92 persen) dengan perolehan 57 kursi. Ketiga, Partai Nahdlatul Ulama (NU) mendapatkan suara 6.955.141 (18,41 persen) dengan perolehan 45 kursi. Keempat, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan suara 6.179.914 (16,36 persen) dengan perolehan 39 kursi. (Abdullah Alawi)