Fragmen

Pelajaran Hidup Gus Im dari Ibunya Nyai Solichah Wahid Hasyim

Sab, 8 Agustus 2020 | 08:35 WIB

Pelajaran Hidup Gus Im dari Ibunya Nyai Solichah Wahid Hasyim

KH Hasyim Wahid atau Gus Im. (Foto: dok. NU Online)

Almaghfurlah KH Hasyim Wahid (1953-2020) yang terlahir dengan nama Muhammad Hasyim baru berumur tiga bulan di dalam kandungan ibunya, Nyai Hj Solichah Munawwaroh saat ditinggal ayah tercintanya, KH Wahid Hasyim yang wafat pada pada 19 April 1953. KH Hasyim Wahid yang akrab disapa Gus Im lahir di Jakarta pada 10 Oktober 1953. Hal ini berbeda dengan kelima kakak-kakaknya yang semuanya lahir di Jombang, Jawa Timur.


Saat ayahnya meninggal dunia, kelima kakak Gus Im yaitu pertama Abdurrahaman Addakhil (Abdurrahman Wahid) berusia 14 tahun dan baru lulus sekolah dasar saat itu. Konon nama ini berasal dari nama tokoh Bani Umayah yang mendirikan Daulah Umayah di Andalusia. Kedua, Aisyah berusia 12 tahun dan baru kelas 5 sekolah dasar.


Ketiga Salahuddin Al-Ayyubi yang kini dikenal Salahuddin Wahid berusia 10 tahun dan baru kelas 3 sekolah dasar, dan keempat, Umar Al-Faruq atau Umar Wahid berusia 9 tahun dan baru duduk di kelas 2 sekolah dasar, kelima Lilik Chodijah yang baru berusia 5 tahun dan masih belajar di taman kanak-kanak saat itu.


Termasuk Gus Im, semua anaknya itu dididik dan disekolahkan di Jakarta untuk pertama kali, kemudian ada yang melanjutkan ke Jawa Tengah (Pesantren Tegalrejo), ITB, dan Mesir. Dalam hal pendidikan agama, ketika suaminya masih hidup, anak-anak Nyai Solichah sering mengaji kepada ayahnya  sendiri di tengah kesibukannya menjabat sebagai Menteri Agama.


Majalah Risalah Islamyah edisi Nomor 7-IX-1977 mencatat, tradisi shalat jamaah pun diterapkan betul oleh Nyai Solichah untuk mewujudkan kedisiplinan Gus Im dan kakak-kakaknya. Setiap maghrib harus berjamaah, lalu dilanjut dengan mengaji Al-Qur’an bersama-sama. Khusus malam Jumat, mereka juga diharuskan membaca tahlil secara berjamaah.


Hal itu merupakan kebiasaan setiap hari yang sudah dibina sejak dulu. Juga apabila datang bulan puasa, maka setiap habis sahur, Gus Im dan kakak-kakaknya dibiasakan sembahyang subuh berjamaah. Di samping itu, ada pula disiplin lainnya yang dijaga dengan baik, yaitu makan bersama.


Dalam pandangan Nyai Solichah, pendidikan agama sangat penting dalam membina moral Gus Im dan kelima kakaknya sehingga peran apapun yang dijalani anak-anaknya kelak, mereka tetap terjaga untuk taat kepada Tuhannya. Selain itu, pendidikan rohani juga mampu menjadikan anak tidak mudah minder (kecil hati) karena Islam mendidik manusia berhati besar tetapi tidak sombong.


Pendidikan berharga yang selalu ditekankan oleh Nyai Solichah juga terkait dengan berusaha menjadi diri sendiri, beramal dengan karya sendiri, tidak menggantungkan dan membonceng orang lain, terutama membonceng kebesaran orang tua. Hal ini ditumbuhkan betul kepada Gus Im dan kelima kakaknya.


Karena menurutnya, lebih baik menjadi orang besar karena karyanya sendiri daripada menjadi besar karena orang tuanya. Oleh sebab itu dalam pandangan Nyai Solichah, bekal akhlak dan ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini menjadi perhatian Gus Im dan kakaknya.


Gus Im merupakan anak bungsu. Ia mendapat pendidikan karakter yang kuat dan kokoh dari ibunya, Nyai Hj Solichah. Tentu saja dari ayahnya KH Wahid Hasyim melalui kakak-kakaknya. Gus Im meninggal pada Sabtu, 1 Agustus 2020 di Jakarta beberapa menit sebelum waktu subuh tiba, tepatnya pukul 04.18 WIB pagi.


Gus Im pernah menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Gus Im juga pernah menempuh studi di Fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fakultas Psikologi UI walaupun tidak lama. Dari deretan studinya itu, Gus Im dikenal sebagai sosok yang genius.


Pada tahun 1998-2000, Gus Im menjadi salah satu anggota pengurus PDI Perjuangan dan menjadi penasihat Gerakan Pemuda PKB. Tahun 1999-2001, Gus Im mengemban amanat sebagai konsultan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).


Gus Im juga dikenal merupakan sosok yang penting dan berpengaruh dalam NU. Ia diketahui banyak kalangan merupakan tokoh penggerak anak-anak muda NU. Ia pernah menjadi Pengurus LTN PBNU (2010-2015), dan pada tahun 2015-2020 KH Hasyim Wahid menjadi Mustaysar Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU).


Gus Im banyak menuangkan pikiran dan gagasan di sejumlah media nasional. Ia juga menulis buku Antologi Puisi berjudul “Bunglon” dan buku “Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia”.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon