Internasional

Mengintip Kebijakan Arab Saudi tentang Pengeras Suara

Sab, 26 Februari 2022 | 07:30 WIB

Jakarta, NU Online

Kebijakan Kementerian Agama RI melalui Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala sedang hangat dibicarakan. Kebijakan ini bergulir dan mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari masyarakat terutama di media sosial. Beberapa kebijakan pengaturan pengeras suara ini di antaranya terkait dengan volume, waktu, dan penggunaannya.


Kebijakan pengaturan penggunaan pengeras suara ini sebenarnya bukan hanya diberlakukan di Indonesia. Di berbagai negara, baik yang memiliki keragaman suku, budaya, dan agama ataupun yang cenderung homogen, kebijakan ini sudah diterapkan. Sebut saja di Mesir, Bahrain, Malaysia, Uni Emirat Arab, India dan Nigeria.


Di Arab Saudi, yang notabene hampir seluruh penduduknya beragama Islam, juga memiliki peraturan terkait dengan penggunaan pengeras suara. Awalnya, pada 2011 pemerintah Arab Saudi meminta suara speaker di masjid untuk diturunkan volumenya ketika shalat berjamaah. Kemudian pada pertengahan 2015, pemerintah mengambil kebijakan untuk me-non-aktifkannya kecuali untuk shalat Jumat, Id, dan shalat Istisqa.


Lalu seperti apa respon penduduk Arab Saudi terkait kebijakan ini dan apa pertimbangan Negara Islam ini memberlakukan pengaturan pengeras suara di Masjid?


Seperti di Indonesia, kebijakan Pemerintah Arab Saudi ini mendapatkan tanggapan pro dan kontra di masyarakat. Kelompok yang pro, sepakat dengan kebijakan pemerintah yang menilai bahwa pengeras suara harus diatur tidak lebih dari sepertiga dari volume maksimum. Pengaturan volume juga perlu dilakukan untuk saat mengumandangkan adzan


Dikutip dari Aljazeera, Menteri Urusan Islam Abdullatif al-Sheikh mengatakan bahwa kebijakan tersebut sebagai tanggapan atas keluhan warga bahwa volume keras yang mengganggu anak-anak serta orang tua. Masyarakat di Arab Saudi berpendapat bahwa mereka yang ingin shalat tidak perlu menunggu suara adzan. Mereka bisa berada di masjid terlebih dahulu sebelum adzan. Beberapa saluran televisi juga telah menyiarkan shalat dan pembacaan Al-Qur'an sehingga pengeras suara menurutnya hanya digunakan untuk tujuan tertentu.


Namun seperti yang terjadi di Indonesia, keputusan ini pun menimbulkan ketidaksetujuan khususnya di media sosial. Yang kontra kebijakan ini juga men-viralkan protes mereka dengan tagar yang menyerukan pelarangan musik keras di restoran dan kafe. Pemerintah sudah melihat dan melakukan antisipasi jika gerakan ini didukung oleh yang disebut Menteri Urusan Islam sebagai "musuh kerajaan" yang "ingin menggerakkan opini publik".


Pembatasan penggunaan pengeras suara di Arab Saudi ini tercantum dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Urusan Islam Arab Saudi yang memuat beberapa poin penting. Pertama, semua umat hanya berdoa kepada Allah, sehingga seharusnya tak ada orang yang dirugikan. Kedua, suara imam seharusnya hanya didengar jelas oleh orang-orang di dalam masjid. Sehingga suara imam tidak perlu terdengar sampai ke rumah-rumah yang ada di sekitar masjid.


Ketiga, ada risiko penghinaan Al-Qur’an ketika ayat-ayatnya dibacakan, sementara orang lain tak mendengarkan. Keempat, suara dari pengeras suara itu mengganggu orang tua, pasien, dan anak-anak yang tinggal di rumah-rumah sekitar masjid. Kelima, kerap terjadi pula interupsi di tengah pembacaan doa sehingga menimbulkan kebingungan di tengah orang yang mendengarkan.


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Fathoni Ahmad