Kesehatan

Hubungan Logo Halal dan Kehalalan Makanan

Kam, 5 Januari 2023 | 11:00 WIB

Hubungan Logo Halal dan Kehalalan Makanan

Logo halal merupakan kewajiban bagi semua produk terutama makanan, minuman, alat kosmetik, dan lain-lain. (Ilustrasi: NU OnLine)

Memasuki tahun 2023, jumlah produk makanan dan minuman berlogo halal di Indonesia saat ini meningkat tajam. Logo halal resmi yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama dapat dipasang di kemasan produk makanan atau minuman setelah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).


Selain itu, masih banyak juga produk lain yang berlogo halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Kedua logo tersebut saat ini sama-sama diakui sebagai logo yang dapat menjamin kehalalan suatu produk di Indonesia sebelum nantinya, logo halal Indonesia dari BPJPH lah yang diterapkan untuk semua produk.


Seiring dengan maraknya sertifikasi halal, masyarakat di Indonesia kerap bertanya. Apakah produk yang belum belogo halal berarti tidak halal? Pertanyaan ini sangat umum karena mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum muslimin yang sangat memperhatikan kehalalan makanan atau minuman. Apalagi pemerintah punya kewajiban menjamin kehalalan produk yang beredar di Indonesia agar ketenangan bagi umat Islam tetap terjaga.


Produk makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh kaum muslimin di Indonesia secara bertahap akan diwajibkan untuk bersertifikat halal. Proses ini akan terus dikawal hingga Oktober 2024 sebagaimana amanat Undang-undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 tahun 2014. Setelah itu, kewajiban tersebut akan diberlakukan dengan semua konsekuensinya.


Apabila dalam kurun waktu sebelum Oktober 2024 masih ada produk makanan yang belum bersertifikat halal, maka belum tentu produk itu tidak halal. Namun, belum adanya logo dan sertifikat halal menandakan bahwa kehalalan produk itu belum terjamin oleh yang memiliki kewenangan dalam menyatakan kehalalan. Belum adanya logo halal yang melekat atau terpasang pada kemasan produk bisa saja karena produk tersebut sedang berproses untuk mendapatkan sertifikat halal, tetapi belum selesai rangkaian tahapannya.


Rangkaian sertifikasi halal yang diterapkan oleh BPJPH memiliki dua jalur. Jalur yang pertama adalah self declare atau pernyataan mandiri yang diberlakukan untuk UMKM yang memenuhi persyaratan. Sedangkan jalur yang kedua adalah jalur regular untuk selain UMKM. 


Pada jalur self declare, BPJPH tidak mengenakan biaya atau menggratiskan proses sertifikasi halal untuk UMKM yang memenuhi persyaratan. Biaya yang muncul terhadap proses tersebut ditanggung oleh negara atau pihak lain yang memfasilitasi proses sertifikasi halal. Tidak hanya gratis, pemerintah melalui BPJPH dan berbagai lembaga memberikan bantuan pendampingan untuk UMKM agar tersertifikasi halal.


Orang yang mendampingi UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal disebut sebagai pendamping Proses Produk Halal (PPH). Pendamping PPH ini juga tidak memungut biaya terhadap UMKM yang didampinginya. Pendamping PPH mendapatkan insentif dari pemerintah terhadap pelaksanaan tugasnya.


Proses untuk mendapatkan sertifikasi halal melalui jalur self declare cukup ringkas dan sederhana. Terlepas dari bahan-bahan dan proses produksi yang sederhana, produk UMKM yang mendapatkan fasilitasi dari jalur ini memang tidak beresiko tinggi untuk terkontaminasi bahan-bahan yang tidak halal. Oleh karena itu, bila dihitung waktunya sejak mendaftar hingga memperoleh sertifikat halal jalur self declare berlangsung sekitar 3 bulan atau lebih cepat dari itu.


Selain jalur self declare, proses sertifikasi halal lainnya adalah jalur regular. Jalur regular ini tidak gratis atau berbayar. Biasanya, perusahaan-perusahaan makanan atau minuman industri besar maupun yang non-UMKM menempuh jalur ini. Mereka akan diaudit oleh auditor dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang resmi. Berbagai komponen produk, fasilitas, hingga sumber daya manusia yang terlibat akan diperiksa secara seksama untuk memastikan terlaksananya jaminan halal.


Komponen bahan untuk membuat produk makanan atau minuman dari industri yang menempuh jalur regular juga tidak sederhana. Biasanya, di antara kompleksitas bahan tersebut memiliki titik kritis yang harus diperiksa dan dipastikan oleh auditor. Titik kritis yang dimaksud adalah kemungkinan suatu bahan terkontaminasi sehingga dapat menjadi tidak halal. Dalam proses pemeriksaan dan pemastian inilah, auditor harus bekerja dengan sangat teliti untuk menelusuri setiap celah titik kritis tersebut.


Pemeriksaan titik kritis bahan selain mengacu kepada dokumen bahan juga dapat melibatkan pemeriksaan fasilitas atau sarana produksi. Bila bahan baku makanan atau minuman diproduksi di luar negeri atau diimpor, maka pemeriksaan atau audit juga dapat dilakukan di negara tempat produksi bahan tersebut.


Namun, ada kalanya bahan baku yang dihasilkan di luar Indonesia telah tersertifikasi oleh lembaga halal luar negeri. Bila bahan-bahan tersebut sudah mendapatkan sertifikat halal dari lembaga resmi negara lain yang diakui oleh BPJPH, maka sertifikat halal tersebut dapat diakui sebagai dokumen yang mendukung sertifikasi halal oleh BPJPH sehingga prosesnya akan lebih cepat.


Bila bahan baku yang kompleks banyak digunakan dalam pembuatan suatu produk makanan atau minuman, pemeriksaan halal akan semakin lama. Saat ini, banyak bahan baku yang kompleks atau tersusun dari berbagai macam bahan.


Sebagai contoh, perisa makanan sintetik atau flavor merupakan campuran dari berpuluh-puluh bahan kimia sintetik. Untuk menghasilkan satu perisa buatan rasa buah tertentu, maka digunakan berpuluh-puluh komponen bahan kimia.


Produk makanan atau minuman berperisa sintetik inilah yang disebut sebagai produk dengan kompleksitas yang tinggi. Selain itu, titik kritis kehalalannya juga tersebar di berbagai komponen. Ice cream dan minuman kekinian dengan berbagai rasa merupakan contoh produk pangan yang kompleks. Produk lain yang kompleks adalah obat dan kosmetika. Tidak hanya perisa sintetik, tetapi produk-produk tersebut menggunakan berbagai macam emulgator maupun pewarna serta zat tambahan lainnya.


Oleh karena itu, peluang halalnya suatu produk yang kompleks tetap ada. Namun, ada juga titik kritisnya sehingga kejelasan statusnya baru bisa diketahui setelah selesainya proses sertifikasi halal. Proses sertifikasi halal harus mengikuti ketentuan yang berlaku sesuai dengan standar yang diterapkan oleh BPJPH. Ketentuan tersebut juga mengadopsi fiqih Islam hingga pertimbangan para ahli dalam sidang fatwa oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.


Apabila ada komponen bahan yang diragukan kehalalannya, pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dapat menggunakan berbagai peralatan analisis untuk memastikan status kehalalan bahan. Oleh karena itu, keterlibatan para ahli dalam menganalisis kehalalan produk juga akan dipertimbangkan dalam sidang komisi fatwa MUI.


Dengan proses sertifikasi halal yang telah distandardisasi oleh Kementerian Agama Republik Indonesia melalui BPJPH, maka semua pihak dapat memposisikan diri sesuai dengan perannya. Konsumen dapat lebih bijak dalam menilai kehalalan suatu produk, tetapi produsen juga harus kooperatif sehingga produknya cepat tersertifikasi halal.


Logo halal Indonesia dan sertifikat halal merupakan kewenangan dari Kementerian Agama. Untuk mendapatkannya, tentu tidak lepas dari otoritas ulama berupa fatwa halal MUI sehingga penggunaannya perlu mengikuti aturan yang telah ditetapkan di Indonesia.


Berdasarkan kalimat yang ada pada Keputusan BPJPH Nomor 145 tahun 2022 dan telah ditetapkan pada tanggal 8 November 2022 tentang Penggunaan Logo Halal dan Label pada Produk yang Telah Memperoleh Sertifikat Halal, nyata sekali bahwa logo atau label baru bisa diterapkan bila produk sudah tersertifikasi halal. Dengan demikian, dalam proses yang sedang dijalani oleh suatu perusahaan dan belum menyelesaikan rangkaian sertifikasi halal, logo atau label halal resmi belum bisa dipasang.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi