Opini

Menyikapi Makanan Non-Halal di Indonesia

Sen, 20 Juni 2022 | 20:45 WIB

Menyikapi Makanan Non-Halal di Indonesia

Jika memang terdapat campuran nonhalal maka penting untuk memberikan pernyataan yang tegas dan jelas.  Di samping itu faktor keyakinan dan budaya masyarakat perlu menjadi pertimbangan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan keresahan konsumen.

Salah satu kekayaan yang dimiliki negeri ini yang patut dibanggakan adalah keanekaragaman suku, adat, budaya termasuk beragam jenis kuliner. Hampir setiap daerah memiliki makanan khas yang menjadi ciri dari masyarakat tersebut yang tidak dimiliki di tempat lainnya terlebih mampu dilestarikan secara turun turun dari satu generasi ke generasi yang bahkan bisa dinikmati oleh warga negara lain. 


Makanan yang kita konsumsi seyogyanya bukan saja mampu mengenyangkan tetapi juga mestinya membawa kandungan gizi dan bermutu yang bermanfaat bagi tubuh sehingga membawa dampak kesehatan.


Makanan juga harus dipastikan aman dari cemaran biologis, kimia atau benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.


Bagi kalangan masyarakat muslim, makanan harus dipastikan halal bebas dari zat-zat dan barang-barang nonhalal (halalan thayyiba). Kepastian makanan halal sangat penting karena sebagai garansi menyangkut ketenangan batin sebagai pengejewantahan doktrin agama. 


Di sisi lain, makanan bisa menjadi ladang bisnis yang sangat menjanjikan terlebih dengan terus bertambahnya jumlah penduduk kebutuhan terhadap pasokan makanan tentu saja terus meningkat sehingga menjadi ceruk pasar yang menjanjikan bagi kalangan industri domestik maupun mancanegara, terlebih Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia sehingga menjadi target pasar peredaran makanan karena makanan kebutuhan sangat mendasar. 


Wajar apabila persoalan makanan ini menjadi sektor yang sangat diperhatikan oleh pemerintah untuk melindungi warganya agar mengonsumsi makanan yang sehat dan bermutu agar terhindar dari makanan yang membahayakan kesehatan. Jika masyarakatnya sehat maka sebuah negara juga dalam keadaan sehat, hal tersebut berlaku sebaliknya.


Dengan alasan tersebut berbagai kebijakan telah terbitkan yang memiliki keterkaitan, saling mengisi dan beririsan diantaranya UU Perlindungan Konsumen, UU Pangan, UU Kesehatan, UU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan UU Jaminan Produk Halal (UUJPH). Dari beberapa beleid tersebut terbit pula aturan-aturan turunan yang memberikan panduan lebih teknis mengatur syarat dan ketentuan peredaran makanan.


Persaingan di kalangan produsen makanan memunculkan berbagai trik dan teknik menggaet konsumen dengan menyuguhkan aneka ragam bentuk, pola, desain, rekayasa teknologi, inovasi bahkan melalui iklan menjadikan aspek perlindungan kepada masyarakat perlu ditingkatkan. Pasalnya pelaku usaha memiliki watak dan karakter bawaan ingin mengeruk laba yang sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin sehingga kerap mengesampingkan rambu-rambu dan ketentuan yang merugikan konsumen. Acapkali masih ditemukan produk makanan yang tidak memenuhi standar, sanitasi maupun keamanan sehingga berbahaya bila dikonsumsi.


Keterbukaan pelaku usaha makanan sangat penting dalam memberikan informasi sebenar-sebenarnya kepada masyarakat tentang bahan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, takaran, daluwarsa dan keterangan lain yang diperlukan mengingat pihak pelaku usaha-lah yang mengetahui secara pasti asal muasal dan teknik produk yang dibuatnya.


Hal yang sama juga berlaku bagi usaha makanan olahan yang langsung disaji. Pelaku usaha harus menjamin kebenaran informasi terhadap produk dipasarkan. 


Merujuk pada pasal Pasal 97 ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, informasi terkait dengan makanan harus ditulis dengan bahasa Indonesia yang mudah dibaca dan dipahami yang memuat sedikitnya tentang nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa, nomor izin edar bagi panganan olahan, dan asal usul bahan pangan tertentu. 


Dengan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, masyarakat bisa langsung mengkonfirmasi izin edar makanan yang akan dibeli seketika (real time) sehingga bisa memverifikasi produk yang telah dan belum mengantongi izin edar maupun standar nasional yang disyaratkan oleh lembaga pengawas seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).


Konsumen yang cerdas dan kritis tentu saja akan menghindari membeli produk-produk yang tidak memenuhi standar, karena bukan saja dapat merugikan secara ekonomi tetapi berbahaya bagi kesehatan. 


Sebagai bangsa yang memiliki penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, soal halal menjadi perhatian yang begitu penting bagi pemerintah untuk memastikan dan menjamin ketersediaan pangan halal yang sesuai dengan standar.


Bagi kaum muslim mengkonsumsi makanan halal adalah harga mati. Hal ini juga telah mendapat legitimasi sedemikian rupa melalui berbagai regulasi. Namun kerap ada kekeliruan, term halal dianggap baru berlaku dengan terbitnya UU Nomor 33/ 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Padahal jauh sebelum itu persoalan halal telah banyak tersebar sebelum UUJPH terbit misalnya saja UU Perlindungan Konsumen (UUPK) yang terbit pada 1999 sekira dua puluh tiga tahun silam sudah mendorong perlunya sertifikasi halal bagi pelaku usaha meskipun masih bersifat suka rela (voluntary). 


Sebelum UUPK, telah terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Memang UUJPH yang kemudian melahirkan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) lembaga yang secara khusus berwenang mengatur, mengawasi dan menerbitkan sertifikasi halal di bawah naungan Kementerian Agama. 


Terkait beredarnya rendang dari daging babi yang belakangan ini tengah ramai diperbincangkan haruslah disikapi dengan bijak dan jernih. Rendang adalah makanan asal Minang yang dikenal sebagai masyarakat religius dengan falsafah "Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah" dengan begitu rendang sangat identik sebagai makanan halal yang di dalamnya mengandung kuat filosofi budaya maupun agama. Rendang makin mendunia setelah pada tahun 2011 dan 2021 dikategorikan oleh media internasional CNN sebagai masakan terlezat di dunia. 


Seperti halnya jenis makanan yang telah dikenal luas maka sangat dimungkinkan untuk diberi sentuhan, kreasi maupun aroma baru dari pihak yang ingin mengambil manfaat dan keuntungan dari popularitas makanan tersebut dengan menambah campuran maupun tambahan atau bahkan merubah bahan asalnya.


Hal ini juga bisa terjadi dan menimpa pada jenis makanan dari daerah tertentu lainnya untuk dimodifikasi. Atau dengan kata lain, merubah unsur-unsur produk sebuah kuliner terkenal bisa terjadi kapan dan di mana saja terlebih di era masyarakat informasi seperti sekarang.


Dengan demikian tidak ada jaminan jika makanan yang semula begitu identik halal ketika diolah dan coba dimodifikasi tetap terjamin kehalalannya. Seperti bisa dilihat dari pemberitaan baru-baru ini adanya nasi uduk Aceh yang mengandung babi. Hal mana bisa berlaku sebaliknya, makanan yang identik non halal namun dipoles dan dikemas sedemikian rupa menjadi menjadi produk halal.  


Menyikapi fenomena semacam ini maka program sertifikasi halal dapat menjadi solusi untuk memastikan bahwa makanan yang diperjualbelikan dan beredar benar-benar terjamin kehalalannya, bukan saja bagi makanan yang diragukan kehalalannya namun juga yang selama ini sebenarnya sudah identik sebagai makanan halal. 


Sertifikasi halal tidak hanya menggunakan pendekatan syar’i dengan melibatkan peran MUI sebagai pemberi fatwa, disamping itu ada serangkaian proses metode ilmiah (scientific) melalui laboratorium yang dikawal auditor di Lembaga Penjamin Halal (LPH) sehingga bebas dari cemaran biologis, kimia maupun radiasi. Setelah proses tersebut berhasil dilalui barulah bisa terbit sertifikasi halal yang nanti output-nya adalah label halal yang menjadi jaminan produk makanan tersebut layak dikonsumsi.


Sertifikasi halal memberikan jaminan secara objektif atas kepentingan pelaku usaha dan konsumen sehingga kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Untuk kalangan UMKM pemerintah memberikan kebijakan berbeda dengan membebaskan biaya dengan tarif nol rupiah.  


Pada dasarnya tidak ada larangan untuk mengedarkan dan memperdagangkan makanan nonhalal di seluruh wilayah negara Republik Indonesia termasuk yang mengandung babi. Namun dalam mengedarkan dan memasarkan ada sejumlah hak konsumen sekaligus tanggung jawab pelaku usaha dengan memberikan pernyataan kebenaran informasi atas produknya.


Jika memang terdapat campuran nonhalal maka penting untuk memberikan pernyataan yang tegas dan jelas.  Di samping itu faktor keyakinan dan budaya masyarakat perlu menjadi pertimbangan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan keresahan konsumen.


Mustolih Siradj, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta