Kesehatan

Sejarah Thibbun Nabawi pada Masa Nabi Adam dan Nabi Idris 

Sab, 30 Juli 2022 | 09:00 WIB

Sejarah Thibbun Nabawi pada Masa Nabi Adam dan Nabi Idris 

Thibbun nabawi sudah berkembang sejak zaman Nabi Adam as dan Nabi Idris as.

Perkembangan kehidupan dunia membutuhkan ilmu kesehatan untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Sejak dahulu hingga sekarang, manusia senantiasa menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit. Upaya-upaya untuk mencapai kesembuhan saat sakit dan menjaga kesehatan merupakan aktivitas penting manusia. Sebagai umat beragama, hal itu menyertai ibadah dalam rangka menghambakan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.


Sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, penyakit yang dihadapi adalah penyakit di akhir zaman. Namun, upaya untuk mengobati penyakit dan menjaga kesehatan ternyata telah ada sejak zaman nabi Adam ‘Alaihissalam. Bagaimana transmisi keilmuan tentang pengobatan itu bermula?


Al-Hafiz Adz Dzahabi dalam kitab Thibbun Nabawi menjelaskan bahwa Nabi Adam mewariskan ilmu tentang pengobatan kepada Nabi Syits.


“Ada kaum yang berkata bahwa Nabi Syits ‘alaihissalam adalah orang pertama yang menemukan ilmu pengobatan. Ilmu ini dikenal setelah Beliau mewarisinya dari leluhurnya, yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam. Beberapa orang mengatakan bahwa Beliau menerima ilmu ini berdasarkan pengalaman, sedangkan orang lain mengatakan bahwa Beliau menggunakan qiyas dengan olah pikirnya untuk menemukan ilmu itu” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, Dar Ihyaul Ulum, Beirut, 1990: halaman 229)


Nabi Adam ‘alaihissalam sendiri merupakan manusia pertama yang mengalami berbagai ketidaknyamanan badan dalam kehidupan di Bumi. Saat mengalami ketidaknyamanan sebagai manusia Bumi, Beliau mengupayakan berbagai hal untuk mengatasinya. Saat lapar, Beliau berusaha mengatasinya dengan bercocok tanam. Ketika tubuh Beliau merasakan ketidaknyamanan, maka Beliau mengatasinya dengan suplemen dan nutrisi alami berupa buah-buahan. Pengetahuan Beliau untuk mengatasi berbagai hal di Bumi berdasarkan wahyu yang disampaikan melalui malaikat Jibril.


Nabi Adam mengetahui salah satu bahan herbal berupa buah yang berkhasiat. Buah yang kaya manfaat menjadi pilihan buah pertamanya yang dimakan di muka Bumi. Beliau memilih buah dari tanaman Bidara Cina atau tanaman Sidr yang dikenal dengan istilah buah Nabaq atau secara umum merupakan buah dari tanaman Bidara. Nama latin dari tanaman ini adalah Ziziphus jujuba.


“Ini buah dari Sidr, atau buah dari pohon Bidara yang bersifat dingin dan kering. Ia mengatur temperamen dan menyamak perut. Dalam kitab tentang obat dari Abu Nuaim, Beliau mengutip hadits yang terkenal bahwa ketika Nabi Adam diturunkan ke muka Bumi, buah pertama yang dimakan adalah buah Nabaq/buah Bidara.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, Dar Ihyaul Ulum, Beirut, 1990: halaman 198)


Pilihan Nabi Adam terhadap Bidara bukannya tanpa alasan. Buah ini mengandung berbagai manfaat untuk kesehatan. Pengetahuan Nabi Adam tentang berbagai nama buah, termasuk buah Bidara ini tidak lepas dari pengajaran tentang berbagai nama yang diterimanya sewaktu baru diciptakan di surga. 


Buah dari tanaman Bidara/Sidr itu mirip dengan buah yang ada di Sidratul Muntaha. Meskipun buah yang ada di surga berbeda dengan buah di muka Bumi, masih ada beberapa kemiripan sifat. 


Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah melihat buah Nabaq di surga ketika perjalanan Mi’raj (Editor: Sakho Muhammad, 2010, Ensiklopedi Kemukjizatan Ilmiah dalam Al-Quran dan Sunnah, PT Kharisma Ilmu, Jakarta: halaman 133).


Dalam kitab Dardir, Nabi Muhammad menyaksikan Sidratul Muntaha sebagai sebuah pohon besar. Buah Nabaq yang ada di surga lebih besar dari yang ada di Bumi.


“Adapun buah Nabaq dari pohon Sidratul Muntaha itu sebesar kendi-kendi Tanah Hajar (sebuah desa yang dekat dengan Madinah)”. (Sayyid Ahmad ad-Dardir, Ad-Dardir ‘ala Qisshatil Mi’raj, Dar Ihya al-Kitab al-‘Arabiyah, tanpa tahun: halaman 21)


Ukuran buah bidara di surga sangat besar, yaitu seukuran kendi. Di dunia, buah pohon bidara berukuran lebih kecil, yaitu sebesar buah zaitun atau buah kurma. Penampakan pohon bidara di surga berbeda dengan pohon bidara di dunia. Pohon bidara di surga sangat dimuliakan dan tidak berduri, sedangkan pohon bidara di dunia banyak berduri dan buahnya sedikit.


Buah bidara rasanya manis dan baunya harum. Buahnya bergizi dan bermanfaat untuk menyegarkan pernapasan, menjaga suhu tubuh, mengobati campak dan cacar air, serta menghentikan infeksi pada lambung (Editor: Sakho Muhammad, 2010, Ensiklopedi Kemukjizatan Ilmiah dalam Al-Quran dan Sunnah, PT Kharisma Ilmu, Jakarta: halaman 134). 


Semua manfaat buah bidara diperoleh oleh Nabi Adam yang baru saja menjalani masa adaptasi dengan iklim di bumi setelah sebelumnya berada dalam kenyamanan surga. Udara yang dihirup Beliau di surga tentu berbeda dengan di dunia. Demikian juga dengan iklim dan suhu bumi, tentu sangat berbeda dengan keadaan surga. Nabi Adam ‘alaihissalam memilih konsumsi buah bidara untuk mengkondisikan tubuhnya agar tetap seimbang selama berada dalam masa peralihan tersebut.


Setelah memiliki keturunan, Nabi Adam ‘alaihissalam menularkan pengetahuan tentang penyembuhan dengan menggunakan bahan-bahan berkhasiat kepada Nabi Syits ‘alaihissalam. Setelah periode Nabi Syits, Nabi Idris ‘alaihissalam mewarisi keilmuan tentang pengobatan atau kedokteran tersebut.


“Sebagian orang mengatakan bahwa Nabi Idris ‘alaihissalam yang menemukan ilmu pengobatan” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, Dar Ihyaul Ulum, Beirut, 1990: halaman 229)


Kenabian merupakan salah satu jalan tersampaikannya wahyu untuk manusia. Ilmu pengobatan atau kedokteran pada masa Nabi Idris dikembangkan berdasarkan petunjuk wahyu yang Beliau terima.


Nabi Idris dikenal sebagai nabi yang membawa banyak ilmu pengetahuan baru yang bermanfaat untuk manusia pada zamannya. Mulai dari pembahasan tulisan hingga ilmu-ilmu lain yang secara praktis dibutuhkan oleh manusia dikuasai oleh Beliau.


 Al-Hafiz Adz-Dzahabi menjelaskan proses transmisi keilmuan pengobatan itu dalam kitabnya Thibbun Nabawi.


“Bagaimanapun, yang lebih memungkinkan adalah bahwa ilmu pengobatan ini diwahyukan oleh Allah Yang Maha Kuasa kepada para Nabi-Nya. Memang demikianlah sesungguhnya. Hipotesis dan pengalaman saja tidak cukup.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, Dar Ihyaul Ulum, Beirut, 1990: halaman 229)


Kelak, keilmuan tersebut akan disempurnakan bersama turunnya wahyu kepada nabi-nabi setelahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila para nabi mampu membawa pengetahuan tentang pengobatan, yang dikenal dengan Thibbun Nabawi, yang belum diketahui oleh umat-umat sebelumnya.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi