Kesehatan

Siwak Ramah Lingkungan Penghilang Bau Mulut saat Ramadhan

Sab, 25 Maret 2023 | 08:00 WIB

Siwak Ramah Lingkungan Penghilang Bau Mulut saat Ramadhan

Ilustrasi: siwak - tasbih (freepik).

Masalah bau mulut orang yang berpuasa di Bulan Ramadhan kerap diselesaikan dengan instan. Ada yang menggunakan obat kumur saat sahur atau menyikat gigi secara rutin. Apabila dilihat dari sisi manfaatnya, membersihkan mulut sangat baik untuk kesehatan. Apalagi, bila diterapkan di Bulan Ramadhan saat berpuasa, membersihkan mulut bisa menjadi suatu kesunahan. Namun, bahan dan alat yang digunakan masyarakat untuk membersihkan mulut perlu dilihat dari aspek lingkungan. 
 

Bila menggunakan obat kumur, maka cairan bekas berkumur dibuang melalui saluran air rumah tangga. Botol kemasan plastik bekas obat kumur itu juga biasa dibuang di tempat sampah. Apabila menggunakan sikat gigi dan pasta, maka bekas sikat gigi dan kemasan pasta didominasi oleh bahan yang sulit terurai di lingkungan. Padahal, jumlah sikat gigi yang digunakan oleh manusia selama hidupnya tidak sedikit dan setelahnya menjadi barang bekas yang sering dibuang.
 

Plastik dan serat sintetik sebagai bahan utama sikat gigi merupakan polimer. Polimer ini dikenal sebagai bahan buatan manusia yang dapat digunakan sebagai material barang gunaan sehari-hari. Apabila telah menjadi barang bekas, plastik yang dibuang dan tidak didaur ulang dapat mencemari tanah dalam waktu yang panjang. Bila didaur ulang, biayanya juga tidak murah. Adakah bahan-bahan lain sebagai pembersih mulut yang lebih ramah lingkungan?
 

Pilihan lain pembersih mulut berbahan tradisional adalah siwak. Siwak terbuat dari bahan alami yang berasal dari sumber nabati. Ada siwak yang bisa terbuat dari akar, ada juga yang menggunakan bagian dari ranting atau batang tanaman. Karena berasal dari tanaman, siwak bersifat ramah lingkungan. Apabila telah habis masa penggunaannya, sifat kayu maupun akar dari siwak yang dibuang dapat dengan mudah diuraikan oleh lingkungan. 
 

Biasanya, kaum muslimin di Indonesia mengenal siwak sebagai barang impor. Batang-batang siwak yang sebetulnya adalah akar tanaman salvadora persica yang beredar di Indonesia banyak diimpor dari Pakistan maupun Saudi Arabia. Di negeri asalnya, sumber tanaman siwak itu sangat unik karena meskipun dipotong akarnya tetapi pohonnya masih tetap hidup. Tanaman itu tumbuh di tanah yang gembur dan berpasir sehingga akarnya mudah dipotong ketika akan dipanen sebagai sumber bahan baku siwak.
 

Karena bahannya diimpor dari luar negeri, harga siwak di Indonesia cukup tinggi. Harga satu batang siwak bisa setara dengan dua sikat gigi biasa. Namun, sebenarnya sumber siwak ada yang bisa berasal dari tanaman yang dapat tumbuh di Indonesia. Penelitian tentang siwak mengungkap bahwa ranting jeruk nipis, ranting pohon mimba, bagian dari pelepah kurma, serta ranting pohon zaitun dapat digunakan untuk bersiwak. Semua pohon tersebut dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. 
 

Pohon jeruk nipis dan pohon mimba sangat banyak terdapat di Indonesia. Biasanya, masyarakat memanfaatkan buah jeruk nipis dan daun dari pohon mimba sebagai obat tradisional. Namun, belum banyak yang mengetahui kalau ranting dari kedua pohon tersebut dapat dijadikan sebagai bahan siwak. Apabila kedua bahan tersebut diperkenalkan kepada masyarakat muslim di Indonesia, maka ketersediaan bahan siwak sangat mudah diperoleh tanpa harus mengimpor dari luar negeri.
 

Pohon kurma dan pohon zaitun juga dapat tumbuh di Indonesia. Meskipun sulit berbuah dengan iklim tropis di Indonesia, tetapi kedua pohon tersebut dapat dimanfaatkan bagian lainnya. Pelepah kurma dapat menjadi bahan siwak. Demikian pula dengan ranting dari pohon zaitun, dapat dijadikan sebagai bahan baku siwak. 
 

Apabila waktu penggunaan siwak hingga habis dibandingkan dengan sikat gigi, maka siwak lebih cepat habis. Orang yang bersiwak secara rutin dapat menghabiskan satu batang siwak per bulan, sedangkan sikat gigi dapat bertahan hingga 3 bulan. Namun, apabila telah habis masa penggunaannya, sisa siwak yang dibuang lebih ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan bekas sikat gigi.
 

Dari sisi lainnya, siwak tidak memerlukan bahan tambahan untuk menggosok gigi. Cukup satu batang siwak yang dilunakkan dengan cara menggigitnya, maka keluar kandungan alami di dalamnya yang dapat bermanfaat untuk kesehatan gigi. Batang siwak mengandung mineral alami yang dapat memperkuat gigi. Selain itu, kandungan lainnya adalah zat-zat antioksidan yang dapat menjaga kesehatan sel-sel gusi dan rongga mulut sekaligus bersifat antibakteri sehingga dapat menghilangkan bau mulut. 
 

Berbeda dengan siwak, sikat gigi memerlukan pelengkap berupa pasta gigi. Meskipun bisa saja menggosok gigi dengan sikat tanpa pasta, tetapi masyarakat sudah terlanjur mengenal sikat dan pasta sebagai dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Apabila biaya yang dikeluarkan untuk membeli pasta gigi juga diperhitungkan, sebenarnya bersiwak juga bisa lebih ekonomis dibandingkan dengan menyikat gigi secara konvensional. 
 

Simpelnya bersiwak juga diakui sebagai upaya kesehatan yang murah (Halawany, 2012, A review on miswak [Salvadora persica] and its effect on various aspects of oral health, Saudi Dent J: halaman 63-69).
 

Dengan keistimewaan bersiwak dan sifatnya yang ramah lingkungan, tidak mengherankan bila WHO memberikan pernyataan khusus tentang siwak. Dalam konsensus tentang kesehatan mulut di tahun 2000, WHO menyatakan bahwa siwak merupakan bagian dari promosi kesehatan mulut yang tidak lagi diragukan efektivitasnya (WHO, 2000, Concensus statement on oral hygiene, Int Dent J, 50, 139). 
 

Pada kondisi berpuasa, kaum muslimin dapat memilih pendapat ulama yang menganjurkan untuk bersiwak. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa dimakruhkan bersiwak pada orang yang sedang berpuasa apabila bersiwak dilakukan setelah duhur sampai berbuka. Namun, boleh bersiwak pada pagi hari asal tidak ditelan liur yang kena siwak. Sedangkan menurut Imam Nawawi, meskipun setelah duhur disunahkan. Kondisi lain yang disunahkan untuk bersiwak adalah ketika terjadi perubahan bau mulut seperti saat bangun tidur atau diam yang lama, saat hendak membaca Al-Qur’an dan berzikir, serta kapanpun saat seseorang ingin bersiwak. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.