Nasional

Alasan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Sel, 10 Maret 2020 | 04:50 WIB

Alasan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online
Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Senin (9/3) kemarin.

MA mengabulkan pemohon dan menganggap peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tepatnya pada pasal 34 ayat (1) dan (2) karena dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya yakni UUD 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 

Uji materi di MA berawal dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Lalu, pengurus KPCDI menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan. Setelah melalui berbagai proses dan pendalaman materi di MA, akhirnya MA mengabulkan permohonan tersebut.

“Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro. 

MA berkeyakinan, pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan pasal 23 A, pasal 28H dan pasal 34 UUD 1945. Tidak hanya itu, pasal tersebut juga bertentangan dengan pasal 2, pasal 4, pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

“Bertentangan dengan pasal 2, pasal 3, pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Bertentangan dengan pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan,” kata MA di Pengadilan. 

Jauh sebelum MA membatalkan kenaikan BPJS, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan Syahrizal Syarif  telah meminta kepada pemerintah untuk membatalkan keputusan menaikan iuran BPJS Kesehatan.

Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat mengalokasikan dana kenaikan cukai rokok untuk menutupi kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), terutama kelas III.

“Seharusnya bahkan pemerintah bisa membayarkan semua iuran kelas III. Jika dirasa memberatkan pemerintah, sebenarnya pemerintah dapat memanfaatkan pajak cukai rokok yang juga naik bersamaan dengan kenaikan iuran BPJS,” katanya kepada NU Online pada Selasa (7/1) lalu.

Dari pajak rokok ini, ia menyampaikan, 12-20 persen untuk program membantu perokok yang ingin berhenti merokok, 9 persen untuk mengurangi perokok remaja, serta untuk membiayai program pencegahan dampak rokok terhadap kesehatan lainnya.

Pasalnya, pemerintah harus menambah fasilitas layanan untuk mengurangi antrean, melakukan berbagai upaya untuk mengurangi peserta yang tidak aktif, dan berupaya agar klaim dapat dibayarkan dengan lebih cepat. 

Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu juga mengatakan bahwa Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang penyesuaian iuran BPJS terutama untuk kelas III peserta dari mandiri menunjukkan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat miskin. Bahkan, hal tersebut, menunjukkan sebuah ironi. 

Menurut dokter Syahrizal, pemerintah tidak pro terhadap rakyat miskin terkait pembiayaan kesehatan. Sebaliknya, pemerintah malah menyerap manfaat pajak besar dari para perokok yang merupakan salah satu faktor beragam penyakit. 

“Namun, di sisi lain pemerintah mengambil manfaat pajak yang besar, sekitar 132 Trilyun dari para perokok yang jelas-jelas merupakan faktor risiko utama penyakit jantung koroner, penyakit kanker paru, penyakit paru menahun, hipertensi, dan penyakit tidak menular lainnya,” jelasnya. 

Syahrizal juga menyampaikan bahwa kebijakan universal coverage sudah benar. Akan tetapi, hal tersebut masih perlu upaya perbaikan mutu layanan dan sikap nyata kebijakan pro rakyat dalam bidang kesehatan. 

“Hidup sehat adalah hak warga negara dan anggaran kesehatan merupakan investasi sumber daya manusia Indonesia,” katanya. 

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad