Nasional

Epidemiolog Jelaskan Beda Vaksin dan Plasma untuk Pasien Covid-19

Rab, 6 Januari 2021 | 13:15 WIB

Epidemiolog Jelaskan Beda Vaksin dan Plasma untuk Pasien Covid-19

Pakar Epidemiologi dari FKM UI yang juga Ketua PBNU bidang kesehatan, Syahrizal Syarif. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Syahrizal Syarif menjelaskan perbedaan terapi plasma konvalesen dengan vaksin Covid-19. Menurutnya, penggunaan plasma sangat terbatas karena hanya untuk mengurangi angka kematian. 


Sedangkan vaksin digunakan untuk menurunkan angka kematian dan menurunkan kasus penularan dengan melakukan vaksinasi 70 persen dari penduduk, sehingga tercapai kekebalan kelompok atau herd immunity. Dengan demikian, dampaknya adalah kasus Covid-19 akan terkendali.


“Berbeda fungsi antara plasma dan vaksin. Dari sisi sistem kekebalan, vaksinasi itu kekebalan aktif. Sementara plasma kekebalan pasif karena yang diberikan adalah antibodi. Sementara kalau vaksin yang diberikan adalah antigen, sehingga tubuh membangun sistem kekebalan,” jelas Syahrizal dalam Diskusi Donor Plasma, di 164 Channel, pada Selasa (5/1) malam.


Di dalam plasma darah, terdapat antibodi terhadap Covid-19. Sedangkan fungsi vaksin adalah membangun sistem kekebalan secara aktif. Diberikan antigen ke dalam tubuh, lalu membangun sistem antibodi. Selama ini, plasma berisi antibodi sehingga dapat dikatakan sebagai kekebalan pasif. 


“Pada orang-orang kritis (plasma konvalesen) bisa saja membangun sistem kekebalan. Kalau bagi mereka yang gejala klinis ringan dan sedang, sistem kekebalan tubuhnya akan tumbuh sendiri. Jadi bisa sembuh dalam sepekan hingga tiga pekan,” ungkap Syahrizal yang juga Ketua PBNU bidang kesehatan ini.


Namun pasien Covid-19 yang menderita gejala kritis di ruang isolasi, menggunakan ventilator atau alat bantu pernapasan, dan mengidap pneumonia atau radang paru-paru sistem kekebalan tubuh akan sulit dibangun dengan sendirinya. 


Karena itu, harus dibantu dengan sistem kekebalan yang sudah jadi dari luar seperti mempergunakan terapi plasma konvalesen. Plasma tersebut ditransfusikan secara perlahan melalui infus selama empat jam. Lalu diharapkan antibodi yang terdapat dalam plasma yang masuk itu bisa menetralisasi virus yang ada di dalam tubuh. 


“Ketika antibodi dari plasma itu masuk ke dalam tubuh, mereka (pasien Covid-19 dengan gejala kritis) bisa kembali membaik dari keadaan kritis. Dari keadaan yang serius menjadi gejala-gejala sedang dan akhirnya sembuh,” ungkap Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan ini. 


Terapi plasma sudah diterapkan sejak lama


Penggunaan plasma untuk terapi penyembuhan terhadap berbagai virus, sebenarnya sudah dilakukan sejak 50 hingga 60 tahun lalu. Lalu terus mengalami perkembangan. Menurut Syahrizal, saat ini sudah terdapat kemajuan yang sangat baik.


“Kalau dulu pengambilan plasma dilakukan secara manual tapi sekarang sudah otomatis (dengan menggunakan alat). Kemudian sel darah merahnya langsung dimasukkan kembali ke tubuh pendonor,” ungkap Syahrizal.


Menurutnya, penggunaan plasma konvalesen ini sudah dilakukan untuk pasien yang terkena sindrom pernapasan Timur Tengah atau MERS yang angka kematiannya mencapai 34 persen. Virus ini melanda dunia pada 2012 dan pertama kali penyebarannya dari Arab Saudi. 


Terapi plasma konvalesen juga pernah dilakukan untuk penyembuhan virus SARS pada 2003. Angka kematian akibat virus ini, ketika itu, mencapai 10 persen. Lalu pada H1N1 (2010), terapi yang sama juga diberikan untuk mempercepat penyembuhan. Begitu pula pada kasus Ebola (2012).


“Namun sampai saat ini tetap saja, untuk Covid-19, statusnya harus diberikan pada pusat-pusat uji klinis supaya harus ada kehati-hatian,” tegas dr Syahrizal.


Sejarah penemuan dan pengembangan plasma konvalesen


Dikutip dari Majalah Farmasetika, plasma konvalesen mulanya dijelaskan John Abel dan Leonard Rowntree dari Johns Hopkins Hospital, Baltimore, Amerika Serikat pada 1913. Hal ini kemudian dikembangkan oleh Josep Antoni Grifols Lucas pada 1950 dan 1951.


Grifols menemukan, plasma konvalesen ini memungkinkan pendonor untuk lebih sering menyumbang plasma darahnya tanpa mengorbankan kesehatan. Selain itu, memungkinkan pula untuk merespons permintaan plasma secara efektif. 


Grifols mempresentasikan hasil karyanya ini pada 1951 di Kongres Internasional Keempat Transfusi Darah di Lisbon, Portugal. Setahun berikutnya (1952), ia menerbitkannya di British Medical Journal


Sedangkan orang pertama yang menggunakan plasma konvalesen ini adalah Michael Rubinstein. Ia pernah menyelamatkan nyawa seorang remaja laki-laki dengan trombotic thrombocytopenic purpura atau TTP (kelainan darah yang membuat darah lebih cepat menggumpal), di Cedars of Lebanon Hospital di Los Angeles pada 1959.


Proses plasma konvalesen modern itu sendiri berasal dari National Cancer Institute pada 1963-1968. Peneliti ketika itu menggunakan teknologi pemisahan creamer susu tua yang pertama kali digunakan pada 1878 dan disempurnakan oleh Centrifuge Edwin Cohn yang dipasarkan pada 1953. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad