Nasional

Epidemiolog Ungkap Kunci Pengendalian Covid-19 yang Terus Melonjak

Sel, 2 Februari 2021 | 09:00 WIB

Epidemiolog Ungkap Kunci Pengendalian Covid-19 yang Terus Melonjak

Ahli Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Syahrizal Syarif. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Ahli Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Syahrizal Syarif menegaskan bahwa pemerintah jangan asal membuat kebijakan tanpa pengawasan dan penindakan. Sebab yang terpenting, berbagai langkah yang diambil harus dengan tegas dilakukan pemerintah mengingat pandemi Covid-19 masih terus melonjak. 


“Pemerintah jangan asal bikin kebijakan. Karena yang penting itu adalah ketegasan. Langkah-langkah itu harus tegas. Semua yang sudah disebut-sebut PPKM itu harus dipastikan bagaimana itu dijalankan dengan tegas. Razia masker boleh saja, tapi yang jauh lebih penting adalah razia kerumunan,” kata Syahrizal, kepada NU Online, Selasa (2/2).


Ketua PBNU Bidang Kesehatan ini pun mengamini pernyataan presiden bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sangat tidak efektif. Menurut Syahrizal, kunci pengendalian wabah Covid-19 bukan pada membatasi pergerakan masyarakat. Sebab yang paling berpengaruh menulari virus itu ada di setiap kerumunan.


“Petugas pemerintah harusnya tidak membolehkan orang untuk berkerumun lebih dari tiga orang di mana pun seperti di pinggir jalan dan restoran. (Pemerintah) tidak usah macem-macem lah, pokoknya kerumunan tidak lebih dari tiga orang saja. Itu luar biasa dampaknya,” terang Syahrizal.


“Jadi misalnya tidak boleh orang duduk di meja restoran sampai delapan orang. Kalau ada lima orang satu keluarga maka dua orang lainnya harus di meja lain. Maksimal tiga orang di satu meja,” sambung Wakil Rektor Unusia Jakarta ini.


Ia lantas membandingkan keberhasilan penanggulangan wabah Covid-19 di Indonesia dengan negara-negara lain. Misalnya, kasus Covid-19 di Singapura yang hingga kini sudah terkendali. Sekalipun begitu, Singapuran tetap tidak membolehkan kerumunan lebih dari lima orang.


“Sementara di kita (Indonesia) kasus aktif Covid-19 yang masih fluktuatif begini tidak boleh lebih dari tiga orang kumpul. Saya kira itu saja kalau dijalankan betul-betul harusnya terkendali,” ungkap Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia ini.


Selain Singapura, angka kasus positif Covid-19 juga menurun di Amerika. Begitu pula di India. Sedangkan di Brazil masih fluktuatif. Sebenarnya, ujar Syahrizal, kasus Covid-19 di seluruh dunia saat ini sedang dalam keadaan menurun.


“Tadinya kasus itu 750 ribu kasus per hari (di dunia). Saat ini hanya sekitar 500 ribu per hari. Itu terjadi karena di negara-negara besar, penyumbang kasus dunia seperti Amerika, India, Rusia, dan Turki sudah sangat turun. Lalu ada tiga negara besar penyumpang Covid-19 terbanyak yang sudah berhasil mengendalikan wabah seperti Inggris, Italia, dan Jerman,” beber Syahrizal.


Di India misalnya, semula rata-rata per hari pasien Covid-19 kurang lebih sampai 92 ribu per hari. Namun belakangan ini menurun sekira hanya 12 ribu per hari, seperti di Indonesia. Secara jumlah keseluruhan, kasus Covid-19 di India sudah mencapai 10,7 juta. 


Menurut Syahrizal, India adalah negara paling besar dengan jumlah persentase yang divaksin. Di sana, vaksinasi sudah terlebih dulu dimulai dibanding Indonesia. Sudah besar pula proporsi penduduk yang divaksin.


“Sebenarnya, faktor yang membuat negara-negara lain itu bisa mengendalikan wabah adalah karena ketat sekali. Setelah divaksin, angka kematian dan kasus aktif turun. Amerika juga begitu karena kasus turun dan vaksinasi sudah berjalan dengan baik di sana,” tegasnya.


Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang memiliki target 900 hingga satu juta vaksinasi per hari, tapi kenyataannya hanya 200-300 ribu per hari. Sebab pemberian vaksin di Indonesia terdapat persyaratan umur, 18-59 tahun. 


Lebih lanjut Syahrizal mengoreksi ungkapan presiden yang menyatakan bahwa kebijakan PPKM tidak efektif. Presiden dinilai tidak seharusnya mengungkapkan demikian. “Mestinya saya mohon maaf karena saya gagal mengendalikan Covid-19. Begitu harusnya. Jangan bilang PPKM tidak efektif. Kalau jadi presiden, saya akan minta maaf,” pungkas Syahrizal.


Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengumumkan hasil evaluasi dari kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa dan Bali pada 11-25 Januari 2021. Hal tersebut diumumkan saat ia memimpin rapat terbatas di Istana Negara Jakarta, pada Jumat (29/1) lalu.


“Saya ingin menyampaikan mengenai yang berkaitan dengan PPKM  tanggal 11 sampai 25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif,” kata Jokowi, dikutip NU Online dari kanal Youtube Sekretariat Presiden, pada Selasa (2/2) siang.


Jokowi juga menyatakan bahwa mobilitas yang dilakukan masyarakat masih tinggi, sehingga di beberapa provinsi di Pulau Jawa dan Bali, kasus Covid-19 tetap naik. Ia berencana akan mengajak sebanyak-banyaknya pakar epidemiologi untuk melakukan desain kebijakan agar benar-benar bisa lebih komprehensif. 


“Sebenarnya esensi dari PPKM ini kan membatasi mobilitas. Tetapi saya lihat diimplementasinya ini kita tidak tegas dan inkonsisten. Ini hanya masalah implementasi, sehingga saya minta betul-betul turun ke lapangan. Ini memang harus kerja dengan sederhana tapi harus benar-benar ada di lapangan,” tegasnya.


Saat ini, angka kasus harian Covid-19 di Indonesia sudah mencapai lebih dari 1 juta orang dengan 30 ribu lebih jumlah kasus kematian dan 880 ribu orang lebih berhasil sembuh.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad