Nasional

Gusdurian Soroti 5 Masalah Demokrasi di Indonesia dari Oligarki hingga Gagalnya Fungsi Polisi

Ahad, 16 Oktober 2022 | 14:00 WIB

Gusdurian Soroti 5 Masalah Demokrasi di Indonesia dari Oligarki hingga Gagalnya Fungsi Polisi

Jaringan Gusdurian soroti 5 masalah demokrasi di Indonesia, mulai oligarki, korupsi, hingga gagalnya fungsi polisi. (Foto: ilustrasi)

Surabaya, NU Online

 

Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2022 telah selesai, pada Ahad (16/10/2022) hari ini. Agenda nasional tiga tahunan itu menghasilkan sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah dan parlemen atau DPR. 

 

Salah satu rekomendasi yang diputuskan dalam Tunas Gusdurian 2022 ini adalah soal dorongan agar pemerintah membuka ruang demokrasi yang sangat luas bagi masyarakat.

 

Rekomendasi soal demokrasi itu diputuskan setelah melalui tahap kajian. Jaringan Gusdurian juga telah menyoroti bahwa ada lima masalah demokrasi yang terjadi di Indonesia.

 

 

Masalah-masalah demokrasi itu mulai dari persoalan oligarki, korupsi dana desa, hingga gagalnya fungsi polisi. Hal ini terdapat dalam buku draf Tunas Gusdurian 2022 yang diterima NU Online, pada Ahad (16/10/2022).

 

Pertama, demokrasi perwakilan makin terasa menjauh dari rakyat. Memang ada pemilihan umum yang dikelola secara rutin. Pemilu menghasilkan para anggota lembaga-lembaga perwakilan di tingkat lokal dan nasional (DPRD kabupaten, kota, provinsi, DPR RI, dan DPD) serta menghasilkan pimpinan eksekutif (bupati, walikota, gubernur). 

 

Namun, representasi politik makin tidak terasa di negeri ini. Para elite politik lebih banyak bekerja di atas logika kepentingannya sendiri, serta logika kepentingan oligarki di belakangnya. Rakyat lebih diperlakukan sebagai objek elektoral untuk diperhitungkan suaranya dari perspektif biaya politik. 

 

Kedua, elite-centrism terlihat di lingkup lokal termasuk dalam pengelolaan kekuasaan di tingkat desa. UU Nomor 6 Tahun 2014 menegaskan, desa sebagai subjek hukum dengan kandungan rekognisi, otorisasi, dan redistribusi. Karena itu, desa diberikan kewenangan yang cukup leluasa untuk melakukan pembangunan secara komprehensif. 

 

Namun hingga kini, pengelolaan pemerintahan desa masih jauh dari ideal. Pelaksanaan dana desa belum transparan. Perencanaan dan penganggaran di desa belum melibatkan kelompok kepentingan dan kelompok rentan secara partisipatif. Pemerintah desa banyak mencerminkan kesenjangan antar-elite dan masyarakat.

 

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sepanjang 2012-2021 jumlah kasus korupsi dana desa di Indonesia mencapai 601 kasus dan berakibat 686 kepala desa dipenjara. 

 

Ketiga, terjadi penyempitan ruang demokratis di Indonesia yang makin menguat gejalanya di masa pandemi. Penyempitan ruang demokratis itu ditandai oleh terbatasnya ruang bagi rakyat untuk menyuarakan kritisisme terhadap penguasa. 

 

Memang, penyempitan itu tidak lagi dilakukan dengan operasi oleh aparat seperti di masa orde baru. Tapi yang terjadi sekarang, rakyat ditakutkan oleh penggunaan aturan perundangan untuk kepentingan pribadi penguasa. Salah satu aspek yang paling terdampak oleh kecenderungan ini adalah dunia digital.

 

Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat politik di dunia online cenderung dibatasi. Serangan-serangan langsung kepada pemerintah biasanya direspons dengan tindakan hukum lewat alasan pencemaran nama baik atau pelanggaran UU ITE.

 

Keempat, gagalnya pengembalian fungsi militer dan kepolisian ke ranah asli sebagaimana dikehendaki oleh reformasi politik tahun 1998. Setelah hampir seperempat abad reformasi politik, kita tetap melihat peran-peran sosial, politik, dan bisnis secara berlebihan oleh aparat keamanan dan pertahanan itu.

 

Di TNI, sejumlah jenderal aktif dan pensiunan masih banyak mengendalikan bisnis-bisnis berskala besar yang memberi mereka kekuatan politik signifikan. Sementara itu, sebagian jenderal polisi juga tetap memainkan lakon mereka sebagai pengawal illegalitas di berbagai level. Kasus Ferdy Sambo yang berkepanjangan itu adalah salah satu wujud saja dari persoalan semacam ini.

 

Kelima, tak ada perdebatan ideologis yang imbang, yang biasanya bermanfaat bagi rakyat untuk membuka peluang terwakilinya kepentingan mereka dalam kebijakan. Di saat yang sama, terasa betul makin menurunnya wacana ideologi kiri yang memperjuangkan kesetaraan dan kesejahteraan rakyat. Wacana ideologis makin ke kanan.

 

Para elite politik bersaing di ruang sempit ideologis itu, sehingga apa pun hasil persaingan mereka cenderung tak membawa manfaat spektakuler bagi masyarakat. Peran masyarakat sipil dalan demokratisasi cenderung tidak berkembang lagi. 

 

Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Syakir NF