Nasional

Harmoni Kehidupan Umat Islam, Kristiani, dan Sedulur Sikep di Desa Karangrowo Kudus

Ahad, 6 November 2022 | 11:00 WIB

Harmoni Kehidupan Umat Islam, Kristiani, dan Sedulur Sikep di Desa Karangrowo Kudus

Salah satu kegiatan diskusi sedulur sikep di Kudus, Jawa Tengah. (Foto: Antara)

Kudus, NU Online

Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah merupakan desa yang penduduknya memeluk beragam agama dan keyakinan lokal. Perbedaan tersebut tidak lantas membuat mereka berkonflik, justru di Karangrowo menjadi salah satu tempat yang amat terlihat simbolisasi kerukunannya.


Eratnya kerukunan masyarakat Desa Karangrowo disaksikan oleh sekelompok mahasiswa IAIN Kudus yang sedang melaksanakan kegiatan kuliah kerja nyata. “Selain itu karena kita melihat potensi keberagaman di desa Karangrowo, sehingga mahasiswa ingin belajar lebih lanjut terkait kerukunan beragama di desa Karangrowo lewat diadakannya seminar moderasi beragama itu,” papar salah seorang mahasiswa IAIN Kudus, Muhammad Aufa Alhaq kepada NU Online, Jumat (3/11/2022).


Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam itu menuturkan selama bersosialisasi dan bercengkrama bersama lebih dari sebulan, ia dan teman-temannya dapat merasakan kehangatan sikap toleransi dan saling menghormati di tengah-tangah masyarakat pluralisme di sana, ditambah dengan suasana desa yang amat sejuk dan jauh dari hingar binger perkotaan menjadikan kerukunan antar masyarakat semakin terasa.


Di saat salah seorang warga sedang memiliki hajat tertentu atau sedang ada yang membangun rumah maka banyak masyarakat sekitar yang meskipun berbeda agama tetap bahu-membahu mendatangi tempat tersebut untuk bergotong royong, mulai dari mengaduk semen, menata batu bata, atau pun hanya sekedar ikut mengangkat-angkat kayu.


Aufa melihat sikap saling menghargai dan menghormati masyarakat begitu sangat tinggi di Karangrowo. Menurutnya pengalaman bermasyarakat dengan warga berbagai latar belakang kepercayaan menjadi hal yang sangat menarik untuknya dan teman-teman sekolompoknya. Karena sebelumnya ia dan teman-temannya hidup dan tinggal hanya dengan masyarakat sesama muslim, sehingga keberadaannya di Karangrowo menjadikannya benar-benar merasakan toleransi yang nyata.


“Meskipun di sekolah saya sudah dikenalkan bagaimana toleransi itu sendiri. Namun dengan adanya seminar dan tentunya saat kegiatan KKN di Karangrowo, saya dan teman-teman menjadi lebih bisa merasakan toleransi secara nyata,” jelasnya.


Para narasumber seperti Mbah Maskat dan Pendeta Stefanus Suwarni turut memberikan antusias yang tinggi dengan di adakannya seminar tersebut, karena memang pada dasarnya di Desa Karangrowo sudah menjadi simbol kerukunan antar umat beragama sejak lama.


“Jadi dengan diadakannya seminar moderasi beragama, para tokoh tersebut mempunyai tujuan agar dapat memberikan pelajaran gotong royong, saling bahu membahu meskipun berbeda keyakinan dan kepercayaan, serta dapat mewujudkan jiwa moderasi baik di lingkungan keluarga, bermasyarakat, maupun dalam bernegara,” ujarnya.

 

Kegiatan kuliah kerja nyata mahasiswa IAIN Kudus di Desa Karangrowo yang mempertemukan masyarakat beragam agama dan keyakinan. (Foto: dok. mahasiswa IAIN Kudus)

 

Aufa bersama teman-temannya juga menyelenggarakan program kerja dengan menanam sukun. Para mahasiswa mengajak para masyarakat di desa dan juga Mbah Maskat sebagai tokoh sedulur sikep untuk ikut berpartisipasi dalam program tanam sukun.

 

Beberapa masyarakat ada yang memilih untuk menggali tanah, ada pula yang menancapkan tanaman, lalu ada yang menyiram sembari bersenda gurau penuh kehangatan hingga tidak terasa seluruh tanaman telah habis ditanam.


“Kegiatan yang dijalankan dengan penuh kebersamaan itu menggambarkan potret toleransi di desa Karangrowo, selain itu juga Mbah Maskat bercerita kalau beliau sering diundang pendeta Stefanus Suwarni untuk menghadiri acaranya dan hajat di rumahnya. Ini menunjukkan bagaimana toleransi dapat dilihat di desa Karangrowo, karena salah satu cara menumbuhkan jiwa moderasi adalah dengan menguatkan rasa toleransi,” paparnya.


Saat sedang menjalankan program pengabdian ia juga sempat melihat anak-anak dari sedulur sikep tetap bersekolah dengan nyaman dan berteman dengan kawan-kawannya meskipun berbeda keyakinan, anak-anak kristiani juga biasa bermain dengan anak-anak dari kalangan muslim. Canda tawa yang muncul dari raut wajah mereka memperlihatkan bahwa jiwa saling menghormati dan menghormati satu sama lain telah tertanam sejak kecil di desa Karangrowo


Kerukunan tertanam sejak kecil

Salah seorang warga Kristiani di Desa Karangrowo, Yohanes juga membenarkan hal tersebut. Menurutnya sejak kecil masyarakat telah terbiasa melihat interaksi orang tuanya sehingga telah tumbuh pula dalam dirinya untuk bersikap baik dengan sesama teman.


Seperti halnya ketika umat Islam sedang merayakan hari raya Idul Fitri, maka umat-umat kristiani ikut merayakan dengan cara berkunjung mendatangi dari rumah ke rumah, khususnya datang ke rumah perangkat desa dan kiai-kiai. Lalu ketika umat kritiani merayakan Natal secara otomatis juga mengundang tokoh-tokoh masyarakat desa termasuk masyarakat muslim.


“Ketika desa mengadakan pengajian akbar maka para pemuda kristiani ikut membantu dengan berjaga parkir. Demikian juga sebaliknya ketika sedang ada perayaan natal juga saudara muslim ikut menjaga parkir di gereja kami,” ujarnya.


Yohanes merasa tidak memiliki kendala yang berarti dalam interaksi dengan masyarakat yang berbeda kepercayaan. Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari antar umat kristiani dan muslim di sana sangat membaur.


“Karena kita hidup di dunia yang beragam, realitas kehidupan masyarakat adalah masyarakat yang beragam dan berbeda-beda. Jika kita tidak bisa toleransi satu dengan yang lain maka kita tidak bisa hidup di dunia realitas ini,” pungkas Yohanes.


Keluarga harmonis meskipun beda agama

Hal senada juga diungkapkan oleh warga sedulur sikep, Gunawan yang menuturkan bahwa ada banyak kasus seorang kakek nenek yang beragama Kristen namun cucunya seorang muslim. Ada pula yang kakek neneknya adalah warga sedulur sikep namun cucunya muslim.


“Hubungan keluarga tersebut meskipun berbeda agama tetap baik dan harmonis tidak mempermasalahkan keyakinan. Saya pribadi ketika bertemu dengan orang-orang muslim atau kristiani tetap menyapa dengan baik, tidak ada masalah apa-apa. Hidup rukun dengan sesama itu akan membawa kenikmatan,” tuturnya.


Jika salah satu dari mereka ada yang meninggal dunia maka sudah selayaknya datang menghibur dan melayat. Begitu pun ketika ada salah seorang warga sedang mengadakan acara pernikahan maka satu sama lain saling mendatangi.


“Manusia harus hidup harmonis dengan tetangganya, jangan sampai terjadi perdebatan. Semua orang harus dirangkul dan saling membantu, jika bertemu baiknya disapa. Karena semua agama mengajarkan kebaikan dan kerukunan,” tandasnya.


Seorang warga muslim di Karangrowo, Hasan juga menuturkan hal yang sama, selama hidup bersama dilingkungan masyarakat berbeda kepercayaan ia tak menemukan adanya sebuah gesekan yang berarti dalam berinteraksi.


“Memang di sini sudah terkenal dengan kerukunan masyarakat yang luar biasa. Sehingga memang desa ini kerap didatangi oleh para peneliti untuk mencari tau kehidupan masyarakat yang berbeda kepercayaan di Karangrowo,” pungkasnya.


Mengingat desa tersebut diduduki oleh masyarakat dengan berbagai kepercayaan, Aufa dan kawan-kawan membuat agenda diskusi yang mempertemukan masyarakat umat Islam, Kristen dan Sedulur Sikep.


Diskusi tersebut diselenggarakan di balai desa Karangrowo mengingat tempat yang cukup mudah untuk dijangkau oleh masyarakat. Di tempat yang cukup luas itu masyarakat setempat yang notabennya memiliki kepercayaan dan agama yang berbeda-beda datang menghadiri undangan seminar.


Kegiatan tersebut dikomandoi tidak hanya dari perwakilan satu golongan agama saja namun dari berbagai agama dan kepercayaan sebagaimana yang ada di desa Karangrowo. Abdul Fatah hadir mewakili dari kalangan muslim, kemudian Pendeta Stefanus Suwarni yang mewakili umat kristiani, dan juga Mbah Maskat yang mewakili dari kalangan sedulur sikep.


Penulis: Afina Izzati

Editor: Fathoni Ahmad

 

===================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI