Nasional

Jejaring Sanad Qur’an di Nusantara Diluncurkan di PTIQ Jakarta

Ahad, 6 Maret 2022 | 10:00 WIB

Jejaring Sanad Qur’an di Nusantara Diluncurkan di PTIQ Jakarta

Penulis buku Sanad Qur’an dan Tafsir di Nusantara: Jalur, Lajur, dan Titik Temunya, Zainul Milal Bizawie, saat berbicara dalam peluncuran buku di PTIQ Jakarta. (Foto: Dok. INC)

Jakarta, NU Online
Dalam tradisi belajar-mengajar di kalangan umat Islam, sanad ilmu menjadi salah satu unsur utama. Disiplin ilmu keislaman apapun, sanadnya akan bermuara kepada Nabi Muhammad saw. Sanad tersebut telah membangun suatu jejaring ulama yang kokoh. Karena itu, jejaring ulama di Nusantara sebenarnya hasil proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.


Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) mengajar di Masjidil Haram, termasuk dalam bidang kajian Al-Qur’an, khususnya Ilmu Qira’at.


Hal tersebut mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku Sanad Qur’an dan Tafsir di Nusantara: Jalur, Lajur, dan Titik Temunya karya Zainul Milal Bizawie yang digelar di Aula Institut PTIQ Jakarta, Sabtu (5/3/2022).


Menurut pakar qira’at di Indonesia, KH Ahsin Sakho Muhammad, dalam berbagai sanad qira’at para ulama Nusantara menunjukkan bermuara kepada Imam Ashim bin Abi Najud al-Kufy. Dari Imam ‘Ashim ini akan menjalur ke bawah dari berbagai lajur rawi dan thariq hingga sampai kepada para ulama Nusantara.


“Dari tujuh riwayat imam qira’at, hanya empat qira’at saja yang berkembang dan digunakan di dunia Islam hingga saat ini, antara lain riwayat Hafs, riwayat Warasy, riwayat Qolun, dan riwayat Duri dari Abu Amr al-Basr,” ungkap Kiai Ahsin.


Menurut kiai asal Cirebon ini, di Sudan keempat riwayat tersebut masih digunakan dan berkembang. Namun, di Indonesia hanya membaca satu riwayat saja yaitu riwayat Hafs dari Imam Ashim.


“Sebagai salah satu madzhab qira'at yang masih terhindar dari kepunahan, qira'at Imam Ashim riwayat Hafs ternyata menjadi bacaan al Qur'an mayoritas Muslim di dunia, termasuk kaum muslim di Nusantara,” ujar Dosen IIQ Jakarta ini.


Hal senada juga ditegaskan oleh Rektor Institut PTIQ Jakarta, Prof KH Nasaruddin Umar, bahwa banyak jalur dan lajur yang terus menyebar. Tetapi, pertalian sanad selalu menjadi pengikat dan pengait hubungan spiritual antara mujaz dan mujiz-nya.


“Terbitnya buku ini memberikan kontribusi penting untuk kajian Al-Qur'an, terutama untuk memahami sebaran dan jaringan ulama tahfidz berikut pesantrennya yang meneruskan tradisi sanad,” tutur Prof Nasaruddin.


“Tradisi tersebut juga telah berhasil menjaga local wisdom yang terekspresikan dari keberislaman yang damai dan toleran serta memiliki kemampuan dalam moderasi agama,” sambung Imam Besar Masjid Istiqlal ini.


Hadirnya buku yang diterbitkan Pustaka Compass ini melengkapi khazanah keilmuan sekaligus panduan dalam mendapatkan sumber belajar agama terutama jejaring ulama dalam kajian Al-Qur’an yang selama ini terlupakan. 


Ketersambungan sanad keilmuan
Ketua PBNU periode 2022-2027 KH Miftah Faqih dalam testimoninya mengatakan, buku ini penting dalam memandu kita agar tidak salah dalam memilih pesantren atau lembaga pendidikan bagi anak-anak kita terutama dalam hal menjaga ketersambungan sanad keilmuan.


“Jejaring ulama yang bergelut dalam bidang pengajaran Al-Qur’an baik dalam penghafalan maupun penafsiran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Para ulama di penjuru Nusantara bergerak bersama membangun jaringan serta mengembangan karakter keislaman khas Nusantara.


Dalam sambutannya, penulis buku, Zainul Milal Bizawie (Gus Milal) menyampaikan bahwa aliran ke muara sanad ulama qira’at berikut peta persebaran jejaring ulama dari abad ke abad yang melingkupinya, arusnya tidak linear.


“Aliran tersebut berakhir kepada para ulama Nusantara pada abad bangkitnya para ahli qira’at di Nusantara, yaitu ketika munculnya ulama-ulama yang mengkhususkan diri pada kajian Al-Qur’an terutama qira’at,” ungkapnya.


“Sebenarnya, para ulama sejak era Walisongo hingga abad ke-18 mereka juga seorang ahli dalam kajian Al-Qur’an dan huffadz seperti halnya Syaikhul Islam Imam Zakaria al-Anshori (w 1520). Zakaria al-Anshori dalam jejak sejarahnya dimungkinkan menjadi kolega dari Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati,” sambung Gus Milal.


Jejaring sanad Qira’at
Bahkan, lanjut dia, di Karawang Jawa Barat pada tahun 1418 M/1340 Saka, telah terdapat Pesantren Qurra’ (tempat belajar Al-Qur’an) yang didirikan oleh Syekh Qurra atau Syekh Hasanuddin atau Syekh Qurratul ‘Ain atau Syekh Mursahaditillah.


Jejaring sanad Qira’at dan Tafsir di Nusantara yang dihimpun oleh Gus Milal ini berhasil menyambungkan ratusan bahkan ribuan pesantren Tahfidzul Qur'an di Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa ulama Al-Qur'an Nusantara sangat teguh mempertahankan tradisi sanad dalam membumikan Al Qur'an dan Tafsirnya.


Untuk memudahkan, sejarawan penulis buku Masterpiece Islam Nusantara, dan Jejaring Ulama Diponegoro ini mengkategorikan beberapa jalur. Pertama, jalur sanad Abu Hajar (KH Munawwir Krapyak, KH Arwani Amin Kudus, KH Badawi Kendal dan KH Munawwar Sidayu). Kedua, jalur sanad al-Mirdadi (Lajur Sanad KH Muhammad Sa'id Ismail Madura).


Ketiga, jalur sanad at-Tiji al-Madani (KH Dahlan Kholil Rejoso, Syekh Siraj Garut al-Makki, Syekh Ahmad Hijazi dan al-Kutbi). Keempat, jalur sanad Sarbini ad-Dimyati (Tubagus Makmun Banten, Syekh Mahfudz At-Termasi, Syekh Yasin al Padani).


Selain itu, juga diungkap jalur sanad qira’at lainnya meliputi sanad qira’at ulama Sumatra, ulama Indonesia Timur, lajur sanad qira’at habaib, serta jalur-jalur sanad qira’at baru seperti sanad KH Dzul Hilmi Ghozali Surabaya dan lajur Sanad KH Ahsin Sakho Muhammad. Bahkan, secara singkat dijelaskan munculnya jalur dan lajur sanad baru Lainnya.


Mursyid sekaligus hafidz
Pendiri Pesantren Peradaban Dunia Jagat 'Arsy, KH Budi Rahman Hakim, menyampaikan bahwa tradisi tarekat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kajian Al-Qur'an. Banyak para mursyid tarekat juga seorang hafidz yang mengajarkan kitab-kitab tafsir. Makanya, banyak dijumpai para sufi selain memiliki jalur silsilah tarekat, juga memegang sanad qira'at.


“Tidak heran jika menurut penerbitnya, sebelum diluncurkan, buku ini telah viral dan cetakan pertama langsung ludes. Hal ini karena buku ini berhasil menyusuri jalur-jalur sanad para ulama huffadz di Nusantara yang bersambung dengan para muara sanad qira'at di Timur Tengah hingga Rasulullah saw,” kata Kiai Budi Rahman.


“Membacanya, bakal ditemukan kenapa bangunan tradisi pesantren begitu kokoh hingga saat ini dengan berporos pada simpul-simpul ulama pemegang sanad, khususnya sanad tarekat,” sambung pembantu khusus Syekh Mursyid dan Wakil Talqin TQN PP Suryalaya ini.


Gus Milal menambahkan, pemberian sanad dan ijazah sejatinya tidak hanya terkait hubungan pendek antara dua orang saja, antara guru dan murid dalam satu waktu saja, melainkan sanad adalah rangkaian mujaz dan mujiz panjang yang mensyaratkan tanggung jawab spiritual penjagaan kemurnian bacaan Al-Qur’an yang mana seorang murid mendapatkan legalitas dan otoritas untuk mengajarkannya kepada orang lain atau generasi berikutnya.


“Jadi, tahfidzul Qur’an tidak hanya sebatas mampu dan berhasil menghafalkannya. Karena itu bisa dilakukan sendiri tanpa seorang guru, melainkan terkait dengan ruhul Qur’an yang nantinya tercermin dari akhlak seorang hafidz sebagai perwujudan dari Islam rahmatan lil alamin,” tuturnya.


“Sekecil apapun ucapan, tulisan, dan perbuatan bahkan tindakan jemari like dan dislike dalam dunia virtual akan ada perhitungannya.” tandas Gus Milal dalam peluncuran buku yang diselenggarakan oleh Hima Iqtaf PTIQ dan HKMTHI tersebut.


Peluncuran buku ini juga disiarkan langsung di Channel YouTube INC TV dan TVNU. Beberapa tokoh yang hadir memberikan testimoni antara lain KH A Husnul Hakim IMZI (Dosen IPTIQ), KH Saifullah Ma’shum (Ketua Umum JQHNU), Farid F Saenong PhD (Dewan Pakar PSQ), KH Abdul Mun’im Dz (Ketua PBNU).


Kemudian, HM Ulinnuha Husnan (Dekan Ushuluddin IIQ Jakarta), H Mahrus el Mawa (Kasubdit TPQ Kemenag RI), Nyai Hj Lilik Ummi Kaltsum (Pengasuh Padepokan Tahfidz Ayatirrahman Parung), dan A Ginanjar Sya’ban (filolog santri).


Editor: Musthofa Asrori