Nasional

JPPI: Aturan Sekolah Inklusi Masih Tidak Jelas dalam RUU Sisdiknas

Kam, 29 September 2022 | 09:00 WIB

JPPI: Aturan Sekolah Inklusi Masih Tidak Jelas dalam RUU Sisdiknas

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid. (Foto: instagram @ubaidmatraji)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menekankan pentingnya pendidikan inklusif dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal ini dalam rangka memberikan perhatian kepada sekolah agar menjalankan sistem yang inklusif. Langkah ini juga dilakukan agar setiap sekolah memiliki patokan yang jelas dalam regulasi tentang sekolah inklusif.


Ubaid menjelaskan dalam konteks sekolah diskursus inklusi sering kali dialamatkan kepada kelompok anak difabel saja, padahal sekolah inklusi mestinya bersifat komprehensif. Seperti misalnya soal tata kelolanya, ekosistemnya, kebijakannya, dan lain sebagainya. Penegasan pendidikan inklusi semestinya dikawal dan dorong terus.


“Di dalam RUU Sisdiknas yang baru masih tidak jelas mengatur soal sekolah inklusi, yang semestinya semua satuan pendidikan di segala jenjang dapat dikelola secara inklusif. Inklusif harus menjadi paradigma dan sistem yang harus dikembangkan pada satuan pendidikan mana pun,” tutur Ubaid kepada NU Online Kamis (29/9/2022).


Selama ini, menurutnya, lembaga pendidikan masih menjadi institusi yang eksklusif sehingga guru yang ingin protes terhadap kebijakan yang dibuat kepala sekolah menjadi tidak berani. Kemudian juga pengelolaan dana BOS masih sering dilakukan tertutup, serta masih banyak problem lainnya.


“Seharusnya lembaga pendidikan bisa bersifat inklusif dengan mengembangkan suatu sistem atau lingkungan yang terbuka, toleransi, partisipatif, dan berkeadilan untuk seluruh unsur yang ada di sekolah. Inklusif bukan hanya untuk mereka penyandang disabilitas, itu pemaknaan yang sempit,” terangnya.


Senada dengan hal tersebut, anggota Komisi Nasional Disabilitas, Fatimah Asri Muthmainah juga menuturkan bahwa pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan yang memberikan kebebasan bagi siapa pun termasuk penyandang disabilitas dalam memilih di mana pun ia bersekolah.

 

Tetapi faktanya sistem pendidikan inklusi kurang dibarengi dengan peningkatan kapasitas lembaga pendidikan maupun tenaga kependidikannya.


“Ketidaktersediaan atau keterbatasan sumberdaya tenaga kependidikan yang memiliki kapasitas baik dalam menyelenggarakan pendidikan bagi penyandang disabilitas mengakibatkan sekolah enggan menerima bahkan menolaknya padahal mereka ada yang ingin sekolah di tempat yang dekat dengan rumahnya,” terang Fatimah.


Padahal menurut dia, sistem zonasi sebenarnya sangat menguntungkan bagi disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hambatan jadi mutlak untuk memenuhi kebutuhan.

 

Fatimah menerangkan, inklusi harus dimaknai dengan pengembangan suatu sistem dan lingkungan yang terbuka, toleran dan partisipatif dan juga yang adil. Itu dalam rangka membangun paradigma yang baru tentang disabilitas di lingkungannya. 


“Inklusi tidak hanya menangani satu jenis tapi dituntut ada berbagai macam kebutuhan dan warna peserta didik yang harus ditangani, maka timbul sebuah sistem yang harus memperhatikan dan mengakomodasi semuanya,” tandasnya.


Kontributor: Afina Izzati

Editor: Fathoni Ahmad