Nasional

Kaleidoskop 2019: Pergunu Tegaskan Usulan Pembentukan Komisi Perlindungan Guru

Sel, 31 Desember 2019 | 07:04 WIB

Kaleidoskop 2019: Pergunu Tegaskan Usulan Pembentukan Komisi Perlindungan Guru

Forum Pergunu. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online
Guru tidak hanya memiliki tanggung jawab besar di ranah pedagogis, tetapi juga kerap harus menghadapi ketidakpuasan wali murid atas tindakan guru yang tidak lain tujuannya hanya satu, mendidik. Tindakan guru tidak jarang berujung pada laporan orang tua murid kepada polisi.

Dengan kata lain, proses hukum menjadi muaranya bukan berupaya diselesaikan secara kekeluargaan. Penyelesaian secara kekeluargaan perlu didorong karena ada wadah Komite Sekolah yang menjadi jembatan antara orang tua murid dan pihak sekolah.

Tidak sedikitnya guru yang dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid memunculkan keprihatinan tersendiri dari berbagai elemen pendidikan, termasuk Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu). Dari kasus ini, Pergunu mendorong pembentukan Komisi Perlindungan Guru.

Pertama kali memunculkan ide tersebut, Pergunu menyampaikannya kepada Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada 13 Maret 2018 lalu. Karena kasus menyangkut guru terus berkelindan, Pergunu kembali  menegaskan usulan pembentukan Komisi Perlindungan Guru pada 2019.

"Pergunu mengusulkan pemerintah membentuk Komisi Perlindungan Guru Indonesia, yang bertugas mengawal perlindungan, keselamatan kerja, dan kesejahteraan bagi guru," kata Aris Adi Leksono, salah seorang Ketua PP Pergunu, kepada NU Online pada Selasa (26/11).
 
Aris tidak memungkiri bahwa ada oknum guru yang melakukan kekerasan dalam mendidik siswanya.

Pergunu juga tidak sepakat dengan tindakan demikian. "Pada prinsipnya Pergunu tidak setuju adanya kekerasan dalam proses pembelajaran," katanya.
 
Sebab, menurutnya, guru harus memahami bahwa potensi anak yang beragam, tugas guru salah satunya adalah memfasilitasi tumbuh kembangnya potensi berawal dari perbedaan individu peserta didik.

Namun, Aris menyampaikan bahwa kejadian kekerasan dalam proses pembelajaran bersifat kasuistik sehingga tidak bisa digeneralisasi bahwa guru mengajar cenderung dengan kekerasan.
 
Sebab, pada prinsipnya, kasus kekerasan kepada peserta didik oleh guru terjadi karena faktor emosional sesat, bukan terencana.

"Konteks perbuatan yang tidak menyenangkan oleh guru adalah untuk mendidik atau mendisiplinkan. Bukan kekerasan yang mengarah pada kriminalisasi," jelasnya.

Dalam kasus tindakan kekerasan oleh guru, semestinya diproses melalui mahkamah etik guru, tidak langsung ditangani oleh pihak yang berwajib. Hal tersebut mengingat guru adalah profesi, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka proses hukuman internal harus dijalankan.

"Di sinilah pemerintah kurang serius dalam mengimplementasikan amanat Undang-undang Guru dan Dosen, No. 14 Tahun 2005. Dalam konteks ini perlu adanya pelaksana teknis terkait pengawalan perlindungan guru dan keluarga guru," katanya.

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengafirmasi adanya organisasi profesi yang bersifat independen. Di antara tugasnya adalah membentuk kode etik dan Dewan Kehormatan. Pasal 44 ayat 3 menyebutkan bahwa Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.

Namun, kasus-kasus penerapan sanksi guru terhadap siswa dalam pelaksanaanya hampir tidak pernah diproses melalui dewan tersebut, tetapi langsung oleh pihak kepolisian.

Terlebih PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru pada pasal 39 ayat 1 menyebutkan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.

Sementara itu, ayat 2 pasal 39 memperjelas  bahwa sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, pemerintah, organisasi profesi guru, satuan pendidikan, hingga masyarakat juga harusnya memberikan perlindungan terhadap guru. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 40 dan 41.
 
Meskipun dewan kehormatan organisasi profesi bisa menjadi perlindungan awal, tetapi menurut Aris perlu kontrol luar agar tidak ada subjektifitas dalam pengambilan sikapnya.

"Kontrol luar itu adalah komisi perlindungan guru Indonesia, yang didalamnya terdiri atas unsur keterwakilan dari organisasi profesi guru Indonesia tingkat nasional," pungkasnya.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon