Nasional

Kaleidoskop 2023: Konflik Agraria di Rempang dan Keberpihakan PBNU

Sel, 19 Desember 2023 | 10:30 WIB

Kaleidoskop 2023: Konflik Agraria di Rempang dan Keberpihakan PBNU

Konflik agraria di Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. (Foto: tangkapan layar video)

Jakarta, NU Online

Salah satu konflik agraria paling disorot oleh berbagai pihak pada 2023 adalah soal pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam yang menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah dan PT. Makmur Elok Graha.

 

Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah warga yang lama mendiami pulau tersebut.


Secara singkat, gesekan terjadi akibat warga menolak relokasi untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City. Proyek yang masuk ke dalam Program Strategis Nasional (PSN) ini akan menggusur 16 kampung tua yang berada di lingkungan proyek. Padahal warga setempat telah tinggal secara turun-temurun di lokasi tersebut.


Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat. Konflik Rempang ini kemudian memunculkan isu hak tanah, hak asasi manusia serta kepentingan pemerintah


Perwakilan warga Rempang sempat melakukan aksi demonstrasi di Kota Batam, alih-alih suara mereka didengarkan, aksi demonstrasi warga disambut tindakan represif oleh aparat keamanan.

 

Murid-murid di sekolah dasar di kawasan Rempang pun menjadi korban akibat gas air mata yang ditembakkan aparat. Komnas HAM dalam temuannya menyebut ada indikasi pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik Rempang.


Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian mengungkapkan bahwa konflik agraria sulit selesai jika masih menuruti kepentingan kepentingan di bawah tangan. Apalagi jika menggunakan cara-cara kekerasan.

 

Komnas HAM melihat tidak ada yang menolak rencana pemerintah membangun. Bukan pembangunannya yang dipersoalkan melainkan penggunaan cara-cara penggusuran


Antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Abdulwahab Afiff menekankan pemerintah mesti mengambil langkah tepat dan adil dalam menangani konflik Rempang-Galang. Jika suatu lahan berkonsesi sudah lebih dulu ditempati rakyat, perlu ada penanganan konflik lewat mediasi imparsial. Jika tidak begitu masalahnya tidak akan pernah selesai.

 

"Sebab ada banyak kepentingan. Perlu mediasi imparsial sehingga pelan-pelan benang kusutnya bisa diurai," ujamya.


Kemelut yang terjadi di Rempang mendapatkan respons serius dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dalam pandangan PBNU persoalan Rempang-Galang merupakan masalah yang terkait pemanfaatan lahan untuk proyek pembangunan.

 

Persoalan semacam ini terus berulang akibat kebijakan yang tidak partisipatoris, yang melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan kebijakan hingga pelaksanaannya. 


Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah pada Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung menghasilkan keputusan bahwa tanah yang sudah dikelola oleh rakvat selama bertahun-tahun, baik melalui proses iqtha (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya (pengelolaan lahan) maka hukum pengambilalihan tanah oleh pemerintah dilakukan sewenang-wenang adalah haram.


Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Jakarta mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dalam melakukan proyek strategis nasional (PSN). 


Ketua PBNU Mohammad Syafi' Alielha atau Savic Ali menegaskan, keputusan Munas-Konbes NU 2023 memberikan pertimbangan kepada pemerintah ketika punya program atau agenda pembangunan harus dipersiapkan secara matang dan menggunakan pendekatan yang persuasif kepada warga.


"Saya kira dengan keputusan kemarin di Munas-Konbes NU dan sejumlah pernyataan Ketum PBNU Gus Yahya memberikan pertimbangan kepada pemerintah jangan sampai rakyat justru menjadi korban. Kita merdeka tujuannya untuk memakmurkan rakyat bukan semata tujuannya membuat proyek terkesan mewah," tutur Savic.


Secara prinsipal, kata Savic, Nahdlatul Ulama akan selalu bersama warga yang lemah karena pendekatan kemanusiaan ini penting dan jadi spirit NU. Ini sesuai dengan kaidah figih, dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (Menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan).


"NU punya figur seperti Gus Dur yang selalu mencontohkan keberpihakan kepada mereka yang lebih lemah dan itu akan menjadi pijakan NU,” tandasnya.


Penegasan yang sama disampaikan Ketua PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla. Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam (SDA) ini patut mendapatkan perhatian dari Nahdlatul Ulama dan NU akan selalu bersama warga Rempang.


"Kita berpihak kepada masyarakat Rempang yang jadi korban kekerasan dari pihak keamanan. Kita berpihak kepada warga dan kita mendorong supaya ada dialog. Adapun langkah-langkah berikutnya nanti akan kita pikirkan lagi, yang penting kita memberikan dukungan moral kepada warga. Dukungan moral ini penting," kata Ulil Abshar Abdalla.


Lebih jauh, Ulil mengatakan sebagai ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama memberikan sokongan moral kepada warga di Rempang, dan mendorong kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi dalam proyek strategis nasional (PSN) tersebut.


"(Dan) kita juga akan berusaha melalui jalur jalur yang dimungkinkan melalui kanal-kanal komunikasi untuk mendorong pemerintah menggunakan pendekatan yang lebih persuasif dan dialogis kepada warga Rempang," jelasnya.