Nasional

Kekompakan Banom dan Lembaga NU Jadi Modal Kekuatan Lawan Radikalisme

Ahad, 28 Juli 2019 | 09:30 WIB

Kekompakan Banom dan Lembaga NU Jadi Modal Kekuatan Lawan Radikalisme

Bendera NU, Bendera Merah Putih dan Pancasila

Purwakarta, NU Online

Organisasi Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi keagamaan yang paling konsisten melawan paham Islam garis keras. Perlawanan pada paham yang membolehkan melakukan kekerasan atas nama agama ini sejak lama dilakukan oleh NU. NU juga tidak melakukan dari satu aspek tertentu saja, namun, perlawanan NU dilakukan dari berbagai lini dengan memanfaatkan badan dan lembaga di bawah NU.

Sejumlah Badan Otonom (Banom) dan Lembaga di bawan NU melakukan upaya menyebarkan Islam yang ramah dan sekaligus menangkal radikalisme dari ‘nomenklatur’nya masing-masing. Sebut saja, NU CARE LAZISNU, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI), Lembaga Kesejaahteraan Keluarga (LKK NU), dan seterusnya. Kesemua lembaga ini melakukan aktivitasnya di bidang masing-masing sambil menyebarkan Islam yang ramah dan mengangkal paham radikalisme.

Deretan Banom dan Lembaga menjadi kekuatan tersendiri untuk meminimalisir peran dan menghapus paham radikalisme dari semua sisi. Hal itu ditegaskan oleh Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Purwakarta, KH Ahfaz Fauzi Asyqien. Karena kesemua lembaga ini harus bergerak dalam irama yang sama, maka dibutuhkan kerja keras yang tinggi dari pengurus NU.

Menurutnya, NU adalah organisasi keagamaan-kemasyarakatan yang lengkap karena terdapat berbagai elemen di dalamnya, antara lain, pelajar, mahasiswa, pemilik pesantren atau kiai, pemuda dan lain lain.

Dengan pontensi yang ada, NU memiliki kemampuan untuk menyelesaikan berbagai hal termasuk memberantas paham radikalisme. “Artinya ini di NU kerja bareng,” kata pengasuh Pesantren Asy’ari di Purwakarta ini kepada NU Online, Sabtu (27/7) kemarin.

Kendati begitu, dikarenakan NU secara kuantitas memiliki jumlah yang sangat besar, ia mengaku tidak mudah menggerakkan seluruh elemen yang dimiliki oleh NU tersebut. Di Purwakarta sendiri misalnya, tidak semua lembaga bergerak serempak. Hal ini merupakan tantangan yang mesti dicari jalan keluarnya.

Namun ia berkomitmen untuk terus membentengi masyarakat dari penyakit radikalisme. “NU jangan sampai lengah terhadap radikalsime di banyak tempak. Apalagi kita punya banyak Banom di banyak tempat seperti pelajar, mahasiswa, pesantren,” katanya.

Saat ditanya mengenai tantangan dalam menggerakkan NU, dia mengatakan, tantangan NU saat ini adalah mengaktifkan semua jenis Banom dan Lembaga secara efektif. Jika hal itu bisa dilakukan di level daerah, ia yakin, persoalan-persoalan di masyarakat seperti radikalisme bisa teratasi dengan baik.

“Sekarang, bagaimana caranya NU bergerak seperti air, yang mengisi semua lubang kosong. Sehingga tidak ada satu ruang pun yang tidak ada NU-nya,” ucapnya.

Perlawanan NU terhadap intoleransi dan radikalisme hampir terjadi di semua lini baik level siswa, mahasiswa, pengurus daerah, hingga pusat. Semua lembaga NU menggaungkan perlawanan terhadap paham radikalisme kekerasan.

Sebab banyak dari masyarakat awam yang terjangkit paham radikal. Ada beberapa ciri khas seseorang yang terjangkit paham radikal. Cirri khas ini mengutip hasil riset Joanna Plinner (2013) sebagaimana ditulis dalam buku ‘Kontestasi Wacana Keislaman Dunia Maya, yang diterbitkan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (2018).

Joanna Plinner menyebut ada 21 indikator yang terdapat dalam seseorang yang mengalami proses radikalisasi. Dari kesemua indikator tersebut, ada lima yang paling banyak disebut, yakni: 1) perubahan pada penampilan fisik, termasuk pakaian, 2) memutuskan diri dari komunitas terdahulu, 3) ungkapan verbal melawan pemerintah, 4) ungkapan perasaan keterputusan, dan 5) berhubungan dengan kelompok teroris.

Ciri-ciri ini mirip dengan yang dicirikan Direktur Pencegahan BNPT Brigjend Pol Hamli terhadap kelompok radikal. Ia bahkan menjelaskan mengenai tahapan perubahan seseorang menjadi radikal. Dalam pengamatan profesionalnya, ada tiga tahap perubahan hingga menjadi terorisme. Pertama, intoleransi, berupa orientasi negatif atau penolakan seseorang terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang ia tidak setuju.

Kedua, menganut paham radikalisme yaitu ideologi yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau ekstrim. Cirinya, paham ini menyuburkan sikap intoleran, anti-Pancasila, anti-NKRI, penyebaran paham takfiri (mengkafirkan orang lain), dan menyebabkan disintegrasi bangsa.

Ketiga, terorisme yaitu perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

NU sebagai sebuah organisasi keagamaan telah menyepakati Indonesia sebagai negara yang harus didukung dan dipertahankan. Sejak puluhan tahun lalu, NU telah menyatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam. Atas dasar inilah, NU selalu berada di garda terdepan dalam melawan radikalisme kekerasan di berbagai lini masyarakat. (Abdul Rahman Ahdori/Ahmad Rozali)