Nasional

Kemajemukan Indonesia Tidak Bisa Dikikis

Sel, 24 Desember 2019 | 04:15 WIB

Kemajemukan Indonesia Tidak Bisa Dikikis

Boni Hargens saat mengisi diskusi di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (23/12). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Beberapa tahun terakhir, Indonesia diterpa badai sebuah gerakan yang cukup menkhawatirkan eksistensi Indonesia. Gerakan itu seperti kebangkitan politik identitas dan dominasi simbol-simbol agama di ruang politik.

Pengamat Politik Indonesia, Boni Hargens menyatakan bahwa gerakan tersebut mengancam kemajemukan yang ada di Indonesia. Pasalnya, politik identitas telah mensegregasi sosial (memisahkan atau mengkotak-kotakkan masyarakat) berdasarkan agama, suku, dan etnis.

"Padahal Indonesia adalah bangsa yang hakikatnya majemuk. Multikulturalisme Indonesia adalah identitas yang tidak bisa dibatalkan, dicabut, dan tidak bisa dikikis. Maka proses menjadi Indonesia adalah proses yang menjadi tanggung jawab kita semua," kata Boni saat mengisi diskusi yang diselenggarakan 164 Channel di lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (23/12).

Ia sendiri mengaku sedih atas fenomena bermunculannya kelompok radikal. Ia mengatakan bahwa kelompok tersebut mengimpor ideologi dari luar Indonesia, kemudian besar setelah reformasi karena mendapatkan ruang.
Ā 
Mereka disebutnya sebagai kelompok yang tidak memahami akar sejarah bangsa Indonesia, sehingga ingin merusak Indonesia dengan paham keagamaannya yang ekslusif dan menolak inklusivisme keindonesiaan.Ā 

"Dan ketika Pilkada 2017, isu itu sangat menonjol. Saya melihat ada ancaman yang serius. Jangan sampai negara ini ke depan menjadi negara agama karena itu akan melawan cita-cita pendiri negara dan hakikat Indonesia," ucapnya.

Menurutnya, Profesor Sejarah Universitas Princeton, Michael Laffan dalam studinya yang mengemukakan tentang peran kiai-kiai NU pada awal abad ke-20. Katanya mengutip Laffan, para kiai memperjuangkan konsepsi negara bangsa Indonesia yang menganut paham demokrasi, tetapi di dalamnya mempunyai intisasri religiusitas.

"Keagamaan, spiritualtas itu harus juga terinklusi di dalam konsep bernegara tapi tanpa harus mendirikan negara agama. Dan dia mengatakan, Islam adalah bagian inheren dari sebuah idsntitas keindonesiaan," ucapnya.

Hal itu pula yang kemudian diwariskan kepada para intelektual NU alumni Timur Tengah. Menurutnya, di saat sebagian kelompok Islam di luar NU yang menjadi alumni Timur Tengah dan membahas tentang negara agama, tetapi hal itu tidak dilakukan intelektual NU. Intelektual NU disebut membicarakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Mereka (Nahdliyin alumni Timur Tengah) membicarakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga menghargai keragaman. Nah di situlah menariknya. Di Indonesia itu menjadi contoh betapa kebesaran jiwa kelompok Islam itu bagian dari kemajuan demokrasi kita dan itu harusnya kita bangga," terangnya.

NU dan Muhammadiyah menjadi pilar penting dalam merawat dan menjaga bangsa Indonesia. Kedua ormas tersebut aktif mengkampanyekan perdamaian, bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia internasional. Atas perannya tersebut, sejumlah pihak berupaya mengajukannya agar menerima nobel perdamaian.

Merespons wacana tersebut, ia mengaku bersyukur mengingat ada persepsi Islam di sebagian kelompok yang menganggap Islam tidak cocok dengan demokrasi. Persepsi semacam itu menurutnya harus diluruskan.

"Persepsi ini yang harus kita bongkar ini yang harus kita luruskan," ucapnya.

Pewarta: Husni Sahal
Editor: Fathoni Ahmad