Nasional

Kesaktian Pancasila Harus Dimaknai sebagai Penguatan Ideologi Negara

Kam, 1 Oktober 2020 | 05:15 WIB

Kesaktian Pancasila Harus Dimaknai sebagai Penguatan Ideologi Negara

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila Syaiful Arif. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila Syaiful Arif mengungkapkan bahwa Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati pada 1 Oktober perlu dimaknai sebagai penguatan ideologi negara. Selain itu, bisa diartikan bahwa Pancasila telah selamat dari upaya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berkaitan dengan Gerakan 30 September 1965.


“Kesaktian Pancasila sebagai refleksi dan penguatan keteguhan kita sebagai warga negara untuk menguatkan praktik dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara,” tuturnya, kepada NU Online, pada Kamis (1/10) pagi.


Ia menambahkan, cita-cita utama dari Pancasila sebenarnya adalah mewujudkan keadilan sosial. Perwujudan itu akan tercipta jika sila pertama hingga keempat diamalkan dengan sebaik mungkin. 


“Jadi antarsila yang terdapat di dalam Pancasila itu adalah satu kesatuan. Ideologi politik dan ideologi ekonomi dalam Pancasila tidak bisa dipisahkan. Ideologi politik Pancasila adalah ideologi politik-ekonomi,” tambahnya.


Oleh karena itu, lanjut Syaiful, Bung Karno menyebut demokrasi di dalam Pancasila adalah demokrasi ekonomi-politik. Sebab ujung dari Pancasila merupakan keadilan sosial.


Namun, ia bertutur bahwa sila yang hingga kini belum tersentuh oleh semua diskursus dan upaya penguatan Pancasila adalah sila kelima karena bersifat material. Berbeda dengan sila pertama hingga keempat yang sifatnya sebatas wacana, diskursus, dan pemikiran.


“Kalau kita baca Pancasila, sila pertama itu yang paling abstrak dan mendasar. Tapi semakin ke bawah kian menjadi konkret. Di dalam berbagai diskursus, ketuhanan dimaknai sebagai wujud dari pemuliaan terhadap martabat manusia,” kata Syaiful.


Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ketuhanan yang diamalkan merupakan upaya dari perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia, sehingga mampu merawat kemajemukan bangsa demi persatuan nasional.


“Tiga sila itu masih bersifat wacana. Tapi kalau sudah masuk ke sila keempat dan kelima, itu sudah bersifat institusional,” ungkapnya.


Prinsip Ekonomi Pancasila


Staf Ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) ini menyebut bahwa prinsip ekonomi Pancasila di dalam pembangunan adalah soal pemerataan, bukan hanya mengenai pertumbuhan.


“Jadi tujuan pembangunan bukan hanya pada percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tapi pemerataan ekonomi. Orientasinya adalah sejauh mana rakyat yang paling lemah dan mengalami ketertindasan ekonomi harus diprioritaskan, itulah ekonomi Pancasila,” tutur Syaiful.


Hal tersebut menjadi perwujudan paling konkret jika pembangunan negara berorientasi pada pemerataan ekonomi, bukan hanya soal pertumbuhan. Rakyat yang paling miskin, perlu menjadi prioritas agar bangkit dari keterpurukan ekonomi.


Ia menganalogikan Pancasila itu ibarat Burung Garuda. Sayap kanan adalah persatuan, sedangkan sayap kiri merupakan keadilan sosial. Kepalanya adalah ketuhanan dan kemanusian, sementara kakinya merupakan demokrasi.


“Dua nilai terpenting dari Pancasila adalah persatuan dan keadilan sosial. Oleh karena itu di dalam berbagai masa krisis, seperti Pandemi Covid-19 ini, kita harus menguatkan dua kondisi itu, persatuan dan keadilan sosial,” ungkap Syaiful.


Menurutnya, di dalam upaya keluar dari masa sulit pandemi Covid-19 ini, keadilan sosial mesti diamalkan melalui solidaritas sosial yang tinggi. Wujudnya adalah dengan membantu sesama yang terdampak secara ekonomi dan kesehatan.


“Tapi juga tetap mengacu pada upaya untuk persatuan nasional. Jadi, jangan sampai proses masa krisis ini mencederai bangsa yang sudah kita jaga selama ini,” pungkas Syaiful.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad