Nasional

Kiai Khos Masa Presiden Gus Dur Jadi Kajian Disertasi di UIN Jakarta

Sen, 27 Januari 2020 | 06:30 WIB

Kiai Khos Masa Presiden Gus Dur Jadi Kajian Disertasi di UIN Jakarta

Yanto Basri (pakai peci) sesaat setelah mempresentasikan Disertasinya berjudul 'Dinamika Kultur Politik NU: Studi Kiai Khos Masa Pemerintahan KH Abdurahman Wahid' di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif  Hidayatullah, Jakarta, Senin (27/1). (Foto: NU Online/Rahman Ahdori)

Jakarta, NU Online
Sosok Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) turut berjasa mewarnai dinamika demokrasi yang sehat di Indonesia. Gus Dur yang tidak lain adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk periode 1984-1999 menjadi tokoh kunci terwujudnya dinamika kultur politik NU terutama saat beliau menjadi Presiden RI tahun 1999-2001.

Era Gus Dur, dinamika NU dengan politik-ekonomi bangsa mengubah kultur yang awalnya konservatif menjadi progresif, terutama saat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berdiri 23 Juli 1998. Partai yang didirikan Gus Dur bersama para kiai kharismatik tersebut menjadi lokomotif baru untuk memperkuat peranan NU di pemerintahan serta untuk menyalurkan aspirasi politik warga NU. 

Dinamika kultur politik NU era Gus Dur tersebut terekam dalam penelitian mahasiswa doktoral Sekolah Pascasarjana UIN Syarif  Hidayatullah, Jakarta, Yanto Basri. Disertasi itu mengangkat judul Dinamika Kultur Politik NU: Studi Kiai Khos Masa Pemerintahan KH Abdurahman Wahid.    

Dalam disertasi 247 halaman itu, Yanto Basri bermaksud menjelaskan dinamika NU dalam interaksinya dengan politik-ekonomi bangsa sejak reformasi tahun 1998. Penelitian juga memotret respons kiai khos dalam menghadapi reformasi dan perubahan politik nasional tahun 1998. 

Selain itu, disertasi menggambarkan perjuangan kiai khos dalam membangun kultur politik NU, menjelaskan peran kiai khos antara lain KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Maimun Zubair, KH Idris Marzuki, KH Abdullah Faqih, dan KH Muslim Rifa’i Imampuro dalam mengantarkan Gus Dur  menjadi seorang Presiden yang juga berdampak pada progresifitas warga NU kala itu. 

“Sejak lahirnya PKB dan Gus Dur naik menjadi Presiden berdampak pada penampilan NU yang berwajah dua kekuatan sekaligus atau pedang bermata dua (double-edged sword). Gerakan pemikiran keagamaan yang melahirkan kekuatan intelektual dan gerakan politik Islam yang melahirkan kekuatan politik,” kata Yanto saat menyampaikan presentasi di hadapan penguji pada Ujian Promosi Doktor di Auditorium SPs UIN Jakarta, Senin (27/1) pagi. 

Ia menambahkan, penelitiannya tersebut membuktikan bahwa penampilan NU saat itu menjadi episentrum perubahan politik, sosial, dan ekonomi. Menurut Yanto, disertasinya itu mendukung temuan Robin Bush tahun 2009 yang menyebut Gus Dur dan kiai serta aristokrat pesantren jadi lokomotif perubahan dan NU naik ke puncak kekuasaan tahun 1999. 

Kemudian, Sumanto al-Qurtubi tahun 2014 yang mengelaborasi pergeseran paradigmatik di kalangan kiai dari politik pragmatis ke pemikiran konstruktif dalam gerak struktur keorganisasian NU.

Selain itu Zulkifli tahun 2013, menggambarkan doktrin dan praktek keagamaan kiai menciptakan perubahan cara pandang (mindset) politik, sosial, dan ekonomi umat Islam. Dan Greg Fealy yang menjelaskan sejumlah kiai merasa punya peran penting ketika berada di dunia politik. 

“Temuan dalam penelitian saya, misalnya respon para kiai terhadap perubahan zaman dilakukan dengan reinterpretasi maknah khittah 1926 yang diputuskan pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984. Hasilnya, pertama peneguhan kembali NU sebagai penggerak sosial dan penjaga moral bangsa. Kedua, mengidentifikasian NU sebagai pemilik kekuasaan kultural untuk mengurus pesantren, madrasah, pendidikan, rumah sakit, dan meningkatkan perekonomian umat,” tuturnya. 

Selanjutnya, penguatan NU di bidang intelektual dengan munculnya generasi muda dengan tradisi keilmuan yang cukup. Proyek transmisi intelektual ini dilakukan melalui elite-elite pesantren dan LSM  yang memperkuat ortodoksi keagamaan dan bidang politik sisi lain. 

“Dan masih banyak temuan lain,” kata Yanto yang berhasil mempertahankan disertasinya itu di hadapan para penguji dan promotor.

Pada prinsipnya disertasi ini berkesimpulan. Pertama, Kiai NU berhasil merespons perubahan politik 1998 dengan tepat. Kedua, perjuangan kiai membentuk tradisi politik merupakan ijtihad yang secara konsisten dijalankan di tengah tekanan politik dan kebijakan negara yang tidak kondusif.

Ketiga, puncak pembaharuan kultur politik ini terjadi saat ditetapkannya Gus Dur sebagai calon Presiden Keempat pada pemilihan presiden tahun I999. Keempat, Gus Dur yang dengan mudah terpilih sebagai presiden semakin mempertegas NU sebagai kekuatan politik satu sisi, dan keberhasilan dalam pegembangan politik disisi lain.

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad