Nasional

Kiai Miftachul Akhyar Jelaskan Level Tertinggi dalam Tasawuf

Sab, 4 Desember 2021 | 14:00 WIB

Kiai Miftachul Akhyar Jelaskan Level Tertinggi dalam Tasawuf

Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar (Kiai Miftach). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Salah satu kedudukan spiritual tertinggi dalam diskursus ilmu tasawuf adalah level akmal. Pada level ini, ditandai ketika seseorang mengakui adanya perantara atas terjadinya sebuah ketantuan Allah swt. Meskipun dia juga percaya sepenuhnya bahwa Allah adalah pelaku utama atas segalanya.


Penjelasan ini disampaikan oleh Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar (Kiai Miftach) dalam ngaji kitab Al-Hikam di TVNU, pada Jumat (3/12/2021).


Lebih lanjut, Kiai Miftach mencontohkan, salah satu sahabat Nabi yang sudah mencapai pada level ini adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, terbukti saat terjadi isu hoaks yang menimpa Siti Aisyah.


Kisah lengkapnya, pernah suatu ketika para sahabat kembali ke Madinah seusai perang Muraisi. Siti ‘Aisyah yang kebetulan ikut saat itu, tertinggal di perjalanan karena mencari kalungnya yang hilang. 


Secara kebetulan, saat itu ada salah seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’aththal yang ikut membantu mencari kalung. Keduanya lantas berjalan sampai tiba di Madinah. Memanfaatkan kesempatan tersebut, orang munafik membuat isu hoaks bahwa Aisyah dan Shafwan telah berkhalwat dan melakukan zina. 


“Berita bohong ini lantas tersebar luas. Banyak sahabat-sahabat yang termakan berita hoaks ini,” imbuh kiai kelahiran Surabaya, Jawa Timur ini.


Kiai Miftach melanjutkan, sampailah kabar ini ke telinga Nabi. Hingga beberapa hari, sikap Nabi berubah terhadap Aisyah. Begitupun dengan Aisyah yang hanya bisa pasrah kepada Allah karena sudah banyak orang termakan kabar dusta tersebut. Akhirnya turun surat An-Nur ayat 23 yang mengklarifikasi bahwa isu itu tidak benar.


Kemudian, Abu Bakar berkata kepada Aisyah bahwa ini merupakan perantara Rasulullah saw. Sebab, wahyu tersebut disampaikan melalui lisannya.


“Kata Abu Bakar kepada Asiyah, ‘Ini tentu ada wasilahnya, yaitu Rasulullah. Kau harus berterima kasih kepadanya. Andaikan tidak ada Rasulullah, pasti tidak akan pernah ada pembebasan ini,” ujar Pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya itu.


Sikap Abu Bakar ini merupakan pertanda bahwa dirinya sudah mencapai level akmal. Memang, sejatinya Aisyah harus bersyukur kepada Allah swt atas turunnya ayat yang membebaskan dirinya. Tetapi, itu semua tidak lepas dari perantara Rasulullah.


Mendasari argumennya, Kiai Miftach mengutip hadits Nabi yang artinya, “Belum dikatakan bersyukur kepada Allah, jika dia belum berterima kasih kepada manusia.” (HR Ibnu Hibban).


Hanya saja, berhubung posisi Aisyah saat itu berada dalam level fana’ karena dalam kondisi pasrah total kepada Allah, maka ia tidak mempedulikan perkataan Abu Bakar. Ia hanya ingin bersyukur kepada Allah, tidak kepada yang lainnya, termasuk kepada Rasulullah.


“Kasus ini menunjukkan bahwa Abu Bakar berada dalam maqam (level) akmal, sementara Aisyah maqam fana’,” pungkas Kiai Miftach.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Musthofa Asrori