Nasional

Kiprah Santri Sejak Dulu Sudah Mengglobal, Tak Hanya Lokal

Sel, 6 Desember 2022 | 16:00 WIB

Kiprah Santri Sejak Dulu Sudah Mengglobal, Tak Hanya Lokal

Simposium Internasional yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren di GOR Mbah Muqoyyim, Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (6/12/2022). (Foto: NU Online/Syakir)

Cirebon, NU Online 

Santri tidak sekadar berperan di bidang agama. Lebih dari itu, para santri juga bisa memainkan perannya di dalam berbagai bidang keilmuan dan sektor. Pun tidak hanya lingkup lokal, tetapi juga internasional atau global.

 

Hal itu ditegaskan para narasumber dalam Simposium Internasional yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren di GOR Mbah Muqoyyim, Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (6/12/2022).


Guru Besar Universitas Monash Melbourne Australia Prof Nadirsyah Hosen menegaskan bahwa pesantren menjadi kawah candradimuka untuk mencetak para pendidik dan tokoh bangsa. 


Ia juga menjelaskan, bahwa para kiai memiliki wawasan internasional sejak dahulu. Hal itu diperoleh melalui pertemuan-pertemuan dengan para santri dan ulama lain di masa dahulu saat bertemu di Makkah.

 

Menurut dia, kebolehan umat Islam Indonesia di masa penjajahan untuk melaksanakan haji membuka peluang tersebut untuk membangun kekuatan, saling belajar dan menginspirasi dalam masa perjuangan melawan penjajahan.


“Bukan hanya sekadar ke tanah suci untuk beribadah, tetapi mengaji kepada para masyayikh di tanah suci, bertemu para ulama dan aktivis Islam, terjadi pertukaran gagasan di Makkah akibat pemerintah Belanda mengizinkan para ulama pergi haji,” jelas akademisi yang akrab disapa Gus Nadir itu.


Ayahnya, Prof Ibrahim Hosen, merupakan seorang keturunan Bugis yang kemudian tinggal di Bengkulu. Dari Pulau Sumatra itu, ia mendengar sosok ulama besar yang sangat diharapkan dapat menimba ilmu darinya, yaitu KH Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren.

 

Ia berangkat untuk mengaji secara langsung sosok besar itu dan diterima. Padahal saat itu, Kiai Abbas tidak banyak mengajar mengaji, tetapi seperti melihat potensi Abahnya itu sehingga diminta untuk tinggal bersama di rumahnya.


Gus Nadir menjelaskan bahwa abahnya sangat terinspirasi dari sosok Kiai Abbas sehingga menjelma menjadi ahli dalam fiqih perbandingan mazhab. Di era itu, Kiai Abbas sudah mengemukakan pandangan-pandangan fiqih yang asing bagi kalangan pesantren mengingat didasarkan pada selain mazhab Syafi’i.


Oleh karena itu, Gus Nadir menegaskan bahwa Kiai Abbas bukan saja ulama yang ahli dalam ilmu kanuragan, tetapi juga ahli dalam bidang fiqih. “Orang hanya taunya pendekarnya. Karena beliau sangat tawadhu. Di masa itu sudah ada Mbah Hasyim Asyari, Mbah Wahab Chasbullah,” kata akademisi internasional di bidang hukum itu.


Kultur Buntet Pesantren pula yang membentuk paradigma dan inspirasi sosok Jajang Jahroni, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia sangat terkesan dengan masa-masa saat dulu mengaji kepada para kiai di Buntet Pesantren.


“Buntet menginspirasi masuk ke dalam jiwa saya menjadi cara pandang,” kata akademisi yang menamatkan studi doktoralnya di Universitas Boston, Amerika Serikat itu.


Pesantren juga membentuk gaya hidup dan budaya untuk tidak pernah menyerah, pantang mundur, sabar, terus mengejar kemajuan. Hal itu yang tampak dari ulama terdahulu dengan pemikirannya yang maju ke depan. “Boleh tinggal di pesantren tetapi pikirannya maju. Ini yang saya dapatkan dari pesantren,” ujar alumnus Universitas Leiden, Belanda itu.


Inspirasi yang sama juga diserap oleh Prof Mohammad Ali, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Ia sangat ingat dengan maqalah, sebaik amal adalah yang mudawamah meskipun sedikit. Hal itulah yang ia pegang sampai kini terbang ke berbagai belahan dunia untuk berbicara mengenai pendidikan.


Kiprahnya di dunia internasional itu terinspirasi dari sosok KH Izzuddin, ayah KH Adib Rofiuddin. Saat masih usia sekolah dasar, ia mengikuti seorang kandidat doktor dari Australia yang tengah melakukan penelitian antropologi di Mertapada dan Buntet Pesantren. “Dia masuk Buntet dijelaskan Kiai Izzuddin tentang siapa ini siapa itu pakai bahasa Inggris,” ujarnya.


Ia sangat kagum, ternyata di zaman itu, kiai mampu bercakap dengan orang luar negeri dengan bahasa Inggris. “(Saya) Terinspirasi dari situ,” ujar pria yang pernah menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama itu.


Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) M. Abdullah Syukri menjelaskan bahwa dirinya menyampaikan rekomendasi mengenai pendidikan inklusif dan ekonomi kreatif pada ajang Youth 20 dengan dasar penelitian di Buntet Pesantren.

 

Proposal kebijakan yang ia ajukan itulah yang kemudian ditandatangani oleh para pemimpin dunia pada ajang G20 pertengahan November lalu di Bali.


Pendidikan Buntet Pesantren

Ketua Bidang Pendidikan YLPI Buntet Pesantren KH Fahad Achmad Sadat menjelaskan bahwa Buntet Pesantren terus mengembangkan pendidikannya dan menyiapkan diri untuk menjadi pusat keilmuan dan riset di bidang agama dan umum. Hal itu dimulai dengan pendirian perguruan tinggi.

 

Setelah Akademi Keperawatan pada tahun 1997 dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) pada tahun 2017, YLPI tengah mengajukan pendirian Universitas Islam Buntet Pesantren. Kampus ini akan membuka fakultas di bidang kesehatan, ekonomi, dan sains.


Pendirian ini bukanlah angan-angan saja mengingat Sumber Daya Manusia (SDM) Buntet Pesantren yang sudah tersedia melimpah. “Insyaallah dalam proses sedang mengajukan perizinan Universitas Islam Buntet Pesantren. Mudah-mudahan tahun depan bisa terwujud,” ujarnya.


Sejak dahulu, Buntet Pesantren sudah menerapkan pendidikan formal, tidak hanya pendidikan agama secara salaf saja. Pengalamannya yang panjang ini tentu diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam memajukan pendidikan Indonesia sehingga pihak Buntet Pesantren juga pernah diminta untuk menyampaikan pandangannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Acara ini tidak lain juga sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan hal tersebut.


“Ingin memberikan sumbangsih agar pendidikan di negara yang kita cintai menemukan formula yang tepat untuk para siswa dan siswi sehingga mereka siap menghadapi globalisasi, tantangan zaman, tidak sekadar siap dalam keberagamaannya tetapi juga dalam segala halnya,” katanya.


Kegiatan ini dihadiri Sesepuh Buntet Pesantren KH Adib Rofiuddin Izza, Dewan Sepuh KH Hasanuddin Kriyani dan KH Tajuddin Zen, Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon KH Wawan Arwani, serta dosen, guru, dan tenaga kependidikan di lingkungan Pondok Buntet Pesantren.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad