Nasional

Kisah Anak Muslim di Keluarga Beda Agama: Sempat Tanya Rakaat Shalat ke Ibunya yang Kristen

Sen, 24 Oktober 2022 | 12:43 WIB

Kisah Anak Muslim di Keluarga Beda Agama: Sempat Tanya Rakaat Shalat ke Ibunya yang Kristen

Potret keluarga Odis Prayoga Halomoan Wirasmoro (Foto: Pribadi).

Jakarta, NU Online

Tak ada seorang pun yang bisa memilih dalam keluarga siapa, dan di mana dia dilahirkan. Kalimat yang lazim terdengar menegaskan bahwa sejak lahir manusia tidak ada daya untuk memberikan pilihan hidup di keluarga mana karena hal itu menjadi otoritas Tuhan. 


Hal ini yang menjadi pengalaman Odis Prayoga Halomoan Wirasmoro, anak usia 9 tahun yang sudah sejak kecil hidup dalam keluarga dengan beragam keyakinan. Seluruh anggota keluarga Wahyu, ayah Odis, beragama Islam. Sementara keluarga ibunya, Margaretha Saluinas memeluk agama Kristen. 


Lantas, Odis beragama apa? Jawabannya: Islam, keyakinan yang diimani sang ayah. Sang ibu, Margaretha Saulinas, sama sekali tidak keberatan dengan pilihan anaknya ini. Ia mengaku menerapkan pola asuh yang demokratis, terlebih untuk masalah agama. Bahkan, katanya,  Odis seringkali bertanya banyak hal tentang Tuhan serta bertanya tentang perbedaan yang tampak dari keluarga besarnya ketika beribadah. 


"Namanya anak kecil ya wajar bertanya-tanya, kemarin anak teman saya juga penasaran ketika lewat gereja dia bertanya ke mamanya, gereja itu apa Ma? Kenapa ada gereja, kenapa ada masjid," ujar perempuan yang akrab disapa Mak Etha ini. 


Begitu juga dengan Odis. Karena Odis besar dan lahir di keluarga yang merayakan natal dan juga lebaran, ada juga keluarga dari ayahnya yang merayakan imlek. 


"Sehingga dia pun mulai banyak pertanyaan dengan segala hal soal apa yang orang dewasa lakukan di sekitarnya. Dia bertanya natalan itu apa? Lebaran dan imlek itu apa? Kenapa mama dan opung ke gereja, ayah dan eyang ke masjid? Makin beranjak dewasa pertanyaannya makin kritis, sampai pernah aku ditanya: Mama kafir bukan?" kisah Mak Etha menceritakan rasa penasaran Odis. 


Untuk menjawab rasa penasaran Odis ini, kedua orang tuanya lebih menjelaskan tentang konsep Tuhan secara universal (umum) yakni Tuhan sebagai pencipta semua makhluk hidup dan bahwa setiap individu punya keyakinan tentang penciptanya masing-masing. 

 

(Potret keluarga besar Wahyu dan Margaretha Saulinas: Foto: Arsip pribadi)


Menurut Mak Etha, anak-anak akan meneladani orang tuanya dan kalau perihal ini disampaikan dengan cinta kasih, welas asih maka bukan pengetahuan agama saja yang didapat tapi juga pengetahuan spiritual serta toleransi.


"Dulu sekitar 15 tahun yang lalu sebelum aku menikah, aku pernah diingetin sama teman sekaligus orang yang sudah kuanggap seperti guruku bahwa keimanan, keyakinan, dan agama itu adalah hak private internum atau hak privat individual dengan penciptanya," imbuhnya.


Karena pemahaman tentang hak private internum ini pula, Mak Etha mengaku dia maupun suaminya tidak akan memaksa siapa pun untuk pindah atau untuk memilih agama yang mereka pilih. "Ya perihal masa setelah mati adalah hak Tuhan, bukan berarti kami menggampangkan, tapi kami lebih memegang kepada ajaran secara personal. Kami menghormati juga orang yang nggak bisa menerima pilihan kami," jelasnya. 


Sementara menurutnya selama ini Odis sejak kecil dikenalkan dengan agama Islam sesuai agama yang dianut sang ayah.  "Nanti ketika Odis menginjak umur 17 tahun kami menyerahkan ke dia mau bagaimana," papar Mak Etha. 

 

Saat ini Odis belajar Islam tentang kewajiban-kewajibannya sebagai muslim, seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, dan mengaji.  Mak Etha mengisahkan pula kisah-kisah lucu ketika mengajarkan dan membiasakan Odis sembahyang lima waktu dan puasa. Seperti ketika Odis lupa berapa rakaat shalat Dhuhur, sementara ayahnya tidak di rumah, akhirnya bertanyalah kepada ibunya yang ternyata lupa bilangan rakaatnya juga. Beruntung, saat ini informasi soal pengetahuan apa pun bisa dilacak dengan google. 


Lebih lanjut untuk memperdalam ilmu agama Odis, Mak Etha membelikan buku-buku tentang tuntunan shalat, tuntunan puasa, serta buku ngaji dan juz amma. 


"Mulai menuju baligh, kami mulai sampaikan dia Islam, puasa, shalat dan mengaji. Ketika Odis berusia 8 tahun, dia puasa. Awal-awal Odis bertanya soal puasa dan kami pun menjelaskan kalau puasa berarti tidak makan-minum dari sejak Subuh hingga azan Maghrib. Setelah dia bisa full 1 hari, hari kedua dia mengira sudah selesai, padahal puasanya harus sebulan. Puji Tuhan dia akhirnya bisa puasa sebulan penuh," ungkap Mak Etha.

 

Saat puasa Ramadhan, Mak Etha  pun mengaku dia tetap makan seperti biasa, tentunya dengan memberi penjelasan terlebih dahulu ke Odis kalau kewajiban puasa hanya diperuntukkan untuk orang yang beragama Islam, bukan untuk yang beragama Kristen.

 

"Saya menegaskan ke Odis, kalau ibunya nggak puasa karena memang beda keyakinan dengannya, dan Odis pun mengerti dengan hal ini. Meski pernah suatu hari, Odis kesiangan dan nggak sahur, tapi tetap memaksa untuk puasa, dan dia meminta tolong ke aku agar tidak makan di depannya agar dia bisa kuat menahan lapar hingga waktu berbuka tiba," kata Mak Etha. 

 

Menurut Mak Etha, selama ini meski hidup dengan keluarga yang berbeda keyakinan, dia bersyukur tidak ada konflik yang dipicu oleh perbedaan ini termasuk dengan pola asuh yang diberikan kepada putranya.

 

Selaras dengan pengalaman yang dilalui Odis dan keluarganya, seorang konsultan psikologi, Binar Lestari menjelaskan tentang pola asuh dan hubungannya dengan pendidikan spiritual. Menurutnya, secara teori anak itu baru bisa berpikir abstrak sekitar usia 12 tahun, dan agama dan Tuhan masuk dalam kategori abstrak, sehingga lebih baik ketika masih usia dini diperkenalkan tentang konsep agama secara universal. "Sebelum usia 12 tahun mungkin dikenalkan dengan konsep-konsep yang umum saja seperti kebaikan dan kejujuran, sambil secara bertahap diperkenalkan tentang konsep agama, asal jangan memaksa," jelasnya kepada NU Online.


Sebaiknya, lanjut Binar, ketika kecil anak bisa mengenal Tuhan secara positif seperti hakikat Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Memberi dan Maha Mengetahui. "Bukan mengenalkan Tuhan secara negatif tentang hukuman bagi pendosa, bahkan menakut-nakuti anak kecil dengan neraka," ujar perempuan lulusan Psikologi Universitas Indonesia ini. 

 

Senada disampaikan oleh dosen Bimbingan Konseling Islam (BKI) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Attanwir, Sumberrejo, Bojonegoro, Indah Fajrotuz Zahro, menurutnya ketika ada anak yang lahir di tengah keluarga beda agama maka pendidikan yang diberikan bisa lebih ditekankan pada perilaku-perilaku baik dan ajaran moral yang perlu dicontohkan. "Bisa diberikan ajaran-ajaran kebaikan secara umum karena memang anak-anak, terlebih yang masih usia dini pembelajarannya lebih diutamakan sesuatu yang riil dari pada hal yang abstrak," jelas Mbak Indah selaras dengan penjelasan yang diberikan Mbak Binar.


Kontributor: Nidlomatum MR 
Editor: Zunus Muhammad