Nasional

Konsensus Umat Islam Indonesia Menerima Negara Kebangsaan

Rab, 13 Mei 2020 | 00:00 WIB

Konsensus Umat Islam Indonesia Menerima Negara Kebangsaan

NU adalah salah satu ormas Islam yang menerima Indonesia sebagai negara kebangsaaan (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online
Pengampu Ngaji Ihya daring Gus Ulil Abshar Abdalla menyampaikan bahwa umat Islam di seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang organisasi dan mazhabnya memiliki kesepakatan bersama terkait adanya negara Indonesia sebagai negara bangsa.

“Sekarang ini umat Islam di Indonesia baik itu yang di NU, Persis, NW, PERTI, maupun di PKS, maupun di semua partai, mayoritas umat Islam Indonesia punya konsensus bahwa Indonesia sebagai landasan hidup bersama,” ujarnya saat bincang bersama Sejarawan Bonnie Triyana pada Selasa (12/5) sore.

Konsensus ini juga, lanjutnya, sama diterima oleh kalangan Salafi atau Wahabi. Menurutnya, kelompok tersebut termasuk kaum putihan paling keras. Kelompok salafi ini sebagian besar menerima negara nasional mengingat pusatnya terdapat di Arab Saudi. Di sana saja, mereka menerima kerajaan. Artinya, jika mereka tidak menerima Indonesia, maka mereka juga harus menolak Saudi.

Meskipun demikian, Gus Ulil juga tidak menafikan adanya kelompok yang tidak menerima Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dan ingin mengubah sistemnya. Namun, kelompok ini jumlahnya sangat kecil.
 
“Yang menolak NKRI itu hanya HTI, kelompok salafi yang simpati ISIS dan Al-Qaeda. Ini minoritas sekali. Lepas dari afiliasi politisnya mereka menerima Indonesia,” katanya.

Oleh karena itu, pengajar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu menegaskan agar masyarakat Indonesia tidak terpolarisasi dalam sekat-sekat politik. “Bangsa Indonesia jangan terpolarisasi,” katanya.

Meski tidak boleh terpolarisasi, bukan berarti juga juga seragam. Ia juga menolak jika bangsa Indonesia diseragamkan. Artinya, bangsa Indonesia harus memiliki sikap pengertian satu sama lain. “Walaupun beda ada saling pengertian,” ujarnya.

Memang, katanya, politik ini salah satu hal yang paling repot. “Kalau perbedaan kultural dipolitisasi repot,” ucap kiai asal Pati, Jawa Tengah itu.

Menurutnya, Islam di Indonesia itu memang harus beragam. Tidak boleh semuanya NU, ataupun Muhammadiyah semuanya. Sebab, menurutnya, ada kiai galak dan yang enteng-entengan, lembut.
 
“Kiai yang galak punya fungsinya sendiri. Kiai yang enteng-entengan juga punya fungsinya sendiri,” ujarnya.

Kelompok Islam yang galak itu, menurutnya, tetap harus ada sebagai pengontrol. Tentu dengan batasan tidak melanggar hukum.

Hal tersebut sangat alamiah mengingat Tuhan pun memiliki dua sifat, yakni pertama Jamal yang berarti indah, inklusif, ataupun merangkul semua dan kedua, Jalal yang berarti galak, eksklusif, mendendam dan segala macam.
 
“Itu keseimbangan alam. Umat Islam juga harus ada yang merepresentasikan sifat Jalal dan Jamal-nya Allah,” ujarnya.

Dua kelompok ini memang bersaing. Namun, Gus Ulil sendiri lebih senang dengan sifat keindahan Allah yang inklusif. Hal itu juga dengan tidak menafikan sifat jalal. Keduanya hadir sebagai bentuk dari dinamika kehidupan.

“Hubungan antara dua kelompok ini asal terkontrol baik itu oke. Kalau dipolitisasi lalu menimbulkan disintegrasi sosial di Timur Tengah bagi saya sedih,” pungkasnya.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi