Nasional

Mahasiswa NU Minta Jokowi Turunkan Harga Minyak dan Cabut Omnibus Law

Sen, 11 April 2022 | 23:30 WIB

Mahasiswa NU Minta Jokowi Turunkan Harga Minyak dan Cabut Omnibus Law

“Akhirnya (UU Omnibus Law) dipakai oleh beberapa perusahaan untuk menjadi alat legitimasi melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak kepada karyawannya,” tegas Mahasiswa Jurusan Sosiologi Unusia Jakarta itu.

Jakarta, NU Online

Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), minyak goreng, mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law, menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.


Selain itu, mereka mendesak pemerintah Indonesia menurunkan besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 10 persen serta mewujudkan pendidikan yang gratis, ilmiah, dan demokratis. Sebab mereka menilai, kebijakan-kebijakan yang digulirkan pemerintah telah menyengsarakan rakyat. 


Tuntutan-tuntutan itu disampaikan oleh puluhan Mahasiswa Unusia Jakarta bersama aliansi mahasiswa yang lain untuk bergerak turun aksi, di bilangan Istana Negara, Jakarta, pada Senin (11/4/2022) siang. 


“Kembalikan hak-hak rakyat. Ini penting bagi mahasiswa untuk melakukan satu konsolidasi agar bisa memahami secara detail situasi dan ekonomi yang terjadi di Indonesia,” tegas Koordinator Lapangan Aksi 11 April dari Unusia Jakarta, Enggar Apriansyah, kepada NU Online, Senin petang. 


Ia menyebut, Presiden Jokowi dalam dua periode kepemimpinannya telah membuat rakyat Indonesia banyak mengalami kesengsaraan. Pada 2020 silam, Enggar menilai Jokowi telah memberikan karpet merah kepada investor asing melalui UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. 


“Akhirnya (UU Omnibus Law) dipakai oleh beberapa perusahaan untuk menjadi alat legitimasi melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak kepada karyawannya,” tegas Mahasiswa Jurusan Sosiologi Unusia Jakarta itu.


Ke depan, Enggar bersama Mahasiswa Unusia Jakarta yang lain berharap agar pemerintah Indonesia benar-benar berpihak kepada rakyat. Ia juga mengharapkan peran pemerintah yang sungguh-sungguh memperhatikan situasi rakyatnya yang ada di akar rumput. 


“Negara harus benar-benar melihat situasi rakyat. Mulai dari situasi pendidikan dan kesehatan yang layak, pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan sesuai undang-undang dasar. Itu menjadi harapan kami agar masyarakat Indonesia tidak lagi mengalami kemiskinan secara struktural dan tersistematis. Aksi ini adalah wujud implementasi kemarahan rakyat akibat kebijakan-kebijakan yang lahir tidak berpihak kepada rakyat,” tegas Enggar. 


Demonstrasi Sebuah Kewajaran

Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Muhtar Said memandang bahwa demonstrasi yang dilakukan mahasiswa adalah sebuah kewajaran. Sebab saat ini, Indonesia memang sedang bergejolak akibat kenaikan harga minyak goreng dan BBM. Ditambah ada wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. 


Ia menegaskan, demonstrasi adalah hak konstitusional bagi seluruh warga, begitu pula mahasiswa sehingga tidak ada masalah. Unjuk rasa juga dinilai sebagai kebebesan bagi warga negara yang merupakan hak asasi manusia (HAM) dan itu dilindungi oleh UUD 1945. 


“Wajar karena isunya kan terkait minyak goreng, pertamax naik. Itu kan bahan dasar. Kalau Pertamax dan minyak goreng naik, semua bahan pokok jadi naik. Apalagi kalau di Indonesia ini, kebiasaan masyarakat memang mengonsumsi gorengan. Yang lebih penting, kita ini salah satu negara yang memproduksi minyak goreng terbesar, kok harga bisa naik dan sulit mendapatkannya,” jelas Muhtar Said. 


Kenaikan Harga

Muhtar pun mendorong pemerintah untuk segera memberikan alasan detail terkait kenaikan harga BBM dan minyak goreng. Hal ini penting dilakukan pemerintah sebagai pengelola negara. Sebab, segala kebijakan harus digulirkan secara transparan dan terdapat keterbukaan terkait alasan-alasan yang konkret. 


“Harus terbuka, disosialisasikan kepada masyarakat terlebih dulu. Sebelum membuat kebijakan, masyarakat harus tahu. Kalau konon katanya ada mafia minyak, ini pemerintah ngapain? Kita kan sudah ada aparat, polisi, KPPU (komisi pengawas persaingan usaha), dan sudah ada kementeriannya, ini langkah konkretnya apa? Ini yang seharusnya mahasiswa tekankan,” terangnya. 


Pemerintah harus memberi informasi yang jelas terkait keberadaan mafia minyak itu karena akan berurusan dengan pidana. Kalau sudah pidana, kata Muhtar, maka hukum harus ditegakkan. 


“Ini kan negara hukum, equality before the law (persamaan di hadapan hukum). Bukan yang main itu mafia. Yang namanya mafia itu kan pasti pemodal besar, ada pemodal besar yang bermain di belakangnya. Ini harus dituntut,” ungkapnya. 


Muhtar memastikan bahwa langkah konkret pemerintah terhadap mafia minyak ini belum bisa dilihat oleh masyarakat. Karena itu, wajar saja jika mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil melakukan unjuk rasa menuntut kejelasan dari pemerintah terkait kebijakan yang dianggap merugikan. 


Cabut Omnibus Law

Sementara mengenai UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, lanjut Muhtar, Mahkamah Konsitusi sudah memutuskan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun. Soal keinginan untuk dicabut, sudah menjadi urusan Presiden Jokowi sepenuhnya. 


“Pemerintah juga sudah menindaklanjuti dengan adanya perumusan-perumusan perancangan pedoman peraturan terkait dengan pembentukan UU Omnibus Law,” terang Muhtar yang pernah mengajukan permohonan uji formil UU Cipta Kerja ke MK, pada tahun lalu. 


Berikut putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam sidang putusan pada Kamis, 25 November 2021:


Pertama, pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan’.


Kedua, menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.


Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.


Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.


Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan