Nasional

Memahami Ajaran Agama, Tak Boleh Hanya Tekstual

Sab, 23 November 2019 | 09:30 WIB

Memahami Ajaran Agama, Tak Boleh Hanya Tekstual

Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU, KH Syamsul Maarif. (Foto: NU Online/Faizin)

Pesawaran, NU Online

Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU, KH Syamsul Maarif mengatakan bahwa seorang dai (pendakwah) tidak boleh berpikir tekstual, rigid (kaku), tanpa penafsiran dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendakwah juga tidak boleh bepikir liberal dengan penafsiran terlalu melebar tanpa batas.

 

Mengutip Imam al-Qarafi, ia mengungkapkan bahwa cara berpikir tekstual, yang disebut dengan al-jumud ‘alal manqulat (statis pada teks-teks nash) yakni Al-Qur’an dan al-Hadits saja bisa mengarah kepada kesesatan dalam beragama.

 

“Kata beliau Imam al-Qarafi, al-jumud a’lal manqulat abadan, dalaalun fi diin, kesesatan dalam agama kalau tekstual selamanya, wa jahlun fil maqashid u’lama il muslimin, dan merupakan kebodohan, ketidakpahaman terhadap apa yang dimaksud oleh ulama terdahulu dan ulama-ulama salaf. Karena cara berpikir kita di dalam seperti itu,” ungkapnya.

 

Ia mencontohkan kelompok-kelompok yang terpaku dalam teks seperti selalu menanyakan dalil dari setiap pekerjaan. "Sedikit-sedikit tanya dalil, misal apa dalil berjabat tangan setelah shalat," katanya.

 

Hal-hal seperti ini menurutnya tidak perlu dikaitkan dengan dalil. Akan sama halnya tidak perlu menanyakan mana dalil ketika setelah shalat menghidupkan handphone. Jika pola pikir terlalu terpaku pada teks, maka menurutnya seseorang akan cenderung gampang menyalahkan orang lain yang beda pemahaman.

 

"Kalau itu sebatas ikhtilaf (perbedaan) maka kedepankan toleransi. Tapi kalau itu inhiraf (penyimpangan) maka harus diamputasi," jelasnya saat memberikan materi pada Akademi Dai Wasathiyah yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung di Markas Komando Brigif Marinir 4 di Kabupaten Pesawaran, Lampung, Sabtu (23/11).

 

Sehingga ia mengajak kepada para dai dan para ulama untuk mengedepankan dakwah yang moderat atau wasathiyah. Para pendakwah tidak boleh larut dalam irama informasi yang ada di media sosial.

 

Hal ini diungkapkannya sebab banyak para pendakwah yang ikut-ikutan menyebarkan informasi-informasi yang bukannya memberikan kedamaian dan kenyamanan dalam bermasyarakat namun malah membuat resah.

 

"Di Indonesia saat ini bebas sekali para pendakwah (baik dunia nyata maupun dunia maya) mengungkapkan berbagai hal. Tidak seperti di negara-negara lain seperti di Arab Saudi," ungkapnya.

 

Di Arab Saudi, lanjutnya, sangat terbatas para pendakwah berbicara di depan umum karena di negara tersebut tidak ada kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan masa dalam jumlah banyak di tempat umum.

 

"Di sana tidak ada pengajian-pengajian maulid seperti di Indonesia," kata ulama muda yang juga Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat ini.

 

Ia mengatakan juga bahwa mengkritik orang lain boleh-boleh saja namun harus dalam bentuk kritik membangun, bukan nyinyir dan menjatuhkan. Dan seorang dai wasathiyah tidak gampang mengadili dan harus sesuai dengan fungsi utama yakni mengajak.

 

Pewarta: Muhammad Faizin

Editor: Aryudi AR