Nasional

Ngaji Suluk Maleman: Meneguhkan Akhlak di Tengah Perubahan Peradaban Pasca-Pandemi

Sen, 23 Mei 2022 | 15:00 WIB

Ngaji Suluk Maleman: Meneguhkan Akhlak di Tengah Perubahan Peradaban Pasca-Pandemi

Ngaji suluk maleman. (Foto: Suluk Maleman)

Jakarta, NU Online

Setelah 26 bulan digelar secara streaming, Ngaji NgAllah Suluk Maleman akhirnya bisa kembali digelar secara tatap muka. Hal itu bisa dilakukan setelah kasus Covid-19 kian melandai, sehingga pembatasan kegiatan yang merupakan dampak pandemi juga dilonggarkan.


Dalam pengajian yang diselenggarakan pada Sabtu lalu itu, Budayawan dan Penggagas Ngaji Suluk Maleman Anis Sholeh Ba’asyin mengingatkan tentang pembelajaran yang seharusnya dapat dipetik dari peristiwa pandemi. Pandemi setidaknya telah memberi gambaran tentang kemungkinan perubahan mendasar bagi bentuk peradaban di masa mendatang.


“Salah satunya pembelajaran tentang perlakuan terhadap lingkungan hidup. Saat pandemi, tingkah laku manusia seperti direm dan hasilnya di kota-kota besar banyak burung yang sebelumnya tidak pernah terlihat, kembali yang muncul. Alam seperti mekar kembali dengan segar. Tapi saat aktivitas manusia mulai bergeliat, alam kembali terpinggirkan,” ujar Habib Anis.


Dia juga mengingatkan akan adanya perubahan peradaban pasca-pandemi. Di antara yang terlihat yakni perkembangan dunia digital yang begitu pesat. Sehingga penting untuk mengetahui tantangan yang akan dihadapi untuk mempersiapkan kuda-kuda yang kuat dalam memasukinya.


“Karena bagaimana pun, masa depan arahnya lebih mengandalkan dunia digital. Bukan tidak mungkin pembelajaran maupun pekerjaan yang bisa dilakukan secara virtual akan menjadi pola yang digunakan di masa depan. Apalagi akan jauh mengurangi biaya dan tenaga,” ucap Habib Anis. 


Dengan perkembangan dunia digital tersebut, Anis mengingatkan pentingnya meneguhkan kembali fundamen akhlak dan adab masing-masing anggota masyarakat. Karena dengan kecepatan perkembangan dunia digital, peraturan dan hukum untuk mengaturnya akan selalu jauh tertinggal di belakang dibanding kepesatan perubahan yang terjadi di masyarakat.


Dengan mengutip sebuah hadits, Anis menegaskan bahwa tujuan penting agama adalah adalah untuk mengutamakan kemuliaan akhlak manusia. Akhlak sendiri adalah kepribadian yang salah satu unsur terpentingnya terbentuk karena kebiasaan sehingga harus dilatih dengan benar.


Akhlak terbukti penting untuk menjaga perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat. Tanpa dilandasi akhlak yang baik maka sains dan teknologi rentan membawa kerusakan. Hal itu pun seperti sudah terlihat dari dampak kerusakan sosial dan lingkungan yang terjadi pasca-revolusi industri.


“Tanpa akhlak, kepesatan perkembangan sains dan teknologi akan seperti menyerahkan senjata super canggih ke tangan kanak-kanak,” 


“Salah satu contoh kecil misalnya; saat ini kepesatan perkembangan media sosial tidak dibarengi menguatnya etika saat menggunakannya. Padahal seharusnya medsos menjadi wujud ekspansi pergaulan riil yang ada. Kalau interaksi sosial riil  membutuhkan adanya tenggang rasa, sopan santun dan seterusnya; tapi itu semua justru menguap dan tak terlalu terlihat di medsos,” demiukian tambahnya.


Anis mencontohkan, kalau dalam interaksi riil orang tidak bisa sembarangan masuk ke rumah orang lain apalagi langsung ikut nimbrung dalam percakapan; tidak demikian yang terjadi di medsos. Semua orang bisa melakukan itu; dan seringkali bisa berkomentar semaunya dengan tanpa pertimbangan etika. Kebanyakan bahkan  sudah berkomentar terlebih dahulu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.


“Maka yang kemudian terjadi adalah pola berpikir bahwa suara mayoritaslah yang menjadi kebenaran. Parameter kebenaran bergeser menjadi sekadar banyak sedikitnya jumlah orang yang menyuarakannya,” satirenya.


Ilyas Arifin M.Ag, akademisi Unnes yang menjadi salah satu narasumber malam itu mengatakan, salah satu upaya mengerem tingkah laku adalah dengan mengingat jika manusia hidup seperti menanam. Segala yang ditanam itu sendiri nantinya akan diunduh.


“Wong urip ngundoh wohing pakarti. Orang hidup itu akan memetik buah lakunya sendiri. Kita tidak tahu kapan akan mengunduhnya, jika tidak di dunia tentu diakhirat. Itu yang harus diingat,” ucap dia.


Dengan konsep itu, maka seseorang akan lebih berhati-hati dalam setiap perilakunya, sekaligus bisa lebih ikhlas dalam melakukannya.


“Kita tidak lagi mengharapkan balasan baik dari sesama manusia. Karena yakin nantinya akan ada buah yang kita ambil meski saat di akhirat,” jelas Anis.


Sementara M. Khoiruddin, penggiat pertanian dari Blora yang malam itu juga hadir sebagai narasumber, menyebut bahwa konsep menanam juga bisa dipelajari ke dalam bentuk bersosial. 


Dikatakan dia, saat menanam seharusnya bisa memahami jenis tanaman sehingga bisa mengetahui media tanam maupun bentuk perawatan yang tepat. Hal itu juga bisa dilakukan untuk melihat karakter dan individu yang berbeda tiap orangnya.


“Jangan sampai menanam anggrek dengan media tanam padi begitu pula sebaliknya. Dalam dunia pendidikan sebaiknya juga seperti itu. Kurikulum harus disesuaikan dengan peserta didiknya jangan disamakan. Apalagi masyarakat Indonesia begitu beragam,” ujarnya sosok yang biasa dipanggil Cak Rudd tersebut.


Disamping itu, sebegai penggiat pertanian, Cak Rudd mengurai banyak petunjuk dan arahan Al-Qur’an, bahkan seringkali bersifat teknis, yang selama ini tidak sungguh-sungguh ditadaburi oleh kaum muslimin sendiri.


Pada akhirnya Budi Maryono, budayawan dari Semarang yang malam itu juga hadir, mengingatkan bahwa apa pun yang kita pelajari dan kita ketahui, jangan sampai membuat kita tidak syukur, apalagi tidak ridha terhadap kenyataan yang ada. Kita mempelajari kenyataan bukan untuk hanya sebagai pengetahuan agar tak salah melangkah. Itu saja.


“Selebihnya hanyalah soal menumbuhkan sikap ikhlas dan ridho dalam menjalani hidup, sehingga tak terbebani dengan beban yang tak perlu.


Ngaji NgAllah Suluk Maleman yang pertama kali kembali digelar secara tatap muka, tampaknya sangat menarik antusias masyarakat. Ratusan orang yang hadir secara langsung tampak suntuk mengikutinya sampai akhir.


Dialog yang berlangsung di puncak acara, membuat suasana semakin meriah karena adanya plesetan-plesetan humor, baik dari narassumber mau pun jama’ah; apalagi sejak awal Sampak GusUran menemani dengan musik dan lagu koleksi mereka.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan