Nasional

Nyai Sinta Nuriyah: Perempuan Jadi Tumpuan Keluarga di Tengah Pandemi

Kam, 25 Maret 2021 | 08:35 WIB

Nyai Sinta Nuriyah: Perempuan Jadi Tumpuan Keluarga di Tengah Pandemi

Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Nyai Hj Sinta Nuriyah dalam pidato kunci bertajuk Memilih Peluang Memanfaatkan Kesempatan menyampaikan pokok-pokok yang berhubungan dengan peran penting perempuan pekerja di situasi pandemi. Karena menurut Nyai Sinta, dalam kondisi dan situasi yang tidak normal seperti sekarang ini, sosok perempuan sangat penting menjadi tumpuan bagi keluarganya.


"Saat para lelaki bingung dan mengalami depresi karena kehilangan pekerjaan, perempuan menjadi penentu keutuhan keluarga, perempuan menjadi tumpuan kegalauan suami menghadapi tekanan hidup," katanya di acara Webinar Choose To Challenge yang diselenggarakan oleh Rumah Kitab, Rabu (24/3).


Istri almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menegaskan, perubahan-perubahan tersebut akan berdampak sehingga mengancam keutuhan keluarga apabila pemerintah tidak responsif (gender). Beda halnya jika pemerintah dan perempuan mampu bersikap responsif dengan memerhatikan perubahan relasi yang terjadi akibat pandemi, maka perempuan akan tangguh dan kuat.


"Bukan hanya bisa membangkitkan dirinya sendiri, tapi membangkitkan pula semangat suami atau kaum lelaki dan membantu menyelesaikan tekanan hidup secara bersama-sama. Dengan kata lain perempuan tidak hanya dituntut berperan ganda, akan tetapi harus menjalankan multiperan sebagai ibu, istri, pendidik, sekaligus tulang punggung demi kelangsungan hidup, rumah tangga, dan keluarganya," tuturnya.


Perempuan peraih penghargaan Internasional dari New York Times itu menerangkan bahwa intervensi pemerintah dalam mengajak masyarakat, sektor usaha, serta pandangan keagamaan, sangat berpengaruh agar kesempatan yang sudah terbuka dapat terjawab dan terselesaikan dengan baik.


Nyai Sinta mengungkapkan data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan jenis pekerjaan perempuan telah merata di berbagai profesi mulai dari sektor jasa sampai kepemimpinan, hal itu ditunjukkan oleh survei pada tahun 2018-2019.


Disebutkan profesi yang paling banyak menyerap tenaga kerja perempuan ialah sektor jasa 58,91 persen, disusul tenaga profesional seperti dokter, Hakim, dan lain-lain 55 persen, tenaga tata usaha 50 persen, pertanian 49 persen, tenaga produksi 24 persen, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan 21,66 persen, dan sisanya 8 persen.


Menurut Nyai Sinta, data tersebut menunjukkan, pertama, terbukanya berbagai jenis pekerjaan bagi kaum perempuan. Kedua, meningkatnya profesionalitas sebagai ukuran dalam pekerjaan. Artinya penerimaan tenaga kerja tidak lagi mempertimbangkan faktor gender/jenis kelamin, tetapi pada profesionalitas perseorangan.


Ketiga, meningkatnya profesionalitas kaum perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan sehingga bisa berkompetisi dengan kaum laki-laki," ungkap perempuan yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa Bidang Sosiologi Agama dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.


Pada kesempatan tersebut Nyai Sinta menyebutkan, data-data penyebaran perempuan di berbagai profesi menunjukkan bahwa saat ini taraf pendidikan dan penguasaan soft skill perempuan sudah meningkat secara signifikan. 


Nyai Sinta mengaku gembira dengan menyebutkan bahwa hal yang demikian itu merupakan sesuatu yang membahagiakan dan patut untuk dirayakan. Namun, dirinya meminta kepada kaum perempuan untuk tetap bersinergi. Sebab bukan berarti hal tersebut menunjukkan hilangnya masalah atau tantangan bagi kaum perempuan. 


"Paling tidak ada tiga hal pokok itu yang menjadi tantangan bagi kaum perempuan, kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan terutama di sektor pekerjaan informal," ujarnya. 


Data statistik menunjukkan, sejak tahun 1990-2013 upah/gaji yang diterima oleh tenaga kerja perempuan selalu lebih rendah 30 persen jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kondisi ini mengindikasikan masih adanya konstruksi sosial yang masih menetapkan perempuan secara subordinat dalam berbagai kegiatan ekonomi. 


"Kedua etos kompetisi dan peningkatan kualitas bagi perempuan. Apalagi di era kompetisi yang terbuka seperti sekarang ini seharusnya persoalan gender tidak lagi menjadi penghalang bagi pekerjaan. Maka yang dibutuhkan adalah peningkatan skill dan profesionalitas bagi perempuan agar memiliki kualifikasi yang tinggi sehingga memenangkan kompetisi, ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi perempuan," terang Nyai Sinta. 


Meski kesempatan sudah terbuka berbagai lapangan pekerjaan, imbuh Nyai Sinta, tetapi jika kaum perempuan tidak mampu memanfaatkan dengan meningkatkan kualitas diri serta tidak ada daya dukung sosial di keluarga untuk bersama-sama mengatasi beban rumah tangga, maka perempuan akan tersingkir dan kalah dalam kompetisi sehingga pintu yang semula terbuka akan tertutup kembali. 


Ketiga, Nyai Shinta menyinggung soal pemahaman keagamaan yang dangkal terus-menerus dikaitkan dengan memilih dan memanfaatkan kesempatan bekerja yang jelas-jelas sudah terbuka bagi kaum perempuan. 


"Pemahaman agama yang sempit dan dangkal bisa menjadi belenggu bagi kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan bekerja yang telah terbuka. Saat ini ada sejumlah perempuan yang berhenti menjadi karyawan dan tenaga profesional setelah mengikuti gerakan hijrah. Ada di antara mereka yang sudah menduduki kursi pejabat lalu tiba-tiba keluar dengan alasan perintah agama dan ingin mencari yang halal," ungkap Nyai Sinta. 


Padahal, lanjutnya, cara pandang seperti itu justru malah menutup kesempatan kaum perempuan untuk berkarya dan mengembangkan potensi yang sebenarnya juga menjadi permasalahan agama. Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa pemahaman yang sempit bisa menutup pintu pekerjaan kaum perempuan yang sudah terbuka. 


Nyai Sinta mengingatkan bahwa tiga tantangan tersebut harus dijawab dan diselesaikan oleh kita bersama terkait dengan upaya memilih peluang dan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan bagi kaum perempuan. 


Jika ketiganya tidak bisa diselesaikan, maka terbukanya pintu kesempatan bukan tidak mungkin akan tertutup kembali. Sebaliknya, jika kita berhasil menjawab dan menyelesaikan tiga tantangan di atas, maka perempuan tidak saja bisa mempertahankan peluang, tetapi tentu akan menjadi pemenang dalam setiap kesempatan dan peluang.


"Dengan demikian perempuan bisa benar-benar merayakan ragam pekerjaan yang diperolehnya melalui kompetisi yang sehat dan profesional serta kebijakan yang responsif dan sensitif terhadap kondisi perempuan dengan multifungsi tadi," tandas Nyai Sinta.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad