Nasional

Para Capres Bilang Lindungi PMI Perlu Pelibatan Aktivis, Ini Respons Konfederasi Sarbumusi

Sen, 5 Februari 2024 | 21:30 WIB

Para Capres Bilang Lindungi PMI Perlu Pelibatan Aktivis, Ini Respons Konfederasi Sarbumusi

Sekjen DPP Konfederasi Sarbumusi Syaefuddin Ahrom Al-Ayubbi di Kantor Sarbumusi, Jalan Raden Saleh Raya, Jakarta Pusat. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Para calon presiden (capres) membahas sejumlah masalah yang dihadapi pekerja migran Indonesia (PMI) di negara penempatan. Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo menegaskan bahwa masalah tersebut tidak dapat diatasi semata-mata oleh pemerintah.


Menurut para capres, penting untuk melibatkan aktivis dalam menyelesaikan permasalahan PMI dan menekankan pentingnya keterlibatan negara beserta semua perangkatnya dalam menjamin perlindungan PMI. 


Permasalahan PMI itu dibahas oleh para capres dalam Debat Kelima Capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, pada Ahad (4/2/2024). 


Merespons itu, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Syaefuddin Ahrom Al-Ayubbi menyatakan bahwa pelibatan aktivis PMI penting untuk membantu pemerintah dalam mengurusi tata kelola PMI. Namun, ia menyatakan bahwa peran negara saat ini belum bekerja maksimal.


"Sebenarnya posisi perwakilan negara kita di negara penempatan kewalahan dalam memberikan perhatian terhadap PMI kita di luar negeri, karena saking banyaknya PMI kita yang ada di luar negeri," katanya kepada NU Online, Senin (5/2/2024).


Ahrom mengatakan bahwa keberadaan aktivis, baik sebelum keberangkatan maupun setelah penempatan sangat penting dilakukan untuk memberikan informasi dan advokasi kepada PMI. Di antaranya terkait kontrak kerja, upah, jam kerja, dan perlindungan terhadap pelecehan atau diskriminasi. 


"Sebagai salah satu penyumbang devisa negara terbesar, PMI kita perlu mendapatkan edukasi (pra keberangkatan dan penempatan), perlindungan sosial, kepastian hukum pada saat bekerja di luar negeri," jelasnya. 


Selanjutnya, Ahrom menjabarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang telah melaporkan bahwa total transfer uang asing yang dilakukan PMI mencapai Rp77,35 triliun pada Kuartal II 2023. Karena itu, ia menilai anggaran perlindungan sangat perlu ditambah mengingat PMI telah menyumbang devisa negara yang sangat besar.


"Anda bisa membayangkan betapa besarnya kontribusi PMI kita terhadap perputaran ekonomi di dalam negeri kita. Maka keberadaan PMI kita juga harus diperhatikan, tidak hanya PMI, tapi keluarga yang ditinggalkan ini juga menjadi bagian dari tugas negara dalam memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap PMI," katanya.


Selain itu, Ahrom ingin agar negara tegas menangani praktik percaloan (mafia) keberangkatan PMI di luar negeri. Ia menganggap keberadaan calo-calo PMI ini memperburuk kondisi PMI yang ada di luar negeri.


"Karena biasanya PMI kita harus membayar sekian juta setiap bulan kepada calo yang memberangkatkan," singkatnya.


Upah rendah PMI di negara penempatan

Menurut Ahrom, jaminan negara untuk PMI harus diperkuat dengan kerja sama antara Indonesia dengan negara penempatan yang memberi upah rendah kepada PMI. 


“Kemudian nanti bisa memasukkan, misalnya jaminan sosial, baik itu kesehatan ataupun ketenagakerjaannya," katanya.


Ahrom menginginkan agar PMI Indonesia lebih terjamin. Ia juga berharap, pemerintah melakukan pemetaan terhadap negara penempatan, misalnya negara yang memiliki risiko tinggi seperti di Arab Saudi yang diperlukan pengawasan secara ketat


"Sementara negara penempatan yang sudah maju seperti Korea, tinggal didorong saja terkait implemetasi UU-nya. Harapan PMI berangkat mudah dan terjamin perlindungannya, karena kebutuhan tenaga kerja di luar negeri itu sangat banyak dan belum tercukupi. Perlu juga diperhatikan keluarga PMI yang ditinggalkan, ini membutuhkan perhatian khusus dari negara," tutupnya.