Nasional

Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammad bin Alawy al-Māliky terkait Kafir, Bidah, dan Sesat 

Ahad, 10 Januari 2021 | 08:50 WIB

Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammad bin Alawy al-Māliky terkait Kafir, Bidah, dan Sesat 

Dalam pandangan Muhammad bin Alawy, orang bisa dikategorikan sebagai orang sesat dan sudah menjadi orang musyrik ketika dia melakukan sikap antara lain, menyembah berhala atau benda-benda mati selain Allah SWT.

Jakarta, NU Online
Masyarakat dunia terutama umat Muslim Indonesia masih dihadapkan pada persoalan-persoalan klasik yang disematkan kepada mereka. Ritual ibadah yang selama ini dilakukan dan dilestarikan masyarakat tersebut dinilai sebagain orang sebagai tindakan bidah, sesat bahkan keluar dari Islam (kafir) bagi mereka yang melakukannya.  

 

Paham Wahabi yang selama ini menilai Islam Ahlusunah wal Jamaah seperti cara beragama warga Nahdlatul Ulama di Indonesia ternyata mendapatkan kritikan dari tokoh setempat. Beliau adalah Muhammad bin Alawy al-Maliky. Tokoh Sunny yang menentang keras paham Wahabi di Arab Saudi. 

 

Dalam disertasi berjudul Respons Muhammad bin Alawy al-Māliky terhadap Politik Hukum Islam di Saudi Arabia (2020) yang ditulis H Amin Farih telah diuraikan ulasan pemikiran Muhammad bin Alawy mengenai kafir, bidah, dan sesat. Pemikiran terkait ini untuk meluruskan pemaknaan kafir, bidah dan sesat yang disampaikan kelompok wahabi di Arab Saudi.

 

Berikut tiga pemikiran politik Islam Muhammad bin Alawy al-Maliky terkait kafir, bidah, dan sesat dalam ajaran Islam. 

 

Pertama, parameter penentuan kafir. Menurut Muhammad bin Alawy, parameter orang bisa dikategorikan sebagai orang kafir dan telah keluar dari Islam adalah ketika dia sudah tidak mempercayai dasar pokok Islam atau Rukun Islam dan Rukun Iman.

 

Masyarakat juga menjadi kafir ketika mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua umat Islam tanpa terkecuali, seperti salat menghadap kiblat. Kabah sebagai tempat haji dan sebagainya. 

 

Lalu, seseorang dikategorikan sebagai orang kafir adalah apabila dia melakukan tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah SWT yaitu kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, seperti menyembah matahari, bintang, menyekutukan Allah SWT dengan berhala dan benda-benda lain sebagainya.

 

"Vonis kafir tidak boleh dijatuhkan dengan serampangan. Seseorang hanya boleh dihukumi kair apabila orang tersebut melakukan salah satu dari tindakan berikut, yaitu menafikan adanya Allah SWT, melakukan kesyirikan yang nyata yang tidak mungkin untuk ditakwili," tulis H Amin Farih dalam uraian disertasinya.  

 

Orang menjadi kafir ketika mengingkari kenabian, mengingkari al-maʻlūm min al-dīn bi al-darūrah atau sesuatu yang diketahui dengan jelas dalam agama, mengingkari persoalan yang mutawatir serta mengingkari persoalan yang telah disepakati kejelasannya (ijmā’u al-ulamā’) di dalam agama.

 

Kedua, parameter penentuan sesat atau ḍalālah. Dalam pandangan Muhammad bin Alawy, orang bisa dikategorikan sebagai orang sesat dan sudah menjadi orang musyrik ketika dia melakukan sikap antara lain, menyembah berhala atau benda-benda mati selain Allah SWT, menyekutukan Allah SWT dengan makhluk atau benda-benda lain yang diyakini bisa menolong dan menyelamatkan. 

 

Lalu meyakini dalam aqidahnya kekuasaan selain sang pencipta Allah SWT, datangnya kemanfaatan dan kemadharatan datang dari kekuatan benda tersebut. Tidak dari kekuasaan dan kekuatan Allah SWT.

 

Amin Farih menegaskan, vonis kesesatan (ḍalālah) tidak boleh didefinisikan terhadap segala bentuk penghormatan kepada hamba Allah, tiba-tiba dikatakan sesat. 

 

Menurut dia, hal itu hanyalah sebagai penghormatan lazimnya sesama manusia antara yang mempunyai derajat tinggi dan derajat rendah. Begitu juga dengan memaknai wasilah (perantara) yang juga mereka anggap sebagai jalan sesat (ḍalālah) dan perbuatan sirk. 

 

"Mereka memvonis dengan gegabah bahwa wasilah (perantara) yang dilakukan melalui tawassul, tabarruk, dan mohon syafaat adalah tindakan ḍalālah (sesat) yang mengakibatkan orang menjadi musyrik serta menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara (wasilah) dengan cara apapun telah menyekutukan Allah SWT dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang musyrik," lanjut Amin Farih. 

 

Bagi Muhamad bin Alawy, orang musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah SWT, adapun orang mukmin yang minta bantuan terhadap seseorang perantara (wasilah) lewat tawassul, tabarruk, dan mohon syafaat tidak dikategorikan sebagai seorang musyrik dan kafir. 

 

"Sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah mediator (wasilah) besar bagi para sahabat. Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukannya kepada Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah SWT," ungkapnya mengulas lagi pemikiran Muhammad bin Alawy. 


Ketiga, parameter tentang bidah. Imam Muhammad bin Alay menjelaskan, pokok penekanan dalam ta’wil atau penjelasan hadis tentang: “ما ليس في أمرنا هذا”, adalah pengertian sesuatu hal baru yang terbagi menjadi dua pembagian bidah, yaitu bidah hasanah dan bidah sayyi’ah yang merupakan kategori bidah secara lughawiyah (bahasa). 

 

Sedangkan bidah dalam istilah syariah merupakan bentuk penambahan dan kreasi baru yang dinisbatkan kepada syarī’ah atau sang pembuat syariah (Al-Syāri’). Apabila tidak bertentangan dengan isi syariah maka masuk dalam kategori bidah hasanah, sedangkan apabila perkara baru tersebut bertentangan dengan isi syariah maka bidah tersebut dikategorikan sebagai bid’ah sayyi’ah. 

 

Inilah yang sesat (ḍalālah) dan tercela. Dengan demikian, menurut Muhammad bin Alawy Al-Māliky bahwa tidak semua bidah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam.

 

"Sementara amaliah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (ṣalih li kulli zamān wa makān)," tegas Amin Farih.

 

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan