Nasional

Pendukung Fanatik Capres Rentan Kena Election Stress Disorder

Jum, 16 Februari 2024 | 08:00 WIB

Pendukung Fanatik Capres Rentan Kena Election Stress Disorder

Ilustrasi pendukung fanatik capres Pemilu. (Foto: NU Online/Freepik).

Jakarta, NU Online

Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dari Rumah Sakit YASRI Citra Fitri Agustina, mengingatkan akan risiko yang dihadapi oleh pendukung fanatik selama pasca-pemilihan umum (pemilu), yang dapat menyebabkan kondisi stres yang disebut Election Stress Disorder (gangguan stres Pemilu).
 

Fitri mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, pendukung fanatik mudah tersulut emosinya. Mereka yang secara ekstrem mempopulerkan salah satu kandidat bahkan menghadapi hujatan dari teman-teman terdekat mereka yang memiliki pandangan politik berbeda.
 

"Dia betul-betul bekerja bahkan kadang menangkis hujatan-hujatan di media sosial dari teman-teman terdekatnya. Apalagi untuk mereka yang sangat percaya, masa depan bangsanya, dirinya, keluarganya nggak akan beres kalau yang menang bukan pilihannya dia," ujarnya kepada NU Online, Rabu (14/2/2024).
 

Menurutnya, kondisi ini terlihat melalui komentar emosional yang ditulis di media sosial oleh warganet, serta tekanan yang dirasakan untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden tertentu, yang semakin meningkat di lingkungan sekitar.
 

Sekretaris Lembaga Kesehatan Pengurus Nahdlatul Ulama (LK PBNU) itu juga menyoroti dampak psikologis yang serius dari situasi ini. Bagi sebagian orang, kecemasan konstan dan kekhawatiran akan masa depan negara dapat berkembang menjadi gangguan cemas atau depresi.


Ia menjelaskan bahwa seperti dalam kasus bencana alam, ada periode adaptasi yang normal setelah peristiwa yang mengganggu. Namun, jika kecemasan dan ketidakpastian tetap berlanjut melebihi periode tersebut, dapat menjadi tanda gangguan mental yang lebih serius.
 

“Kalau masih reaksi itu kan belum sampai gangguan ya. Jadi, ada election syndrome reaction (reaksi tidak normal atas Pemilu). Sama halnya gempa. Kalau bencana, setelah itu ada masa satu bulan atau empat minggu itu masa yang orang itu pikirannya campur aduk, nggak tahu berlindung ke mana, masa depannya, nah itu kalau di kami mengambil waktu satu bulan,” papar dia.
 

“Satu bulan itu dia seharusnya bisa rilis, bisa selesai dari kondisi seperti itu. Kalau sudah satu bulan (belum selesai), itu sudah menjadi gangguan. Kalau satu bulan masa adaptasi untuk bisa bertahan atau bisa membalikkan situasi. Nah, tapi kalau lewat satu bulan, itu kita bilang disorder, gangguan. Ini kira-kira hampir sama. Ada kekhawatiran yang konstan, khawatir nanti terjadi gangguan,” tambahnya.