Nasional

Penyesalan Arif, Mantan Narapidana Teroris yang Belajar Agama dari Internet

Sen, 28 Agustus 2023 | 10:30 WIB

Penyesalan Arif, Mantan Narapidana Teroris yang Belajar Agama dari Internet

Arif baju biru nomor 3 dari sebelah kanan saat bertemu Prof Mukri dan Jajaran Pengurus MUI Lampung di Bandarlampung, Ahad (27/8/2023). (Foto: NU Online/Faizin)

Bandarlampung, NU Online
Raut penyesalan dalam wajah Arif Budi Setyawan (39) terpancar dengan jelas saat ia berbicara tentang masa lalunya. Terlebih saat mengenang pesan ayahnya tentang pentingnya menjadi orang yang baik dalam pikiran dan tindakan dalam hidup. Matanya nampak berkaca-kaca saat mengisahkan dan mengungkapkan pesan ayahnya yang mendalam. Arif mengungkapkan bagaimana niat baiknya untuk mendalami agama melalui internet malah mengantarkannya ke dalam jaringan terorisme.


Semuanya menurut Pria asal Tuban, Jawa Timur ini berawal dari keinginannya untuk lebih mendalami agama, untuk menjalani hidup yang lebih baik. Seiring dengan pertumbuhan teknologi, ia pun tidak terhindar dari arus informasi di internet. Namun, kesalahan besar telah dilakukannya dengan memilih jalur yang keliru dalam memperoleh ilmu agama.


Arif menceritakan bagaimana ia belajar agama dengan tidak melihat silsilah dan sanad keilmuan gurunya melalui internet. Ia merasa cukup belajar agama dengan informasi yang diperoleh dari berbagai platform media internet secara online. Ironisnya, inilah awal dari perjalanannya menuju jalan hidup yang tidak ia dan keluarganya inginkan.


Kesalahan terbesar yang ia lakukan adalah ketika Arif mulai bergabung dengan kelompok-kelompok diskusi online yang menawarkan pandangan-pandangan radikal. Ia merasa ada persamaan pemikiran dan pendekatan dalam menjalankan agama, dan pada akhirnya terperangkap dalam lingkaran yang berbahaya. Pengaruh dari para tokoh ekstremis di dunia maya membentuk pola pikirnya.


“Saat itu saya mengatakan bahwa saya mau membantu pergerakan terorisme namun dengan hidup tidak jauh dari keluarga,” ungkapnya saat berdiskusi dengan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Mohammad Mukri di Bandarlampung, Ahad (27/8/2023).


Aksi itu dilakukannya dengan membantu menghubungkan calon pejihad dengan ISIS. Ia memberikan tempat penampungan bagi mereka yang akan berangkat ke Aceh atau Afghanistan. Ia menjadi tutor bagi mereka-mereka yang ingin belajar membuat bom. 


Sampai pada akhirnya langkah Arif terhenti di tahun 2014. Ia ditangkap lantaran turut menyediakan senjata dalam perencanaan operasi penyerangan di Poso, Sulawesi Tengah. Di tahun yang sama, ia menerima vonis 4 tahun 10 bulan. Setelah mendapat remisi, akhirnya ia bisa bebas pada Oktober 2017.


Setelah ditangkap dan menjalani masa hukuman, Arif tersadar dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Ia kini fokus pada proses pembelajaran yang benar, belajar agama dengan mendatangi ulama-ulama yang memiliki keilmuan yang terverifikasi dan memiliki keteladanan dalam berprilaku baik. Ia pun giat menulis dan melakukan penelitian melalui narasi kontra radikalisme.


Arif pun sadar dan mengingatkan bagaimana kekuatan internet telah memainkan peran sentral dalam mengubah arah hidup seseorang. Ia menjelaskan bagaimana mudahnya akses internet telah membantunya dalam memperoleh ajaran agama yang tidak benar, membawanya pada jalur terorisme yang gelap.


"Internet memberi saya kemudahan untuk menemukan orang-orang yang memiliki pandangan serupa. Saya bisa berinteraksi dengan mereka melalui media sosial dan berbagi pemahaman," ungkapnya menyesal.


Menurutnya, internet khususnya media sosial saat ini pun merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kurangnya minat mengaji secara mendalam pada generasi muda di zaman modern. Ia mengungkapkan begitu banyak informasi yang mudah diakses di internet, dan ini telah membentuk budaya 'malas' untuk mencari ilmu agama melalui sumber-sumber resmi seperti kiai atau ulama yang memiliki keilmuan terverifikasi.


"Kita tidak bisa hanya bergantung pada apa yang muncul di pencarian google. Ilmu agama harus diperoleh melalui pengajian yang benar, bukan hanya dengan sekadar taklid buta kepada apa yang ada di internet," ungkapnya.


Saat di penjara, Arif merenungkan dan menyadari bahwa seandainya ia menggunakan metode belajar agama yang benar, maka ia tidak akan pernah terjerumus ke dalam dunia terorisme. "Saya percaya bahwa jika saya memiliki pengajaran yang benar, jika saya belajar dari ulama atau kiai yang memiliki kompetensi dan silsilah keilmuan, saya tidak akan menjadi teroris," katanya.


Kisah hidup Arif ini pun menurut Prof Mukri yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung menjadi cerminan bagi banyak orang tentang bahaya informasi yang salah dan pergaulan yang keliru di dunia digital.


“Ini adalah peringatan bagi kita semua bahwa dalam mencari ilmu agama, kita harus memilih sumber yang benar dan memastikan bahwa kita berada dalam bimbingan yang tepat,” ungkapnya.


Terlebih di era modern saat ini dengan berbagai penemuan mutakhir seperti Artificial Intelligent (AI) atau kecerdasan buatan, banjir informasi di media sosial harus benar-benar disikapi dengan arif dan bijaksana. Jika percampuran antara teknologi dan ideologi dan keyakinan tidak melalui panduan-panduan yang benar, maka akan bisa memunculkan hal yang sangat berbahaya. Perselisihan sampai peperangan bisa muncul dari aktivitas yang salah di dunia digital.


“Perang paling sadis terjadi muncul karena membela ideologi dan keyakinan,” ungkapnya.


Oleh karenanya, teknologi jika tidak diimbangi dengan kemampuan menggunakannya menurutnya akan membawa petaka. Jika dulu yang bisa menghancurkan manusia adalah, kelaparan, peperangan, dan pandemi, saat ini Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di dunia internet bisa menghancurkan manusia jika tidak disikapi dengan baik.