Nasional

Perlu Penguatan Toleransi Otentik daripada Formal-Transaksional di Indonesia

Sen, 7 November 2022 | 18:30 WIB

Perlu Penguatan Toleransi Otentik daripada Formal-Transaksional di Indonesia

Pengurus LP Ma'arif PBNU, Deden Saeful Ridhwan saat mengisi Pelatihan Calon Pengawas Madrasah Angkatan XIII Kementerian Agama, Senin (7/11/2022) di Jakarta. (Foto: NU Online/M Faizin)

Jakarta, NU Online
Pengurus Lembaga Pendidikan Ma'arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif PBNU) Deden Saeful Ridhwan mengungkapkan bahwa dalam berbagai forum dunia, Indonesia dipuji sebagai negara dengan toleransi beragama yang tinggi. Di tengah pluralitas dan keragaman banyak hal seperti agama yang berbeda-beda, masyarakat Indonesia bisa hidup damai dan harmonis.


Atas kondisi yang jarang terjadi di belahan dunia lain ini, Indonesia bahkan sering dijadikan model negara yang mayoritas penduduknya Muslim, namun tidak mendirikan negara Islam, melainkan Pancasila. 


"Bahwa secara umum kehidupan keagamaan di Indonesia aman dan damai tidak dapat dipungkiri. Tetapi, realitas keagamaan masih jauh dari cita-cita ideal," ungkapnya dalam keterangan tertulis kepada NU Online di sela-sela Pelatihan Calon Pengawas Madrasah Angkatan XIII Kementerian Agama, Senin (7/11/2022) di Jakarta.


Hal ini menurutnya bisa dilihat dari beberapa konflik ataupun kerusuhan bernuansa agama seperti di Tolikara, Manokwari, Singkil, dan tempat lainnya. Hal ini menurut Pengasuh Pesantren Nurul Falah Cililin Bandung tersebut menunjukkan bagaimana kerukunan dan toleransi yang sejati belum terwujud. 


Contoh lain, dalam tubuh umat Islam lanjutnya, masih terdapat kelompok yang menolak eksistensi Syiah, Ahmadiyah, dan kelompok minoritas lainnya. Pendirian tempat ibadah semakin sulit dan berbelit. 


"Terlepas dari pengaruh faktor-faktor non-teologis, intoleransi terjadi karena toleransi yang otentik belum tertanam dalam budaya bangsa, yang terjadi adalah toleransi formal-transaksional," ungkapnya.


Oleh karena itu, moderasi agama menurutnya menjadi solusi dalam menghadapi ini semua dan perlu diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Dosen FITK Universitas Cendekia Abditama ini menambahkan bahwa Islam datang dengan membawa semangat moderasi di berbagai hal. Bukan hanya dalam hal agama dan ibadah seperti termaktub dalam QS. al-Isra/17: 110, namun juga termaktub dalam prilaku sosial (QS. al-Rahman/55: 7), perilaku ekonomi (QS. al-Isra/17: 29; dan QS. al-Furqan/25: 67), dan sebagai komunitas (QS. al-Baqarah/2: 143).

 

Sikap ekstremitas dalam berbagai hal tidak dikehendaki dalam Islam. Mengutip pernyataan Syaikh Azhar Muhammad Syaltout, ia menyebut bahwa akar utama ajaran Islam adalah tawasut. Karena itu, Rasulullah pun mengingatkan dalam haditsnya dengan mengecam orang-orang ekstrem.


"Rasulullah saw mengecam orang yang ekstrem dalam beragama ‘Halaka al-Mutanattiun’ (Celakalah orang yang berlebih-lebihan dalam agama)," pungkasnya.


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan