Nasional

Prof Quraish Shihab Jelaskan Alasannya Enggan Dipanggil Habib

Sel, 25 Januari 2022 | 14:45 WIB

Prof Quraish Shihab Jelaskan Alasannya Enggan Dipanggil Habib

Prof HM Quraish Shihab. (Foto: Tangkapan layar YouTube Najwa Shihab)

Jakarta, NU Online 
Cendekiawan Muslim Indonesia HM Quraish Shihab menjelaskan alasan dirinya enggan dipanggil dengan sapaan habib kendati masih memiliki jalur keturunan kepada Nabi Muhammad saw. Dengan tawadhu dia mengatakan bahwa dirinya merasa belum memiliki teladan akhlak yang diajarkan oleh Baginda Nabi sehingga belum pantas untuk dipanggil habib.

 

“Saya sendiri diajarkan oleh ayah, ‘Tidak usah kamu yang berkata dirimu habib. Tidak usah kamu yang mengatakan dirimu, ‘Saya profesor, saya doktor.’ Biar dari kegiatanmu orang berkata, oh ini wajar dinamai habib. Ini wajar jadi profesor,” terangnya dalam bincang santai dengan putrinya, Najwa Shihab, di kanal YouTube Najwa Shihab dilihat NU Online, Senin (24/1/2022).

 

Lebih lanjut, alumnus Pesantren Darul Hadis Al-Faqihiyah Malang, Jawa Timur itu menegaskan, memiliki jalur nasab mulia ke Nabi Muhammad seharusnya menjadi cermin bagi diri agar berperilaku sesuai dengan akhlak yang diajarkan oleh Nabi.

 

“Garis keturunan ini mestinya mengikuti jalur kakek-kakeknya ini, mengikuti jalur Nabi, yang menyebarkan toleransi, yang menyebarkan akhlak,” katanya.

 

Penulis Tafsir Al-Misbah itu menyayangkan dengan sebagian orang yang mengaku sebagai habib, tapi akhlaknya belum mencerminkan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Dengan demikian Prof Quraish menilai jika demikian justru akan menodai citra keturunan Nabi sebagai generasi yang seharusnya berakhlak luhur.

 

“Apa yang terjadi sekarang itu, sebagian kecil orang bisa membuat citra yang negatif. Kemudian disambut oleh yang lain dengan cara yang tidak sesuai juga sehingga terjadi apa yang dinamakan ribut-ribut itu,” ucap Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) itu.

 

Mendasari argumennya, Prof Quraish mengutip salah satu ucapan Sahabat Ali ra yang berbunyi, Bukanlah seorang kesatria mereka yang mengatakan, ‘Inilah ayah saya.’ Tapi seorang kesatria adalah mereka yang mengatakan, ‘Inilah saya’.

 

Alasan lain Prof Quraish enggan dipanggil ‘habib’ karena merasa dirinya belum mencintai masyarakat sehingga masyarakat juga mencintainya. Sementara dalam pandangannya, seorang yang ‘layak’ dipanggil habib adalah keturunan Nabi yang mencintai masyarakat dan masyarakat juga mencintainya.

 

“Kalau Cuma mau dicintai, (tapi) tidak mau mencintai, ya bukan habib itu dong," ujar Prof Quraish.

 

Prof Quraish berpendapat bahwa setiap kelebihan yang dimiliki seseorang akan memiliki konsekuensi yang harus dipenuhi. Demikian juga bagi seorang habib. Karena telah diberi anugerah nasab yang luhur, maka ia berkewajiban untuk mengamalkan nilai-nilai Islam dalam dirinya seperti bersikap lemah lembut dalam berdakwah.

 

"Kalau kewajiban itu tidak terpenuhi, maka garis keturunan yang dimilikinya tidak akan ada artinya," tegasnya.

 

Terkait hal ini, Prof Quraish mengisahkan kisah putra Nabi Nuh yang bernama Kan'an. Sebagai putra seorang nabi, seharusnya Kan'an mencerminkan akhlak seperti orang tuanya. Tapi kenyataan berkata lain karena putra Nuh itu justru tidak mau beriman kepada Allah sehingga memperoleh siksa.

 

"Jadi, boleh berbangga, boleh merasa bersyukur, mempunyai garis keturunan kepada Nabi, tapi jangan tonjolkan itu. Tonjolkanlah akhlakmu, tonjolkanlah kebaikanmu, tonjolkanlah keramah-tamahanmu," tegas Prof Quraish.

 

Habib di Indonesia 

Untuk diketahui, keturunan Nabi Muhammad di Indonesia sangat banyak. Kehadiran mereka berawal dari mirgasi keturunan cucu Husein dari Hadramaut di Yaman, bernama Alawi. Berikutnya, keturunan Nabi jalur Alawi di Indonesia dijuluki dengan Alawiyin.

 

Keturunan Nabi dari Hadramaut yang di Indonesia sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Alawiyin dan non-Alawiyin. Keturunan Alawiyin kemudian membentuk sebuah organisasi yang bertugas, salah satunya, melakukan pencatatan silsilah keturunan Nabi. Organisasi tersebut bernama Rabithah Alwiyah yang berdiri sejak 1928.

 

Sebagai informasi, beberapa keturunan Alawiyin yang menjadi figur publik di antaranya Habib Ali Kwitang (Pemimpin Majelis Ta’lim Kwitang), Habib Hasan bin Ja'far Assegaf (Pemimpin Majelis Ta’lim Nurul Musthofa Jakarta), Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan (Pengasuh Ponpes Al-Fachriyah Tangerang), Habib Luthfi bin Yahya (Rais 'Amm JATMAN), Habib Novel Alaydrus (pengasuh Majelis Ar-Raudhah Solo), dan lain sebagianya.

 

Sementara yang termasuk non-Alawiyin adalah dari keturunan Azmatkhan yang merupakan leluhur Walisongo. Azmatkhan berasal dari Qabilah Ba’Alawi asal Hadramaut dari gelombang pertama yang masuk Nusantara dalam rangka penyebaran Islam.

 

Keturunan Azmatkhan banyak yang menikah dengan pribumi sehingga mengakibatkan keturunan mereka tidak begitu menonjol secara fisik. Di Indonesia sendiri banyak dari mereka yang memiliki gelar kerajaan seperti Raden, Tubagus, Masagus, Masayu, Kemas, atau Nyimas.

  

Termasuk tokoh-tokoh keturunan Azmatkhan di Nusantara adalah Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini, Syeikh Datuk Kahfi, Syeikh Qurotul Ain (Syekh Quro), Maulana Malik Ibrahim Azmatkhan, Raden Rahmat Azmatkhan, Raden Maulana Makdum Ibrahim Azmatkhan, Raden Qasim Azmatkhan,  Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan, dan lain sebagainya.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Aiz Luthfi