Nasional

Rumah KitaB Bedah Anggapan Publik kepada Perempuan Bekerja

Sel, 28 Maret 2023 | 16:30 WIB

Rumah KitaB Bedah Anggapan Publik kepada Perempuan Bekerja

Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menggelar diskursus tentang wacana keagamaan yang mendukung perempuan bekerja, di Bekasi, Selasa (28/2/2023). (Foto: Dok Rumah KitaB)

Bekasi, NU Online
Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) kembali menggelar diskursus tentang wacana keagamaan yang mendukung perempuan bekerja, di Bekasi, Selasa (28/2/2023). Dalam kesempatan yang dihadiri sejumlah stakeholders wilayah Kota Bekasi ini secara khusus Rumah KitaB membedah anggapan publik kepada perempuan bekerja.

 

Peneliti Rumah KitaB, Qisti Haydari menyampaikan beberapa riset mengenai norma gender yang berjalan dari tahun 2021 hingga awal 2023. Salah satunya terkait pola kepemimpinan yang masih didominasi oleh laki-laki.

 

“Masih banyak anggapan bahwa pemimpin itu identik dengan laki-laki,” papar Qisti.

 

Ia berpendapat bahwa kecenderungan ini terjadi karena dominannya nilai-nilai fundamentalis, terutama di kalangan yang lama tidak bersentuhan secara intensif dengan pendidikan sekuler, baik belajar teks agama maupun ilmu lain.

 

“Ini juga terjadi karena kurang memperhatikan atau punya pengalaman langsung dengan perempuan bekerja, dan mereka yang diuntungkan oleh nilai fundamentalis tersebut,” ucapnya.

 

Terkait laki-laki lebih cocok untuk menjadi pemimpin, Qisti menyebut, sebetulnya norma ini sudah dapat diterima dalam ranah pemikiran, namun sulit diwujudkan di ranah perilaku karena masih banyak tempat kerja yang posisi pemimpinnya didominasi oleh laki-laki.

 

“Norma kepemimpinan mulai menunjukkan progresivitas dan mulai banyak dipikirkan oleh publik, meskipun realitasnya masih sangat kurang,” terangnya.

 

Selanjutnya, ia menjelaskan norma terkait pengasuhan anak yang mulai disadari menjadi tugas bersama, suami istri. Hal ini, tampak dari respon publik yang mulai membagi tugas pengasuhan dengan suaminya.

 

“Artinya, kesadaran responden di keempat lokasi sudah cukup baik terkait hal ini," jelas dia.

 

Kesadaran ini, menurutnya, juga berlaku pada pemisahan profesi pekerjaan. Misalnya, profesi satpam tidak lagi tabu bagi perempuan, atau posisi sekretaris juga banyak dipegang oleh laki-laki.

 

“Meski dapat dibilang norma ini cukup mengakar kuat dalam ranah sikap, namun pada praktiknya sudah cukup banyak responden laki-laki yang mengerjakan pekerjaan perempuan dan sebaliknya,” ucap dia.

 

Sayangnya, lanjut dia, kesadaran tersebut tidak berlaku pada norma yang tetap menganggap perempuan hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Norma ini mengakar kuat dan sulit untuk ditentang, sehingga usaha yang dikeluarkan pun untuk mengubah pandangan ini perlu lebih kuat.

 

“Laki-laki adalah pencari nafkah utama adalah norma yang paling banyak diterima,” terang Qisti.

 

Senada, Peneliti lain, Nurhady Sirmorok juga mengatakan terkait perempuan sebagai pencari nafkah utama, sejauh ini belum banyak yang cukup percaya diri untuk kampanye terbuka mendukung perempuan bekerja.

 

“Alasan ketidakpercayaan dirinya karena dominannya nilai-nilai fundamentalis, seperti kurangnya pengalaman langsung dengan perempuan bekerja,” kata Ady, sapaan akrabnya.

 

“Penyebaran nilai-nilai ini berlangsung secara kultural,” lanjut dia.

 

Solusinya, menurut Ady, adalah lewat kampanye-kampanye ulama perempuan maupun aktivis perempuan yang bersinggungan langsung dengan para perempuan pekerja.

 

“Pengalaman bertumbuh dengan perempuan bekerja dan pengalaman bersentuhan dengan teori dan isu perempuan. Kedua hal itu saya kira dapat menjadi solusi bagi para perempuan bekerja,” tandas dia.

 

Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi