Nasional

Soal Hijrah yang Dimaknai Sempit oleh Sebagian Kalangan

Sab, 9 Mei 2020 | 11:30 WIB

Soal Hijrah yang Dimaknai Sempit oleh Sebagian Kalangan

Pengajar Linguistik Unusia, Fariz Alnizar. (Foto: dok Istimewa)

Jakarta, NU Online
Fenomena hijrah kembali menjadi perbincangan yang hangat setelah Prof Noorhaidi Hasan memberi kritikan yang diunggah melalui kanal youtube sebuah kampus besar di Yogyakarta baru-baru ini.
 
Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Fariz Alnizar mengatakan pada prinsipnya, sebagai bangsa yang basis budayanya adalah kuat di oralitas, bukan literasi, budaya untuk memistifikasi kata dan membuat slogan juga semakin kuat. 
 
"Masyarakat yang memiliki tingkat keberaksaraan rendah, yang tidak suka membaca, umunya suka memistifikasi kata dan transformasikan menjadi slogan-slogan," kata Fariz, Sabtu (9/5).
 
Hal tersebut juga terjadi pada kata ‘hijrah’. Kata ‘hijrah’ yang menjadi sangat populer belakangan ini dan memakai konsep hijrah untuk menandai kepindahan mereka. Hijrah diartikan sebagai transformasi. 
 
Yang menjadi soal, kata Fariz, dalam konteks kata hijrah, kita menyaksikan implementasi yang cenderung kontraproduktif dengan makna konseptual yang diharapkan.
 
Slogan hijrah, dalam konteks yang dipakai oleh kalangan beragama di perkotaan, belakangan justru banyak digaungkan untuk membentengi diri dari mereka yang dianggap belum berhijrah.
 
"Menciptakan gugusan 'kami' yang berdiri di seberang 'mereka'. Hijrah justru tidak membuat mereka menjadi toleran, malah sebaliknya menjadi intoleran terhadap yang berbeda," papar Fariz.
 
Fariz meneruskan, dalam Bahasa Arab, 'hijrah' memiliki arti perpindahan fisik dari suatu tempat ke tempat yang lain. Kata 'hijrah' ini menjadi populer dalam khazanah Islam sebab Nabi Muhammad SAW pada zaman dahulu pindah dari kota Makkah ke Madinah sebagai bentuk strategi perjuangan. Pengertian 'hijrah' seperti ini pada kenyataanya tidak berubah di dunia Arab.
 
Hanya saja sebagaimana yang kita saksikan, di Indonesia-khususnya fenomena di kalangan Muslim perkotaan—makna hijrah berevolusi dan berubah makna dan diartikan sebagai perubahan sikap keagamaan, dari yang kasual menjadi ketat, kaku dan rigid.
 
"Di tangan Muslim perkotaan, hijrah diartikan lebih spesifik dan sempit: sebagai perubahan sikap dan perilaku keagamaan, meskipun tidak ada jaminan bahwa perubahan tersebut memang murni wujud transformasi kesalehan dan spiritulaitas atau justru sebaliknya merupakan wujud marketisasi religi," kata Fariz.

Dalam ajaran Islam, peristiwa hijrah adalah peristiwa ikonik. Ruh ajaran agama adalah transformasi dari yang buruk ke arah yang lebih baik. Demi mengabadikan ikon tersebut, Islam membuat penanggalan dengan mendapuk hijrah sebagai basis titi mangsanya. Maka kalender yang dipakai bernama Hijriah. 
 
Karena itu, imbuh Fariz, menjadikan hijrah sebagai slogan mestinya bukan merupakan sebuah persoalan sepanjang kita semua mafhum secara konseptual dan praksis apa yang dimaksud dengan hijrah. 
 
"Sebab tanpa memahami konsep, slogan bukan saja berhenti sebatas hanya sebagai propaganda, namun lebih dari itu slogan itu akan hidup dan berjalan di atas rel yang salah. Ini yang menjadi sangat berbahaya," pungkasnya.

Sementara itu video ceramah Prof Noorhaidi Hasan terkait hijrah, berisi ajakan untuk menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai momentum untuk lebih baik. Prof Noorhaidi mengatakan Ramadhan adalah bulan di mana kesempatan untuk hijarah, berpindah dari tidak menyukai hal hal yang disukai oleh Allah menjadi melakukan lebih banyak hal-hal yang disukai.
 
Menurutnya hal itulah makna hijrah secara spiritual dan transedental. Sayangnya banyak anak muda yang menerjamahkan hijrah secara politis, sehingga membenci golongan lain yang tidak sependapat dengannya.
 
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Fathoni Ahmad