Nasional

Soal Pengetatan Istitha'ah Haji, Ini Pandangan Tokoh NU dan Muhammadiyah

Sel, 24 Oktober 2023 | 15:00 WIB

Soal Pengetatan Istitha'ah Haji, Ini Pandangan Tokoh NU dan Muhammadiyah

Katib PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali dan Ketua PP Muhammadiyah H Agus Taufiqurrahman dalam Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023 yang digelar Kementerian Agama di Yogyakarta, Selasa (24/10/2023). (Foto: Kemenag)

Jakarta, NU Online
Haji merupakan ibadah yang mensyaratkan adanya kemampuan (istitha'ah) dalam pelaksanaannya. Di antara istitha'ah yang harus terpenuhi adalah kesehatannya. Karenanya, pemeriksaan ini perlu diperketat sebelum calon jamaah melunasi pembayaran biaya haji.

 

Katib PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali menyampaikan bahwa istitha'ah merupakan syarat dalam ibadah haji. Bahkan tidak ada aktivitas ibadah di dalam Islam yang mempersyaratkan istitha'ah di dalam pelaksanaannya selain ibadah haji.

 

"Karena itu, seluruh calon jamaah haji yang mau berangkat haji harus memiliki persyaratan mampu untuk melaksanakan ibadah haji," tegas Akademisi UIN Jakarta itu dalam 'Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023' yang digelar Kementerian Agama di Yogyakarta, Selasa (24/10/2023).

 

Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah H Agus Taufiqurrahman menyampaikan, pemeriksaan istitha'ah kesehatan dilakukan setelah adanya pengumuman kuota resmi calon haji dari Indonesia. Saat itulah dilakukan pemeriksaan kesehatan secara komplit. Hal ini meliputi pemeriksaan tambahan terhadap demensia dan Activity Daily Living (ADL). Hal ini mengingat banyaknya calon jamaah haji lansia karena daftar tunggu yang panjang.

 

"Bagi calon jamaah haji ketika ia tidak memenuhi batasan minimal ADL atau gangguan demensia berat, tentu ini menjadi kelompok yang tidak harus melakukan pelunasan biaya haji," katanya.

 

Agus menyampaikan bahwa jika keberangkatan haji memberikan pengaruh memburuknya kesehatan seseorang, maka tidak perlu bagi calon jamaah itu untuk melunasi biaya haji. "Kalau tetap berangkat menjalankan ibadah haji akan lebih membahayakan kondisinya," jelasnya.

 

"Sehingga kelompok-kelompok ini memang harus sejak awal tidak diberi kesempatan untuk membayar biaya haji dan fokus untuk perawatan dirinya, untuk pengobatan," lanjut dosen di Fakultas Kedokteran UII Yogyakarta itu.

 

Calon jamaah yang demikian ini tergolong dalam kelompok yang memang tidak masuk kriteria istitha'ah haji. Ia menyebut calon jamaah yang termasuk golongan ini adalah mereka yang memiliki kondisi penyakit yang kronis, seperti kanker stadium akhir, TBC resisten seluruh obat, HIV AIDS stroke dengan pendarahan yang luas, hingga gangguan skizofrenia berat.

 

Selain kelompok tersebut, Agus juga menyampaikan ada tiga kategori lain, yakni (1) calon jamaah yang memang memenuhi istitha'ah menjadi jamaah haji; (2) calon jamaah yang istitha'ah tetapi harus dengan pendampingan; dan (3) calon jamaah tidak istitha'ah untuk sementara waktu.

 

Kedua kategori terakhir itu, menurutnya, bisa diberangkatkan ketika sudah terpenuhi. Jamaah yang demikian diberi kesempatan untuk melakukan pembayaran biaya ibadah haji.

 

"Tentu masyarakat harus mengetahui ini sehingga mempersiapkan fisik dengan baik, mempersiapkan mental dengan baik, di samping mempersiapkan biaya haji yang menjadi bagian kriteria istitha'ah," pungkasnya.