Nasional HARI BATIK

Tantangan Milenial terhadap Batik dan Rasa Kepemilikan yang Memudar

Sab, 2 Oktober 2021 | 15:30 WIB

Tantangan Milenial terhadap Batik dan Rasa Kepemilikan yang Memudar

Ilustrasi: sejumlah pelajar dan batik. (Foto: Gatra)

Jakarta, NU Online

Batik merupakan identitas bangsa Indonesia. Hal ini semakin absah setelah pengukuhannya oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang mengakui batik sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity atau Warisan Budaya Takbenda, 2 Oktober 2009 silam di Abu Dhabi, UEA.


Kendati demikian, kini batik menemui tantangannya tersendiri. Dengan semakin kencangnya arus globalisasi di tengah masyarakat, khususnya kalangan muda, membuat batik bersaing ketat dengan fesyen estetik milenial kekinian.


Batik kerap kali hanya dijadikan seragam formal pada acara tertentu. Intensitas penggunaannya yang kian mengerucut ini, membuat batik menjadi barang antik. Fenomena ini merupakan tantangan tersendiri bagi warisan budaya yang satu ini.


Menanggapi hal tersebut, Pakar Semiotika Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Dadan Rusmana mengatakan bahwa pusat masalahnya berada di rasa kepemilikan yang memudar, terkhusus di tengah kalangan muda milenial.


“Yang jadi masalahnya adalah sense of belonging (rasa memiliki) dari kalangan kita. Tantangannya adalah kemudian bagaimana batik dicintai, digunakan, dan bahkan diproduksi oleh milenial. Itu menjadi salah satu tantangan bagi kita,” terang Dadan kepada NU Online, Sabtu (2/10/2021).


Menjawab tantangan tersebut, menurutnya, kreativitas dari para kalangan muda sangat diperlukan untuk mampu mentransformasikan model juga motif batik sesuai selera dan menciptakan batik yang pakemnya tidak terlalu jauh dan tetap nyambung dengan kaum milenial. 


“Batik itu bagian dari identitas kebangsaan, khazanah intelektual, khazanah nilai, dan khazanah komoditi, kekuatan ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas dari para milenial untuk mampu mentransformasi model kemudian motif batik sesuai selera milenial,” papar penulis buku Tafsir Ayat-ayat Sosial Budaya tersebut. 


Upaya pelestarian batik tersebut ia paparkan lantaran batik mempunyai akar yang kuat di tatar Nusantara dan bersambung kepada sejarah panjang Indonesia.

 

Batik juga merupakan salah satu dari bentuk ekspresi Islam di Nusantara yang dituangkan melalui jalur seni dalam konteks kebudayaan, seperti penyatuan batik dengan sarung dan kopiah yang menjadikannya juga sebagai identitas Keindonesiaan di kalangan santri.


“Ada seni dalam artian seni material, wayang dan tarian. Bagaimana kemudian nilai-nilai Islam masuk ke dalam unsur seni itu. Kemudian, pakaian. Pakaian juga sama, ada unsur keislaman yang dimasukan,” terang Dadan.


Lebih lanjut, penggunaan batik baginya dapat memantik suatu kebanggaan tersendiri. Nilai intrinsiknya sangat kompleks. Terdapat berbagai hal yang menunjukkan kreativitas, produktivitas, dan identitas kebangsaan. Selain itu, ada rasa kecintaan dan pemihakan terhadap keyakinan produk dalam negeri.

 
“Bagaimanapun, pada masanya batik menjadi simbol pemersatu bangsa. Pada zaman sekarang, batik tetap menjadi identitas kebangsaan kita untuk menunjukkan nilai kebangsaan,” pungkas Dosen berdarah Sunda tersebut. 


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa

Editor: Fathoni Ahmad