Nasional

Tradisi Maca Syekh, Media Berharap Keberkahan dan Keselamatan

Rab, 29 Juli 2020 | 17:30 WIB

Tradisi Maca Syekh, Media Berharap Keberkahan dan Keselamatan

Ilustrasi Syekh Abdul Qadir al-Jailani. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Masyarakat Banten akrab dengan tradisi Maca Syekh, yakni membaca dan mendengarkan biografi atau manaqib Syekh Abdul Qadir Jaelani, seorang ulama yang disebut sebagai rajanya para wali.


Peneliti Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta, Muhamad Rosadi, menyebut bahwa tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat sebagai sarana berharap keberkahan para wali dalam rangka ber-tawasul guna selamat dan terhindar dari bahaya.


"(Tradisi Maca Syekh) dilakukan dalam rangka mendapatkan keberkahan dan keselamatan serta terhindar dari bahaya dan malapetaka," katanya saat Seminar Hasil Penelitian Tradisi Keagamaan dan Manuskrip, Senin (27/7).


Tradisi ini sesungguhnya sangat populer di beberapa wilayah lain, di hampir seluruh wilayah Nusantara baik di Sumatra, di Jawa, dan salah satunya di Banten.


Baca juga: Kepala BLA Jakarta: Budaya dan Agama Saling Bersinergi


Teks manaqib biasanya dibaca oleh para tokoh agama atau tokoh masyarakat setempat. "Dalam kasus ini dibacakan oleh tokoh adat," jelasnya.


Ada beberapa naskah yang biasa digunakan, seperti kitab tercetak berbentuk seukuran saku dan tersedia di toko-toko kitab. Namun, ada juga yang masih berupa manuskrip yang terletak di Kampung Perisen, Kelurahan Kiara, Kecamatan Walantaka, Kota Serang, Banten.


Naskah tersebut dibacakan dalam beberapa ritual keagamaan, seperti sunatan, pernikahan, hingga pada saat membangun rumah ataupun memasang fondasi.


Sebelum melaksanakan tradisi tersebut, penyelenggara biasanya sowan kepada sesepuh setempat terlebih dahulu untuk menentukan hari baik ritual. "Sowan dulu ke kasepuhan untuk menentukan harinya, kapan baiknya ritual dilakukan," jelasnya.


Kemudian, dalam konteks sunatan, setelah mendapatkan masukan dan arahan dari sesepuh, baru anaknya dibawa ke dokter atau mantri untuk melaksanakan sunat.

 

Baca juga: Palangkahan, Tradisi Minang Tentukan Hari Baik Berkegiatan

 

Lebih lanjut, Rosadi menjelaskan bahwa kepercayaan masyarakat setempat, sunatan pada anak perempuan dilakukan sejak bayi, sedangkan anak laki-laki harus saat anak menginjak usia ganjil, yaitu pada usia 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, dan 9 tahun.


"Biasanya kalau dilakukan di umur yang genap maka akan terjadi berbahaya dan hal-hal yang tidak baik," katanya.


Naskah wawacan syekh ini dibaca ketika selamatan, dikeluarkan oleh sesepuh, dan diletakkan di atas bantal. Hal tersebut menunjukkan kesakralan naskah.


Tradisi pembacaan biografi orang-orang suci ini, menurut dia, masih sangat kental dalam rangka tawasul, memohon keberkahan dari para wali.


Kegiatan ini berisi nilai-nilai perjalanan hidup seorang Syekh Abdul Qadir al-Jaelani yang diketahui sebagai pemimpinnya para wali.


Nilai-nilai yang terkandung dalam naskah ini mengenai religiusitas sosok Syekh Abdul Qadir al-Jaelani tersebut. Lalu, ada pula mengenai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab. "Itu beberapa poin yang dapat kita ungkap dari naskah-naskah wawacan syekh," pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori