Nasional RISET DIKTIS

Transmisi Bahasa Arab dalam Masyarakat Bima

Jum, 18 Oktober 2019 | 00:00 WIB

Transmisi Bahasa Arab dalam Masyarakat Bima

Gerbang 'Selamat Datang' di Kabupaten Bima (Foto: cropping video di youtube)

Peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari bahasa dan pola komunikasinya. Kebesaran suatu bangsa tercermin dari bahasa dan dialek yang digunakannya sehari-hari. Bahkan bangsa yang besar bisa memengaruhi bangsa lain melalui bahasanya. Tesis ini dapat dibuktikan dengan bahasa Arab dan Inggris yang menyebar ke seluruh dunia. Itu artinya, bangsa Arab dan Ingris pernah menjadi negara besar yang menyisakan jejeknya di berbagai negara yang pernah disinggahinya berupa bahasa Arab dan Ingris.

Hal menarik yang perlu diulas dalam tulisan ini adalah keberadaan bahasa Arab di Indonesia, khususnya di Bima. Pada hakikatnya masyarakat Bima memiliki bahasa khas yang berlaku secara turun-temurun di tengah-tengah masyarakatnya. Namun demikian, bila ditelisik lebih seksama, ada beberapa bahasa Bima yang tidak murni merupakan bahasa daerah mereka, akan tetapi merupakan bahasa serapan hasil tranmisi dengan bahasa Arab. Dari sini sepintas dapat digambarkan bahwa bahasa Bima beberapa kosa katanya merupakan bahasa serapan hasil transmisi dari bahasa Arab.

Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah, dalam penelitiannya tahun 2018 berjudul Analisis Serapan Kosakata Bahasa Arab terhadap Bahasa Bima menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan masuk dan digunakannya bahasa Arab di daerah Bima. Pertama, proses ekspansi dagang Gujarat Arab Islam ke bumi Nusantara, termasuk juga ke daerah Bima. Menurut Azyumardi Azra, penggunaan bahasa Arab di Nusantara, khususnya di Bima dipengeruhi oleh hubungan dagang luar negeri antara Indonesia dengan negara Arab yang sudah terjalin sejak abad ke-17 M, pada masa-masa awal Islam.
 
Dalam proses ini, para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara memiliki hubungan dagang yang kuat dengan bangsa Nusantara. Hal ini disebabkan karena Nusantara merupakan daerah yang cukup potensial dalam menghasilkan biji-bijian, rempah-rempah, dan bahkan binatang ternak.
 
Pada hasil riset yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 ini, peneliti mengungkapkan, Renaffaer menyebutkan posisi Bima yang menjadi salah satu pusat perdagangan pada rute lintas Malaka dan Maluku sebagai daerah yang disinggahi para pedagang Arab sepanjang rute pelayaran-perdagangan. Pada masa itu Bima juga dicatat sebagai daerah yang posisi geografis dan fisiografisnya sangat memadai untuk menghasilkan ternak kuda, kijang dan sapi, ikan dan rempah rempah layaknya pala, cengkeh dan kopi. Oleh karena itulah penyebutan kata 'kahawa' (kopi) diserap dari kata Arab ﻗﮭﻮة –qohwah; (kopi).
 
Kedua, adanya akulturasi budaya yang didahului dengan proses perpindahan penutur suatu bahasa ke lingkungan penutur bahasa yang lain. Dalam hal ini, Bima sebagai daerah teluk tempat transit para pedagang-pedagang terutama pedangan Makassar, Bugis, Arab, dan bahkan Cina yang menuju Laut Malaka Banda, Ternate mengakibatkan akulturasi kebudayaan yang sangat tinggi antara masyarakat Bima dengan bangsa Arab. Untuk hal ini misalnya dapat dilihat dari bahasa Bima 'baruka' (burqa) yang diserap dari bahasa Arab ﺑﺮﻗﻊ – burqo’.
 
Ketiga, proses pendidikan. Sebagaimana diketahui bersama, bahasa Arab adalah bahasa asli agama Islam. Sementara itu, masyarakat Nusantara, termasuk juga Bima di dalamnya sudah sejak lama bersama dengan proses hubungan perdagangan antar negara, bangsa Arab—yang dikenal dengan sebutan Gujarat—mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Bima. Oleh karenanya, penyebutan baberapa nama ibadah mesti menggunakan bahasa Arab. 

Tentang hal ini, Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah, dalam penelitiannya menyebutkan teori Renaffaer yang menuturkan bahwa bangsa Arab sudah membangun pusat-pusat pendidikan—yang hari ini dikenal dengan sebutan pesantren—di Bima sejak abad ke-17 M. Keberadaan instansi pendidikan, pesantren inilah yang juga cukup dominan dalam penggunaan bahasa arab di daerah Bima. 

Faktor pendidikan yang memberi landasan kuat atas penyerapan bahasa arab ke bahasa daerah Bima dapat dilihat dalai kata Arab -ﻓﻜﺮ fiqr, yang ditranmisikan kedalam bahasa Bima menjadi 'fiki' (pikir). Kata 'haba' (kabar) dalam bahasa Bima ditranmisikan dari kata Arab ﺧﺒﺮ – khabar. Begitu pula dengan penyebutan  hari 'hami' (hari Kamis) dalam bahasa Bima diserap dari kata Arab ﺧﻤﯿﺲ – Khamis. 

Berdasarkan beberapa faktor yang telah dijabarkan oleh peneliti, menunjukkan bahwa bahasa masyarakat Nusantara dan juga termasuk bahasa Bima merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab. Proses serapan bahasa dan atau kolaborasi suatu dialek suatu bangsa oleh Soerjono Soekanto disebutkan sebagai transmisi kebudayaan dalam bidang pola komunikasi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa bangsa Arab sebagai bangsa yang besar telah memengaruhi kebahasaan bahasa Bima.
 

Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan