Opini

27 Tahun Mabadi Khaira Ummah NU, Sampai di Mana?

Sab, 26 Oktober 2019 | 00:00 WIB

27 Tahun Mabadi Khaira Ummah NU, Sampai di Mana?

Di antara ciri suksesnya sebuah gerakan adalah berdampak positif nyata bagi masyarakat di level paling bawah. (Ilustrasi: NU Online)

Oleh Muhammad Syamsudin

 

Mabadi Khaira Ummah, atau yang biasa disebut sebagai prinsip dasar (fondasi) menuju khaira ummah (umat terbaik) sudah dicanangkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang saat itu masih berstatus HBNO (Himpunan Besar Nahdlatul Oelama) pada yajim 1992. Fondasi ini tertuang secara tegas lewat Keputusan Munas Alim Ulama di Lampung Nomor 04/Munas/1992 tentang Mabadi’ Khaira Ummah.

 

Jika membaca hasil keputusan itu, cukup menarik melihat pesan sejarah yang turut diungkap menjadi bagian lahirnya Mabadi’ Khaira Ummah tersebut. Ada singgungan yang secara tegas disampaikan dalam bagian muqaddimahnya, yaitu hasil dari Konggres NU XIII Tahun 1935. Perlu diketahui bahwa Kongress NU XIII Tahun 1935 mengamanatkan bahwa kendala utama untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan menegakkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah di tubuh Nahdlatul Ulama, salah satunya disebabkan karena lemahnya posisi ekonomi warga Nahdliyin. Untuk itulah maka diperlukan langkah antisipatif dan sekaligus membuka ruang inovasi agar kelemahan dalam bidang ekonomi itu bisa dijembatani sehingga gagasan menuju khaira ummah bisa tercapai.

 

Nah, lahirnya Keputusan No. 04/MUNAS/1992 adalah termasuk kilas balik dan evaluasi terhadap langkah yang sudah diambil dalam pembangunan bidang ekonomi tersebut. Lalu dengan dikeluarkannya fondasi dasar khaira ummah (Mabadi’ Khaira Ummah) salah satunya adalah dengan harapan dapat dijadikan pilar/payung hukum sekaligus landasan gerak bagi warga Nahdliyin.

 

Hasil dari Munas Lampung Tahun 1992 ini, sekaligus memberi mandat bagi diadakannya sosialisasi Mabadi’ Khaira Ummah melalui program lailatul ijtima’-lailatul ijtima’ di tubuh Nahdliyin khususnya pada wilayah ranting. Di tingkatan cabang, muncul gerakan pembai’atan yang fokusnya sebenarnya ditujukan sebagai wadah konsolidasi warga khususnya pengurus sehingga mereka bekerja secara konsekuen mewujudkan cita-cita NU. Cita-cita umum itu adalah upaya mewujudkan khaira ummah, dan salah satunya melalui pembangunan dunia ekonomi.

 

Terkait dengan pembangunan di bidang ekonomi ini, Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari pernah secara khusus menyampaikan maklumat, yang bunyinya: “Wahai pemoeda putera bangsa yang tjerdas pandai dan oestadz yang moelia, mengapa kalian tidak mendirikan saja soeatoe badan ekonomi jang beroperasi, di mana setiap kota terdapat satoe badan oesaha jang otonom.” Secara khusus maklumat ini diamanatkan dan dimuat dalam Statuten NU, Fatsal 3 Poin f, yang berbunyi: “Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara’ Agama Islam.

 

Dengan menyimak bunyi Statuten ini, maka sebenarnya mandat pembangunan ekonomi itu sudah lama disuarakan oleh NU. Dan tahun 1992, merupakan tahun evaluasi, apakah sudah sampai pada yang dimaksud oleh Hadlratu al-Syeikh apa belum. Karena masih jauh, maka keluarlah Keputusan MUNAS tentang Mabâdi’ Khaira Ummah tersebut.

 

Isi dari Mabadi’ Khaira Ummah hakikatnya ada tiga yang menjadi titik tekan nilai pentingnya dan sekaligus seharusnya menjadi sikap bagi pengurus sekaligus warga Nahdliyin pada umumnya, yaitu:

 

1. Mengupayakan terbentuknya watak al-shidq (jujur dan benar dalam setiap ucapan dan tindakan kecuali untuk hal yang dirasa dlarurat)

 

2. Hendaknya pengurus dan warga naahdliyin memiliki sikap al-amanah wa al-wafa’ bi al-ahd, yaitu amanah dan sekaligus siap menepati janji (konsekuen)

 

3. Hendaknya warga Nahdliyin memupuk rasa saling ta’awun (tolong menolong) internal warga Nahdliyin secara khusus dan umumnya dengan umat Islam lainnya selagi tidak dalam urusan yang melanggar syara’

 

Dari ketiga sikap itu, muncul dua sikap lainnya yang hendaknya dipupuk yaitu: sikap al-‘adâlah (adil dalam tindakan dan tidak berat sebelah) serta istiqâmah (konsisten dalam mengupayakan tercapainya khaira ummah).

 

Nah, setelah perjalanan selama kurang lebih 27 tahun dan 28 tahun (untuk tahun 2020 yang akan datang), maka diperlukan langkah evaluatif. Langkah evaluatif itu adalah:

 

1. Apakah selama ini LINU (Lailatul Ijtima’ NU) sudah berhasil menyosialisasikan mabadi’ khaira ummah tersebut?

 

2. Apakah tujuan dari pembangunan ekonomi dan kemandirian umat ini sudah terlaksana oleh masing-masing pengurus dan setiap warga Nahdliyin?

 

3. Jika sudah, maka langkah apa selanjutnya yang perlu diambil guna mewujudkan prinsip pembangunan ekonomi dalam rangka terbentuknya khaira ummah tersebut?

 

4. Jika belum, apa yang menjadi kendala bagi terlaksananya gerakan ekonomi itu?

 

Selengkapnya baca: Mabadi Khaira Ummah

 

Ke depan, umat Islam Indonesia akan berhadapan dengan Revolusi Industri 4.0. Tentu langkah mewujudkan khaira ummah ini akan menjadi semakin berat dibanding tantangan yang muncul di era Mbah Wahab ketika beliau berinisiatif mendirikan Nahdlatu al-Tujjar dengan prinsip Syirkah ‘Inan. Jika era Mbah Wahab, konteks zaman yang dihadapi adalah ekonomi kolonialisme, maka di era sekarang, yang dihadapi bukan lagi sekedar ekonomi kolonial berbasis monopoli pasar, melainkan juga generasi milenial yang memiliki watak berbeda dengan generasi Mbah Wahab. Di Era Mbah Wahab, generasi Islam yang dihadapi adalah generasi santri yang terbuai dengan pesan-pesan romantis teks keagamaan, menjauhi dunia, tajrid, dan lain sebagainya yang menghendaki didobrag. Era sekarang justru merupakan kebalikannya. Era sekarang adalah era ekonomi kreatif yang bisa diciptakan melalui berbagai saluran dengan memanfaatkan peran teknologi. Lantas, khaira ummah yang dikehendaki itu yang bagaimana lagi sekarang? NU akan berperan memberi warna terhadap generasi milenial-kah atau tetap bertahan dan berkutat pada nuansa-nuansa keagamaan dengan fokus pada kajian kitab saja?

 

Kiranya, 27 tahun perjalanan Keputusan Mabadi Khaira Ummah memerlukan langkah antisipatif dan inovatif ke depan. Bagaimanapun, setelah ada fondasi, maka bangunan yang di atasnya adalah mengikuti fondasi itu bagaimana dikonsepsikan. Asesoris dinding bangunan rumah ke-NU-an ini tergantung pada generasi muda yang dimilikinya. Ingat bahwa, potensi kader NU terakhir untuk generasi yang berada di kisaran minimal usia 17 tahun adalah sebesar 79,04 juta jiwa dari seluruh muslim Indonesia. Sebuah potensi kader yang luar biasa besarnya yang merupakan modal dasar tersendiri bagi NU. Modal menuju khaira ummah yang dicita-citakan. Mari fokus mewujudkan!

 

 

Penulis adalah Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah – PW LBM NU Jawa Timur, dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur