Opini

Aksi Bela Agama dan Salah Kaprah Memahami Nahi Munkar

Kam, 12 Desember 2019 | 07:30 WIB

Aksi Bela Agama dan Salah Kaprah Memahami Nahi Munkar

Semangat yang besar saja tidak cukup. Ilmu yang luas dan adab yang luhur sangat dibutuhkan dalam amar ma'ruf nahi munkar. (Ilustrasi: dhakatribune.com)

Akhir-akhir ini, aksi bela agama sangat marak di Indonesia, mulai dari aksi bela Islam, aksi bela Nabi, aksi bela Al-Qur’an, aksi bela Kalimat Tauhid, sampai aksi bela ulama. Kegiatan aksi pun juga berbeda-beda, meliputi demonstrasi, pengerahan massa, orasi, konvoi, unjuk rasa, pelaporan ke kepolisian, bahkan pengepungan suatu tempat.

 

Tidak jarang, berbagai aksi tersebut berakhir dengan kericuhan dan bentrok dengan masyarakat sekitar. Sebut saja, kericuhan di depan kantor PCNU Solo beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh beberapa orang. Untung saja, para pembuat onar tersebut berhasil dihalau oleh kepolisian dan umat Islam Solo, sehingga kondisi sekitar berangsur normal kembali.

 

Dari hasil wawancara berbagai media dengan para pelaku aksi dapat disimpulkan bahwa umumnya mereka memahami aksi bela agama sebagai bagian dari konsep nahi munkar (menghilangkan kemungkaran) yang diperintahkan oleh Islam. Benarkah demikian?

 

Allah subhanahu wata’ala melabeli umat Islam dengan sebutan “Khairu Ummah” atau umat terbaik, di antaranya karena mereka melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّه

 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali Imran: 110).

 

Dengan demikian, amar ma’ruf nahi munkar merupakan hal urgen dalam Islam. Hanya saja, sebagian umat Islam tidak memahami konsep ini dengan baik, terutama terkait nahi munkar. Mereka berpikir bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan atau amaliah mereka, adalah kemungkaran. Lalu, dalam upaya menghilangkan kemungkaran itu, tidak jarang mereka menggunakan aksi represif, termasuk aksi sweeping, dan pengerahan massa.

 

 

Agar konsep mulia ini tidak tercemar oleh tindakan tidak terpuji, perlu kiranya umat Islam memahami kembali konsep nahi munkar yang telah digariskan oleh para ulama. Ada beberapa aturan terkait nahi munkar: Pertama, pelaku nahi munkar harus memahami hakikat kemungkaran. Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, munkar adalah segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhanahu wata’ala, seperti judi dan zina. (Lihat: Ibnu Hajar al-Haitami, Azzawajir an Iqtirafil Kaba’ir, juz 2, h. 146).

 

Artinya, sesuatu dianggap munkar manakala ada dalil yang jelas dan tegas dari Al-Qur’an maupun Hadits yang mengharamkannya, atau ulama sepakat akan keharamannya. Dengan demikian, permasalahan yang status hukumnya diperdebatkan oleh para ulama tidak boleh dianggap munkar, seperti bunga bank, Tahlilan, dan peringatan Maulid Nabi. Imam Nawawi berkata:

 

إِنَّ الْعُلَمَاءَ إِنَّمَا يُنْكِرُوْنَ مَا أُجْمِعَ عَلَى إِنْكَارِهِ، أَمَّا الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ فَلَا إِنْكَارَ فِيْهِ

 

Sesungguhnya para ulama hanya mengingkari (menganggap munkar) sesuatu yang disepakati akan kemungkarannya. Sedangkan, sesuatu yang diperselisihkan tidak boleh diingkari (dianggap munkar). (Lihat: Yahya bin Syaraf Annawawi, Raudhatut Thalibin, juz 10, h. 219).

 

Kedua, nahi munkar dilakukan dengan niat memperbaiki. Seseorang yang melakukan nahi munkar dengan niat memperbaiki kepribadian orang lain, akan menggunakan cara-cara lembut untuk mengajaknya meninggalkan kemungkaran, menuju jalan kebenaran, bukan dengan menghakiminya atau mencacinya.

 

Sebaliknya, seseorang yang salah niatnya dalam melaksanakan nahi munkar akan cenderung menghakiminya, atau menghukumnya dengan tindakan kekerasan. Atau, bahkan akan tebang pilih dalam memberantas kemungkaran. Jika kelompoknya berbuat kemungkaran, dia akan diam seribu bahasa. Namun jika kelompok lain dianggap berbuat munkar, dia akan menggunakan berbagai cara untuk memberantasnya, sekalipun dengan cara yang sangat kasar.

 

Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memberi tauladan yang baik dalam memberantas kemungkaran, tepatnya saat seorang Arab dari pedalaman kencing di dalam masjid, maka Rasul tidak menghardiknya, melainkan membiarkannya menyelesaikan kencingnya, baru kemudian menasihatinya dengan tutur kata yang lembut.

 

عَن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَهْ مَهْ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ» فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: «إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ».

 

“Dari Anas bin Malik ia berkata: Ketika kami sedang di masjid bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tiba tiba datang seorang Arab gunung lalu kencing di masjid : Sahabat sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: Mah , mah (ungkapan untuk rasa tidak senang). ia (Anas) berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: Jangan engkau putuskan dia, biarkan dia, maka mereka membiar kannya hingga ia (selesai) kencing. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memanggilnya dan berkata kepadanya: Sesungguhnya masjid ini tidak boleh untuk kencing dan kotoran, tidak lain masjid ini hanya untuk dzikrullah Azza wa Jalla, shalat dan membaca al-Qur`an” (HR Muslim).

 

Ketiga, kemungkaran itu nyata dan tampak jelas di depan mata, bukan dicari-cari. Kemungkaran yang diperintahkan untuk menghilangkannya adalah kemungkaran yang nyata, bukan yang dicari-cari, apalagi dengan memotong video lalu memviralkannya agar orang yang bersangkutan di-bully bersama-sama, sebagaimana yang sering terjadi di Indonesia. Padahal, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang memata-matai orang untuk mencari kesalahannya. Rasulullah bersabda:

 

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيث، وَلاَتَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

 

Jauhilah sifat berprasangka karena sifat berprasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan. Dan janganlah kamu mencari kesalahan, memata-matai, janganlah kamu berdengki-dengkian, janganlah kamu belakang-membelakangi dan janganlah kamu benci-bencian. Dan hendaklah kamu semua wahai hamba-hamba Allah bersaudara. (HR. Bukhari).

 

Keempat, tidak boleh menghilangkan kemungkaran dengan cara yang munkar. Dengan demikian, tidak diperbolehkan mem-bully, mencaci, menghina, mensweeping, atau mengerahkan massa untuk menghilangkan kemungkaran, sebab akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, seperti kericuhan, perkelahian, pengrusakan, dan ketakutan masyarakat sekitar. Dalam sebuah kaidah fiqih disebutkan:

 

اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ

 

“Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan serupa” (Lihat: Ahmad bin Muhammad Azzarqa, Syarhul Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 195).

 

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan urutan menghilangkan kemungkaran, yaitu dengan tangan, lisan, dan terakhir hati (HR Muslim). Adapun pemahaman yang tepat dari hadis tersebut adalah bahwa seseorang yang melihat kemungkaran, dan ia mampu menghilangkannya dengan tangan atau kekuasaan, maka dia tidak boleh memakai cara yang lebih ringan, yaitu dengan lisan (nasihat), jika kemungkaran tersebut tidak bisa dihilangkan hanya dengan lisan. Dan seseorang yang mampu menghilangkan kemungkaran dengan lisan, tidak boleh memakai cara yang lebih ringan, yaitu dengan hati. (Yahya bin Syaraf Annawawi, Raudhatut Thalibin, juz V, h. 123).

 

Semoga, kita tidak lagi salah kaprah dalam memahami makna nahi munkar. Karena, kesalahan dalam memahami makna nahi munkar akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, dan itu dilarang dalam Islam. Wallahu A’lam.

 

 

Penulis adalah Pengurus LDNU Jombang, dan Dosen IAIN Tulungagung